Ini merupakan bagian 3 dari 5 bagian reportase dari Papua. Bagian 2 dapat dibaca di sini.
Jauh sebelum ada jalur transportasi dan masuknya transmigrasi ke Papua, terutama di Timika, orang asli Papua (OAP) hidup selaras dengan alam. Setiap suku asli di sana punya kepercayaan yang menjunjung alam.
Sebagai suku yang mendiami Mimika, suku Amungme terkenal sebagai penakluk dan tinggal di daerah dengan ketinggian lebih dari 2000 hingga 4000 mdpl dengan kemiringan 40 derajat. Mereka memanfaatkan alam untuk bercocok tanam, menamam keladi, tebu, dan jenis tanaman lain. Suku Amungme tidak hidup nomaden, kecuali dalam sistem pertanian. Mereka biasa mengelola lahan secara bergantian menggunakan batu jenis tertentu dari Uhibu, Intan Jaya, yang diubah menjadi kapak.
“Rumah tetap, kebun saja yang berpindah,” kata tokoh adat suku Amungme, Menuel John Magal, awal Desember 2021.
Mata pencaharian mayoritas suku Amungme adalah berternak dan bercocok tanam. Untuk memenuhi kebutuhan protein, suku Amungme akan berburu ke gunung atau ke dataran yang lebih rendah. Hasil buruan juga biasa dijual. Mereka menggunakan kulit kerang jenis tertentu (kulit bia’) sebagai mata uang.
“Walau tidak ada danau atau laut, tapi kulit kerang ini didapatkan suku Amungme dari danau Paniai,” jelas Menuel.
Suku Amungme fleksibel dalam memenuhi ekonomi. Mereka bisa diajak bertukar barang (barter) jika bertransaksi dengan suku Kamoro yang memang menggunakan sistem pertukaran.
“Biasa untuk transaksi tembakau di Nawaripi, Manasari. Dari Kamoro naik bawa kapak, pisau, dan alat keterampilan yang mereka tukar di situ. Mereka harus berjalan mendaki gunung Cartenz dan lewat bibir kolam Grasberg untuk turun ke Himba. Dari sana mereka dapat mata kapak dan garam dari sumber air khusus yang asin. Kedua barang dagangan ini digunakan bayar kepala (sebagai harta perempuan). Tentu semua interaksi dilakukan dengan berjalan kaki,” papar Menuel.
Suku Amungme menjalankan perekonomian dengan cara yang merdeka tanpa ketakutan dan gangguan. Hidup bahagia ini telah berlangsung sejak lama. Mereka juga membuat gelang dan menganyam noken.
“Bahkan bentuk kehidupan sosial suku Amungme yang sejahtera kala itu digambarkan dalam rajutan simbol-simbol tertentu di noken mama-mama Paniai,” ujar Menuel.
Suku Amungme tidak mengenal sistem kerajaan. Kepala suku baru muncul belakangan. Setiap keputusan merupakan keputusan kolektif.
“Orang merdeka tapi demokratis. Jika ada masalah, semua akan didiskusikan terutama antar pemimpin,” jelas Menuel.
Pengaruh perusahaan di Papua
Namun seiring berjalannya waktu, kedamaian dan kejayaan OAP terutama suku Amungme mulai tergerus. Keadaan berubah ketika perusahaan masuk, memaksakan uang sebagai tolak ukur kekayaan dan kemakmuran yang justru berbeda dari sisi tradisi dan cara pandang OAP. Tak hanya itu, mulai adanya persaingan dan pembangunan yang tidak berpihak pada OAP, membuat OAP menjadi terbelakang terutama dalam sektor ekonomi.
“Sebagai orang yang mengalami dua zaman (dulu dan sekarang), saya merasa sedih. Orang Amungme, yang nenek moyangnya sebagai penakluk menjadi menyerah. Kenapa mereka begitu? Sebab setelah kahadiran PTFI (PT Freeport Indonesia) mereka gampang sekali mendapat makan. Mereka tidak kerja, apalagi jika ada keluarga yang bekerja (di perusahaan). Mereka cenderung tidak beraktifitas, membuat mereka tidak sekuat dulu. Sebenarnya bukan hanya suku Amungme, bahkan pemerintah gampang sekali mendapat uang, sehingga mentalitas kita menyedihkan,” kata Menuel.
Menurut Manuel, dahulu suku Amungme harus kerja keras untuk mendapatkan kelas sosial yang tinggi, sekarang untuk mendapat uang sebagai alat tukar menjadi mudah. Sementara, kebanyakan masyarakat Amungme belum memiliki keterampilan, pendidikan dan pengalaman dalam berbisnis, atau dengan kata lain, belum bisa mendorong ekonomi yang lebih modern. Segalanya masih dilakukan secara konvensional, sehingga tidak siap bersaing dengan pendatang.
