Kemerdekaan dan Rasa Syukur yang Tenggelam

Ronny Adolof Buol
Penulis Ronny Adolof Buol



Oleh: Yuanita Maya

 

Ghalibnya, kita menduga bahwa kemerdekaan Indonesia diraih lewat darah dan air mata jutaan rakyatnya. Dan siapa pula yang dapat menyangkalnya? Selama berabad-abad, perjuangan untuk melepaskan jantung Ibu Pertiwi dari remasan para penjajah itu sambung-menyambung. Melintas generasi, semua usaha itu menorehkan nama-nama pejuang di banyak keluarga dan trah di Nusantara. Nasib tak berkhianat, pada akhirnya. Indonesia merdeka. Namun di balik hiruk pekik tak terhitung peperangan yang berhasil menyematkan kemerdekaan pada dada Ibu Pertiwi itu, satu kekuatan tak kasat mata turut bekerja: kuasa yang dibawa oleh ucapan syukur.

Tersebutlah Husein Mutahar, seorang pejuang yang berperan dalam upaya penyelamatan Bendera Pusaka ketika Bung Karno dalam masa pengasingan pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Ia mungkin hanya satu dari lautan manusia Indonesia yang mengorbankan segala yang mereka punya untuk kemerdekaan Indonesia. Namun satu hal yang membedakan adalah Mutahar –entah ia sadari entah tidak- telah meniupkan kuasa tersebut pada lagu ‘Syukur’ yang ia ciptakan. Syahdan, pada salah satu titik terberat dalam penderitaan rakyat Indonesia, mata Mutahar melihat kepahitan yang dialami oleh warga Semarang, tempat ia lahir dan tumbuh dewasa. Dalam puncak derita itu rakyat yang kurus kering terbungkuk-bungkuk, mencari bekicot sebagai satu-satunya bahan makanan yang masih tersisa, dalam peluh tanpa keluh. Mutahar menangkap semua nilai kerendahan hati ini dan merekamnya lewat lagu ‘Syukur’ yang tercipta pada tanggal 7 September 1944. Artinya, Husein Mutahar mengucap syukur atas kemerdekaan Indonesia jauh hari sebelum Indonesia benar-benar merdeka.

Paradoks yang kuat berhasil dibangun oleh kesederhanaan lagu ‘Syukur’:

”Dari yakin kuteguh, hati ikhlasku penuh. Akan karunia-Mu; Tanah Air Pusaka, Indonesia Merdeka.”

Mutahar bicara soal keikhlasan; bekicot ialah bahan pangan pangan yang berlendir, liat, dan sulit dicerna (di tempat lain mungkin rakyat hanya makan pelepah pisang atau bahkan kulit kayu). Dan usaha pencarian bekicot yang umumnya hidup di sawah itu bukannya dilakukan di bawah siraman mentari yang cerah. Patroli pasukan Belanda serta pesawat tempur yang berdengung sambil sesekali melemparkan tembakan adalah suasana yang menggayut ketika itu. Namun semua derita itu tak cukup untuk membuat rakyat mendongak sambil mengacungkan tinju tinggi-tinggi ke angkasa, menghujat,”KE MANA KAU YANG MENYEBUT DIRIMU MAHA PENGASIH DAN PEMURAH???!!!” Mereka diam, menjalani hidup tanpa banyak kesah. Rakyat mengerti, bahwasanya hidup –macam apapun- adalah bagian dari ‘lelaku, lakon’ yang harus dijalani tanpa banyak gugatan. Mereka bertahan, untuk kemudian menjadikan Indonesia lestari lewat keturunan yang berhasil mereka peranakkan.

Tetapi sedikitnya 73 tahun kemudian, generasi berikut yang diperanakkan dari manusia-manusia pengucap syukur itu, telah gagal meneruskannya. Segala perkara dapat dijadikan bahan cacian dan hujatan di Indonesia. Beras naik lima ratus rupiah saja, mahasiswa menggelar demo. Padahal beras seharga sepuluh ribu rupiah sekilo bisa mengenyangkan perut sekian banyak orang dalam satu hari. Cabai naik beberapa ribu rupiah perkilo, ibu-ibu rumah tangga menjerit dan mencericit di media sosial. Mereka lupa bahwa bahwa kenaikan cabai biasanya bersifat periodik, dan bulan-bulan di  mana cabai murah masih jauh lebih panjang masanya. Bensin naik berapapun, semua orang berteriak-teriak dan mencaci-maki pemerintah. Subsidi listrik dicabut, para pakar membuat suasana panas dengan analisa yang berat sebelah. Pendeknya, keluhan muncul dari segala lini, secara berjamaah.

Tetapi beberapa orang berdalih, bahwa ukuran banyak atau sedikit itu relatif. Kenaikan harga bensin dua ribu rupiah mungkin ringan bagi yang satu, namun bisa jadi berat bagi yang lain. Dalih ini bertahan lama, selama kenaikan harga apapun terjadi pada masing-masing periode kepemimpinan seorang presiden. Hingga kemudian ada satu momentum yang telak mematahkan dalih itu: kenaikan harga garam. Sebagai perempuan yang setiap hari berkutat dengan dapur, saya tak bisa menghindari rasa heran setiap kali membeli garam. Saya tahu benar proses pembuatan garam tradisional yang rumit dan melelahkan, sekaligus memanggang kulit tersebut. Namun dengan uang seribu rupiah (yang setara dengan rokok ketengan satu batang dan habis dihisap dalam sepuluh menit) seplastik garam sudah bisa menyedapkan masakan di rumah tangga saya selama beberapa minggu.

