Ini adalah bagian kelima dari 11 tulisan catatan perjalanan yang dilakukan Ronny A. Buol ke pedalaman Kalimantan pada 2016 lalu. Bagian sebelumnya dapat dibaca di: Dari gaharu, sawit hingga hutan
Ovianus Madang (25) menyeka keringat di dahinya. Siang itu sungguh terik, saat dia baru saja tiba di rumahnya, di Meraseh, sebuah dusun di Long Isun, Kecamatan Long Pahangai.
Ovianus yang hanya lulusan SMA Barong Tongkok, Kutai Barat ini baru saja usai menutup ruang-ruang kelas di SD 004 Filial Long Isun. Empat tahun sudah rutinitas itu dia jalani, sebagai guru PPT di satu-satunya bangunan sekolah di kampung itu.
“Tak ada yang mau mengajar di sini, dan saya berani mengajukan diri, karena kasihan anak-anak di Meraseh jika tidak ada yang menjadi guru bagi mereka,” tutur Ovianus.
Sebelum sekolah dasar filial itu dibangun, anak-anak dari Meraseh harus menyeberang dengan ces (sampan khas Dayak pedalaman) sekitar 30 menit, membelah aliran sungai Mahakam ke Datah Suling, tempat SD 004 Long Isun berada.
Tentu kondisi itu memberatkan anak-anak apalagi yang masih duduk di bangku kelas 1 hingga kelas 4. Warga Meraseh kemudian berembuk mencari jalan keluar, hingga kemudian mereka secara swadaya mendirikan bangunan sekolah yang sederhana. Bangunan itu dari bahan kayu dan papan.
Persoalan muncul, karena sulit mencari guru yang bisa tinggal secara menetap di sana. Sementara guru di SDN 004 Long Isun juga terbatas. Mendengar kondisi itu, Ovianus tergerak hati lalu bersedia mengabdi untuk anak-anak di Meraseh.
“Saya sebenarnya bercita-cita menjadi polisi. Tapi ini lebih penting, saya orang asli di sini, dan merasa ikut bertanggungjawab dengan masa depan anak-anak ini. Kasihan mereka jika tidak ada yang mengajar,” kata Ovianus.
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dia dapat sewaktu duduk di bangku SMA, Ovianus kemudian menjadi guru tunggal bagi murid-murid di SD 004 Filial Long Isun. Empat kelas sekaligus!
“Tahun ini saya mengajar kelas 1, kelas 3 dan kelas 4. Kebetulan untuk kelas 2 tidak ada muridnya. Ya, saya harus membagi waktu agar bisa menghandel semua kelas,” jelas Ovianus.
Beruntung beberapa bulan terakhir, pekerjaannya terbantukan karena Liling (24), yang juga lulusan SMA, bersedia menjadi guru bantu mendampingi Ovianus.
Pengabdian tulus Ovianus dan Lilin tanpa pamrih. Akses transportasi yang susah dan mahal ke wilayah hulu di Kalimantan Timur itu menjadikan kebutuhan pokok berada di atas harga normal. Apalagi jika permukaan sungai Mahakam surut, dan distribusi barang dari Samarinda tersendat. Harga kebutuhan pokok bisa menjadi empat kali lipat dari harga semula.
“Kami menerima gaji tiga bulan sekali, dan kadang lebih lama dari itu. Tergantung bendahara sekolah di Long Isun pergi mengambil gaji di kabupaten,” ujar Ovianus.
Semangat bersekolah
Saat matahari masih di balik pepohonan pagi sebelumnya di Datah Suling, Imuq (74) melepas cucunya Bulan, pergi ke sekolah. Bulan harus menumpangi ces yang akan membawanya ke Long Pahangai sekitar 20 menit perjalanan. Sebab di Datah Suling tidak ada SMP, dimana Bulan harus menuntaskan pendidikannya.
Imuq, dulu adalah perempuan Dayak yang berhisang. Anting gelang yang digantung di cuping telinga yang memanjang. Gelang itu bisa berjumlah puluhan. Tapi Imuq telah memotong cuping panjangnya dan melepas hisangnya. Demikian pula dengan gelang yang ada di payudaranya. Namun, tato di tangan dan kakinya tak pernah akan hilang.
Di saat yang bersamaan, Lun dan Imas dua bocah yang duduk di kelas IV SD juga bersemangat menuju ke SDN 004 Long Isun. Mereka hanya perlu jalan kaki, sebab letak sekolah mereka hanya berada di belakang kampung.
Kabut masih menyelimuti sekeliling kampung Datah Suling, namun langkah kaki-kaki kecil para bocah ini menyiratkan semangat mereka untuk bersekolah. Meraih pengetahuan yang diajarkan guru walau ditengah serba keterbatasan. Tak jarang, banyak diantara mereka yang tak mengenakan sepatu sewaktu masuk ke ruang kelas.