“Ini seperti mengalami benturan budaya. Sewaktu tradisional mereka serba bisa, lantas dipaksakan menjadi modern dan mereka serba tidak bisa sama sekali. Hal ini yang membuat mereka tidak berdaya,” keluh Menuel.
Benturan ini membuat generasi Amungme lemah. Anak muda yang harusnya memiliki tenaga kuat untuk produktif malah tidak bekerja, sebab mereka tidak mampu menghadapi modernitas. Di sisi lain, kemudahan yang didapat lewat bantuan perusahaan justru membuat mereka semakin menjadi rapuh.
“Tidak ada masalah dengan masyarakat pendatang. Dunia sekarang menuntut kita untuk tidak eksklusif hanya satu suku saja. OAP sudah terbiasa dengan keragaman suku. Masyarakat harus bisa beradaptasi dengan siapapun yang datang. Hanya saja, pemerintah itu harusnya memberikan proteksi, memberikan kesempatan pemberdayaan yang sama, agar masyarakat asli Papua bisa berkompetisi,” ujar Menuel.
Proteksi terhadap kekayaan alam, menurut Manuel, harus benar-benar dilakukan pemerintah. Tidak bisa sembarang mengeluarkan ijin. Papua merupakan tanah adat, sudah seharusnya alam di dalam tanah adat dikelola sebagaimana memperhatikan tradisi dan adat istiadat orang asli Papua.
“Bukan OAP yang malas, tetapi pemetaan dan dukungan pemerintah dalam mencari jalan keluar bagaimana pun karakter masyarakatnya yang kurang. Padahal, tanggungjawab itu harusnya melekat,” kata Menuel.
Terpisah, Elisabet Maria Tsome, pengusaha salon dan minimarket OAP dari suku Amungme, mengatakan, untuk bisa bertahan membangun usaha, dirinya justru banyak belajar dari pendatang. Elisabet tidak pernah memandang pendatang sebagai sebab perbedaan ekonomi.
“Harus kita akui bahwa yang kuasai ekonomi di Papua, khususnya di Timika adalah pendatang. Tapi saya tidak ada masalah. Saya justru menjadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk bangkit. Saya tahu, bahwa OAP tidak dilahirkan untuk ekonomi, tapi dilahirkan dengan rasa sosial yang tinggi dan saya bersyukur atas itu,” kata Elisabet.
Elisabet menyadari bahwa dorongan dalam pengembangan ekonomi OAP sangat minim, tapi hal tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Elisabet memutuskan untuk perlahan-lahan terus belajar.
“Saya menerapkan aturan ke adik-adik, jika dia tidak bekerja, maka dia tidak bisa dapat uang. Ini kemudian dilihat oleh karyawan saya yang lain, dan terus berlanjut. Jadi kenapa tidak saling mendukung. Baik dengan sesama orang Papua maupun dengan pendatang. Bisa kita liat, pendatang kiosnya berjejer sama, tapi mereka yakin akan berkatnya masing-masing. Jadi bagi saya tidak ada masalah, sebab saya berdiri memandang ke arah yang positif,” jelas Elisabet.
Hanya saja, Elisabet berharap pemerintah bisa lebih sensitif terhadap perkembangan ekonomi OAP. Apa yang telah menjadi identitas OAP, atau pun potensi yang dimiliki OAP harus didukung.
“Untuk OAP saya hanya bisa bilang bahwa mari mengembangkan apa yang kita punya. Budaya dan kearifan lokal yang tidak harus susah-susah kita pelajari lagi. Pinang, sagu, dan rambut adalah keahlian kita mari lestarikan dan kembangkan, tentu semua itu butuh dukungan pemerintah,” kata Elisabet.
Orang asli Papua perlu didengar
Senada dengan Elisabet dalam melihat posisi OAP, Tokoh adat suku Kamoro, Maruanus Maknaipeku menuntut pemerintah benar-benar memperhatikan kondisi akar rumput dalam setiap pembangunan dan kebijakannya. Saat ini pemerintah terkesan hanya mengejar kesuksesan pribadi tanpa melihat kebutuhan masyarakat bawah.
“Kami tidak hanya mempersalahkan eksekutifnya, tapi juga legislatifnya. Apakah sejauh ini mereka telah memberi masukan dan menyampaikan aspirasi rakyat. Ibaratnya, mungkin (mereka anggap) orang matilah yang telah memilih mereka, sehingga aspirasi masyarakat susah sekali didengar,” kata Maruanus.