Ini bukan tulisan mengenai mafia garam, hitungan produksi garam dibandingkan luasan laut Indonesia, dan hal-hal semacam itu. Namun, sekali lagi, selama bertahun-tahun, garam seharga seribu rupiah mampu menyedapkan kehidupan kami –dan jutaan keluarga Indonesia- selama sekian minggu. Bukankah hal itu layak disyukuri? Disamping itu, menurut catatan Badan Pusat Statistik, naiknya harga garam tak berpengaruh pada inflasi sebanyak 0,22% pada bulan Juli 2017 lalu. Kelompok pengeluaran sebagai penyumbang inflasi paling tinggi justru pendidikan, olahraga, dan rekreasi sebesar 0,62%. Ini menerbitkan ironi, bahwa pada saat keluhan kenaikan seribu-dua ribu rupiah per bungkus garam meruyak begitu kuat, ratusan ribu dihabiskan oleh tiap individu untuk membeli kuota, latihan yoga, futsal, dan lainnya. Belum terhitung pos yang disediakan untuk nongkrong di kafe, nonton bioskop, dan sebagainya. Ironi berikut adalah fakta bahwa naiknya harga garam yang di sisi lain membawa berkah bagi para petani garam, ternyata sama sekali tak berdampak apapun bagi para pengeluh ini. Keluhan tetap terumbar, seakan meningkatnya kesejahteraan rakyat di bagian lain tak ada artinya. Seolah ekstra dua ribu rupiah per bungkus garam membawa mereka ke dalam tubir derita dan sengsara. Dan di ujung hari, keluhan itu ditutup dengan segala hujat dan caci-maki terhadap para pemegang otoritas.

Jadi ini memang bukan masalah seberapa kecil atau besar suatu komoditas mengalami kenaikan harga. Ini lebih kepada mental. Ini masalah pilihan untuk bersikap. Warga Semarang yang mencari bekicot di tengah rasa lapar dan ancaman tembakan patroli Belanda 73 tahun lalu, punya pilihan untuk mengeluh dan merutuki siapapun, termasuk Tuhan. Namun mereka tidak. Mereka ialah bagian dari gelombang besar manusia Indonesia yang diperas sengsara, namun secara mengherankan mampu memertahankan kualitas hati yang penuh ucapan terima kasih pada Sang Pemberi hidup, lepas dari macam apakah hidup yang harus mereka jalani periode demi periode.

Kualitas itulah yang dirangkum oleh Husein Mutahar dalam syair ‘Syukur’, ditambah satu kualitas sebagai penyempurna: iman sepenuh. Patut dicamkan bahwa pada tanggal 7 September 1944, ketika lagu ini tercipta, negara ini secara resmi bahkan sama sekali belum bernama. There was no such Indonesia. Negeri ini masih dikenal dengan label hina: Hindia Belanda. Namun Mutahar, seorang anak bangsa jajahan yang secara hukum kolonial sama sekali tak punya hak atas negeri ini, telah berani membuat aklamasi: tanah air pusaka. Masih belum cukup: INDONESIA MERDEKA. Mutahar menegaskan adagium ‘What you believe is what you get’. Atau lebih jauh, ‘What you thank for is what you deserve.’

Itulah iman sepenuh, sebab hakikat iman itu sendiri ialah keberanian untuk percaya pada apa yang tak terlihat dan atau belum terjadi. Dan upah tentu sudah menanti di ujung hari. Tepat seperti yang kurang dari setahun berikutnya, pada 17 Agustus 1945, terjadi: proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagai jawaban dari rangkaian perjuangan sekaligus iman bangsa Indonesia. Sebab iman tak pernah berdiri sendiri. Ia tak sekedar dikumandangkan atau dipikirkan. Iman memiliki posisi linier dengan usaha. Mereka setara, sedangkan rasa syukur adalah sokoguru bagi keduanya.

Seperti sinergi yang dilahirkan oleh alam itu sendiri, berikutnya tiga perkara ini: keikhlasan, rasa syukur, dan iman, dengan jeli oleh para bapak bangsa dirumuskan pada Pancasila sila pertama butir kedua. ‘Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan YME sesuai agama dan kepercayaannya…” jelas merupakan ajakan bagi bangsa yang ber-Tuhan ini untuk kembali ke kitab masing-masing. Dan tiap-tiap kitab kiranya merupakan tuntunan praktis sekaligus adikodrati untuk menjalani setiap permasalahan, baik sebagai pribadi maupun secara kolektif sebagai bangsa. Jika kita ada waktu untuk membuka tiap-tiap kitab suci, tiga perkara di atas termuat dengan pasti.

Sebelum Indonesia lahir, sebelum Pancasila terumuskan dengan sempurna, rakyatnya telah rampung dalam pemahaman akan faktor-faktor di luar kemampuan manusia, yang berperan dalam terkabulnya suatu cita-cita. Pada masa itu, cita-cita ultima rakyat Nusantara ialah kemerdekaan Indonesia. Darah mereka kucurkan, dan rasa syukur mereka hembuskan sebagai roh yang akan memberi nyawa bagi setiap bentuk usaha itu. Akhirnya: merdeka. Satu kata saja, namun untuk itu jutaan melepas nyawa. Kini merdeka di tangan kita. Kita punya pilihan untuk memaknainya: menaikkan syukur atas segala perkara, sebagai kekuatan adikodrati untuk memajukan bangsa. Atau justru menenggelamkannya dengan keluh dan cerca.

 

Editor: Ronny A. Buol

 

zonautara.comYuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga. Ikut tulisan-tulisan renya dari Yuanita.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
Follow:
Pemulung informasi dan penyuka fotografi
Leave a comment
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com