ZONAUTARA.com – Interaksi sosial adalah tentang membaca isyarat, menafsirkan, dan merespons. Dalam interaksi sosial ini tidak terlepas dari ekspresi wajah yang kita lakukan sebagai bagian dari respons terhadap lingkungan.
Senyum dikenal sebagai ekspresi kebahagiaan, sehingga penting menampilkan senyum sebagai isyarat tentang kebahagiaan yang sedang dialami. Cemberut sebagai tanda kesedihan, begitupun ekspresi-ekspresi lain yang kita tunjukkan yang selalu punya makna.
Bahkan interaksi virtual yang lazim digunakan sekarang ini mengandalkan penggambaran ekspresi-ekspresi ini untuk membantu orang-orang menunjukkan atau menggambarkan diri mereka.
Namun faktanya, ekspresi wajah ini tidak bisa kita andalkan sepenuhnya untuk mendefinisikan emosi seseorang. Atau lebih tepatnya, ekspresi yang ditunjukkan tidak selamanya benar dan jujur.
Sebuah penelitian yang dilakukan Aleix Martinez, seorang profesor teknik elektro dan informatika di The Ohio State University, menganalisa ekspresi wajah manusia yang akan digunakan dalam pembuatan algoritma komputer untuk menganalisa ekspresi-ekspresi ini.
Penelitian-penelitian serupa biasanya digunakan untuk mengembangkan kemampuan deteksi kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan seseorang atau yang lebih umum dikenal sebagai deteksi kebohongan dalam interogasi.
Dalam penelitian ini, Aleix mencoba menganalisis kinetika gerakan otot wajah dan membandingkannya dengan emosi seseorang. Hasil penelitian ini malah menunjukkan definisi emosi yang didasarkan pada ekspresi wajah seseorang hampir selalu salah.
Seseorang biasanya akan menunjukkan ekspresi wajah berdasarkan konteks dan latar belakang budaya. Tidak setiap orang yang selalu tersenyum artinya bahagia.
Begitupun orang yang selalu diam ataupun cemberut bisa kita deskripsikan sebagai orang yang tidak bahagia. Kebahagiaan lebih relatif dari pada itu.
Terkadang orang-orang tersenyum hanya karena kewajiban akan norma-norma sosial. Untuk mendeteksi emosi seseorang, kita masih harus mempertimbangkan dan memerhatikan faktor lain. Misalnya:
- Warna wajah
Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang sedang merasa marah misalnya, otak akan melepas peptide atau banjir hormon. Hal ini menyebabkan perubahan aliran dan komposisi darah sehingga warna wajah akan berubah.
- Postur tubuh
Tubuh manusia juga menawarkan petunjuk lain. Postur tubuh memainkan konteks penting dalam upaya kita mendeskripsikan emosi yang dirasakan seseorang.
Ketika seseorang disodorkan gambar dengan komposisi yang hanya menampilkan ekspresi wajah. Seseorang dengan mulut terbuka seolah berteriak dengan wajah merah padam, ini dengan mudah dideskripsikan sebagai emosi sedang kesal atau marah.
Tetapi, gambar yang sama dan ditunjukkan dengan komposisi lebih lengkap yang menunjukkan seluruh tubuh. Posturnya bisa saja memperjelas deskripsi tadi.
Ekspresi tadi hanya merupakan gambaran seseorang yang sedang menikmati pertandingan sepak bola dan sedang merayakan cetakan poin gol. Teriakan yang diiringi perubahan warna wajah tidak selamanya menjadi penggambaran untuk emosi marah atau kesal.
- Bias budaya atau peran
Beberapa budaya mendeskripsikan senyum sebagai hal yang lumrah. Berjalan-jalan di supermarket dan melontarkan senyum pada semua orang yang kita temui itu menjadi hal biasa dan merupakan sopan santun dasar.
Tapi, belum tentu budaya lain mendeskripsikan hal serupa. Berjalan dengan senyuman bahkan pada orang yang tidak dikenal, bisa saja membuat anda malah dianggap gila atau dianggap lancang.
Pada akhirnya kita tidak akan bisa menggambarkan emosi orang-orang dengan akurasi 100 persen. Akan selalu ada celah.
Mengartikan maksud emosi manusia lebih kompleks dari sekedar menggambarkan ekspresi yang ditunjukkan wajah. Tak heran dari sisi religius manusia disebut makhluk sempurna karena kompleksitasnya yang tak terduga.