OAP terutama Kamoro, jelas Maruanus, memiliki keinginan untuk maju dan bersaing, hanya saja tidak pernah diberi kesempatan untuk berdaya. Tidak dibina, didampingi bagaimana menjadi lebih maju, menjadi nelayan yang baik, yang sukses.
“Yang ada, nelayan Kamoro justru diminta menumpangi pihak ketiga, sehingga ketika ada masalah di laut, kita yang disuruh hadap-hadapan. Jadi jika seperti ini terus, bisa dibilang nelayan Kamoro akan hilang. Harusnya ada regulasi yang lebih berpihak ke nelayan Kamoro dan kemudian dibarengi dengan pendampingan untuk peningkatan SDM,” kata Maruanus.
Semangat OAP dalam menuntut hak dasar dan keberpihakan terhadap tradisi, guna peningkatan taraf hidup lebih baik mendapat dukungan dari berbagai komunitas paguyuban suku di Mimika.
Sekretaris Kerukunan Keluarga Jawab Besartu (KKJB) Mimika, Mustofa, menganggap APBD yang besar dari PTFI, membuat (pemerintahan) tidak sehat. Menurutnya ada banyak potensi di bidang lain yang selaras dengan budaya OAP yang belum dieksplore dan dikembangkan.
“Kenapa ini tidak didorong, sektor yang dikuasai OAP. Program pemberdayaan yang ramah tradisi harus ada, sebab ini akan menjadi kunci ekonomi OAP yang lebih baik,” kata Mustofa.
Ketua Bidang di KKJB, Reddy Wijaya, yang juga Anggota DPRD Mimika, membenarkan hal tersebut. Menurutnya butuh upaya yang lebih keras dari pemerintah.
“Kita dari paguyuban ingin mendorong OAP agar lebih berkembang dalam sektor ekonomi, tapi jika pemerintah sendiri kurang, ya kita tidak bisa berbuat banyak. Semua kembali ke pemerintah, harus ada dukungan untuk memberi edukasi kepada semua warga termasuk OAP itu sendiri,” kata Reddy.
Menurut Reddy, ada beberapa program pembinaan KKJB yang turut mengajak OAP belajar bersama dalam mengelola pertanian, semisal di SP 5, SP 6 dan SP 9. Ada juga yang setelah ikut belajar, akhirnya bisa melakukan budidaya ikan di tambak.
“Pada prinsipnya kita masyarakat urban juga mau mendorong OAP untuk lebih maju lagi secara ekonomi. Kita mengupayakan kolaborasi dan menghindari terjadinya konflik. Pemerintah harus lebih kreatif lagi. Contoh bangun balai latihan kerja, banyak kerja-kerja yang potensinya bagus untuk OAP. Itu tugas kita untuk mendorongnya, dan terutama peran pemerintah. Sekali lagi, meski kita KKJB ingin mendorong ini dan itu, tapi kalau dari pemerintah kurang dukungan ya kita tidak bisa berbuat banyak,” ujar Reddy.
Tak hanya KKJB, paguyuban lain seperti Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) menduga pemerintah belum melakukan pendampingan atau pemberdayaan yang tepat sasaran. Pemerintah diminta tidak setengah hati dalam mendorong berkembangnya ekonomi OAP.
“Sebagai orang yang telah tinggal bahkan berpihak di Timika, kami mencoba memberi ruang terhadap OAP. Kami tidak boleh mengesampingkan hal ini, bagaimanapun kami mencintai tanah ini. Terlepas dari suku apa, faktanya anak-anak kami sudah lahir di sini. Terkadang kami merasa lebih Papua dari orang Papua,” kata Ketua Keluarga Bugis Sidrap di Mimika, Munawir Yakub.
Munawir optimis, jika didampingi dengan benar OAP akan memiliki kemampuan yang sama dengan suku-suku pendatang yang lebih dulu mendapat akses pendidikan.
“Di tempat saya, banyak adek-adek (OAP) yang sudah bekerja dari remaja. Mereka bekerja sambil belajar, banyak yang sekarang jadi ahli pada bidangnya. Ahli otomotif di bengkel, atau di usaha-usaha yang lain,” ucap Munawir.
Setelah adanya otonomi khusus (otsus), walau banyak lemahnya juga, dibanding dulu, Munawir mengatakan, komposisi OAP di berbagai sektor sudah ada peningkatan walau masih kecil.