Bagi mereka sekolah adalah hal penting. Jembatan untuk menghubungkan mereka dengan ilmu pengetahuan luar dan jendela untuk melihat dunia. Pendidikan telah memberikan presepsi baru bagi anak-anak suku Dayak Bahau Busang ini. Bahkan setelah selesai menempuh pendidikan di SMP, mereka harus ke Long Bangun melanjutkan ke jenjang SMA/SMK. Dan ke Samarinda untuk ke perguran tinggi.
Beranjak ke pendidikan sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi itu, bukanlah perkara mudah bagi anak-anak di Mahakam Ulu. Letak geografis wilayah mereka, memaksa mereka harus menyediakan dana yang tidak sedikit. Transportasi adalah salah satu kendala utama.
Perubahan kebiasaan hidup sehari-hari juga menjadi tantangan kala anak-anak ini menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Di kampung seperti di Datah Suling, sungai merupakan nadi kehidupan. Nyaris seluruh ritual hidup keseharian mereka dihabiskan di sungai.
Di Datah Suling hanya ada satu rumah yang memiliki kamar mandi dan WC. Kampung yang dihuni sekitar 450 penduduk ini, justru membangun WC mereka di tepi sungai yang sekaligus dijadikan sebagai tambatan ces dan tempat mencuci baju. Sementara untuk mandi, penduduk Datah Suling langsung menceburkan diri ke dalam sungai. Air minum pun berasal dari sungai.
Berada di tepi sungai saat pagi hari di sepanjang Mahakam bagian hulu adalah saat yang tepat menyaksikan semangat orang Dayak memulai hari mereka. Semuanya dimulai dari sungai, termasuk anak-anak yang bersekolah itu.
Bahau Umaaq Suling
Baik Bulan, Lun, Imas dan generasi seumuran mereka adalah penerus darah leluhur mereka yang dipercayai berasal dari Apau Kayaan. Sebuah wilayah yang berada di hulu dan berbatasan dengan Malaysia. Leluhur mereka adalah Suku Dayak dari sub suku Bahau Umaaq Suling.
Mereka memiliki kepercayaan yang kuat terhadap roh-roh leluhur melalui pelbagai ritual adat yang didasarkan pada pengaruh kepercayaan lokal dan pemaknaan terhadap kondisi dan tanda-tanda alam. Kepercayaan terhadap tanda-tanda alam itu telah membawa mereka bermigrasi dari Apau Kayaan ke kampung (Umaaq) yang lebih baik hingga tiba di ulu sungai Meraseh, anak sungai Mahakam dan menyebar di kantong-kantong pemukiman.
Pemerintah Kutai pada 1991 melakukan regrouping kantong-kantong pemukiman dan kampung-kampung guna kemudahan administrasi dan pelayanan pemerintahan. Kelompok migrasi Bahau Umaaq Suling lalu terbagi menjadi dua, yakni Kampung Meraseh di tepi sungai Meraseh dan Long Isun Datah Suling di tepi sungai Mahakam.
Ovianus pun harus berjuang dengan semangat pengabdiannya terhadap pendidikan anak-anak SD di Kampung Meraseh agar sederajat dengan anak-anak yang ada di Datah Suling.
Sebagaimana konstruksi sosial masyarakat Dayak pada umumnya, Dayak Bahau Umaaq Suling mengenal pengelompokan sosial yang terbagi dua. Pertama adalah kelompok Hipui atau bangsawan dan kelompok Panyin atau kelompok masyarakat biasa. Dulu, ada satu lagi strata sosial, yakni Dipan atau kelompok budak.
Hipui adalah benteng terakhir kala terjadi sengketa di tengah masyarakat. Hipui lah yang akan mencarikan cara penyelesaian terbaik setiap masalah yang muncul. Seorang Hipui merupakan orang yang paling tahu soal adat, baik hati dan tidak pilih kasih serta mengatur kehidupan masyarakat.
“Di tangan Hipui lah penentuan kapan waktu memulai kegiatan perladangan serta lokasi perladangan. Hipui adalah orang yang paling berkuasa di kampung secara adat, termasuk menentukan waktu dimulainya persiapan ritual Hudoq Pekayang,” ujar Kuleh Lia, seorang tokoh masyarakat Long Isun.
Walau kehadiran struktur pemerintahan hingga ke kampung telah mengambil alih sebagian dari peran Hipui, namun harapan masyarakat Bahau Umaaq Suling tetap berada pada seorang Hipui yang dijadikan panutan adat.
Bersambung ….
Baca Pula:
Bagian 1: Bertaruh Nyawa Menuju Kampung
Bagian 2: Bergantung Pada Ces
Bagian 3: Kegundahan Dari Ladang Meraseh
Bagian 4: Dari Gaharu, Sawit Hingga Hutan