“Otsus membolehkan putra daerah masuk dalam perusahaan, dan aturan lain yang lumayan berpihak. Dan ya, pemerintah sebenarnya telah melakukan pendampingan, seperti dibentuknya Kamar Adat Papua, yang menjadi kendaraan untuk para pedagang Papua memperjuangkan hak-hak mereka. Tapi, kalau dari kacamata politik, entahlah menurut saya, pemerintah tidak serius, tidak sungguh-sungguh memperjuangkan itu,” jelas Munawir.
Keadaan ini membuat pendatang banyak menguasai sektor-sektor penting di Mimika, termasuk dalam pemerintahan. Sebut saja, Jawa yang menguasai sektor pertanian, perikanan dan rumah makan, Bugis Makassar menguasai perdagangan, Toraja menguasai peternakan babi. Madura menguasai transportasi.
Mentalitas aparat pemerintah
Menanggapi hal tersebut, Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob mengatakan sebenarnya pemerintah telah berupaya. Tetapi ada persoalan lain yang tak kalah penting, yaitu mentalitas.
“Pemerintah sudah memberikan perahu, dan jaring. Solusinya adalah pendampingan 24 jam, mampukah pemerintah melakukan itu? Faktanya, pemerintah belum melakukan pendampingan dan pengawalan secara terus menerus. Kalau kita kasih jaring, kita harus kasih tahu, jaring ini diapakan. Karena tidak ada pendampingan, ketika kita cek lagi, ternyata jaringnya sudah dijual. Dan tidak diteruskan. Nah, apakah kita harus menyerah dan kalah? Saya rasa tidak. Pemerintah harus mempunyai hati,” kata Johannes.
Menurut Johannes, kerja organisasi sangat dibutuhkan untuk mencapai sebuah solusi. Mama-mama Papua, misalnya, akan tetap konvensional karena ada kepercayaan dan tradisi yang mengakar. Kebiasan ini harus dilihat dan didukung. Jadi pembangunan atau apa pun harusnya ramah tradisi, sehingga OAP bisa merasakan manfaatnya.
“Memang ada perencanaan seperti itu, tapi realisasinya kan belum,” aku Johannes.
Johannes sendiri tak membantah jika sebenarnya pemerintah sudah tahu, tentang penyebab OAP tidak bisa bersaing dalam bidang ekonomi.
“Penelitian dan riset dari luar banyak sekali yang telah disodor ke pemerintah. Kita semua sudah tahu. Intinya adalah, kita harus memiliki hati, agar kita bisa memahami mereka seperti apa, maunya seperti apa. Baru kita bangun sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Itu prinsipnya,” kata Johannes.
Menurut Johannes, saat ini komposisi OAP dalam pemerintahan terbilang masih sedikit, 30 persen OAP banding 70 persen pendatang di legislatif, dan 20 persen OAP banding 80 persen pendatang di tataran eksekutif.
“Persoalannya orang luar ini, atau justru OAP itu sendiri paham atau tidak persoalan OAP? Betul ekonomi dan IPM kita bagus, tapi bukan untuk OAP dan Mimika secara keseluruhan. Sampai-sampai Mimika yang kaya raya ini, di dalam kota belum memiliki transportasi umum. Dalam kota saja tidak ada transportasi umum yang memadai, apalagi din pedalaman,” jelas Johannes.
Di sisi lain, Veronika Kusumaryati, seorang antropolog pemerhati Papua lulusan Harvard, mengungkap, kehadiran PTFI banyak mengubah kondisi dan status OAP. Sejak kedatangan pertama tahun 1967 dan beroperasi sekitar tahun 1973, Freeport telah mengambil tanah-tanah masyarakat adat Amungme dan Kamoro —seizin pemerintah Indonesia— sehingga jelas ini berdampak pada kehidupan kedua suku ini di sana.
Selama operasinya di tanah Papua, Freeport mempekerjakan OAP (sekarang sekitar 25 persen dari total jumlah karyawan), kebanyakan di level bawah operasional. Kebanyakan karyawan datang dari bagian barat Indonesia, jadi yang banyak mendapatkan keuntungan dari operasi ini lebih banyak orang luar (bukan orang asli).
“Freeport juga membayar pajak dan berbagai setoran lain termasuk untuk TNI/Polisi, dan ini yang dianggap OAP merugikan karena kehadiran TNI/Polisi mengakibatkan banyak kasus pelanggaran HAM. Terakhir, Freeport melakukan banyak program di CSR (corporate social responsibility), seperti beasiswa untuk 7 suku di wilayah konsesinya. Untuk yang terakhir, (CSR) saya tidak bisa menilai sukses/gagalnya karena saya kurang data,” kata Veronika.
Secara umum, Veronika menjelaskan, kegiatan Freeport memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang cepat di Timika. Sektor tambang banyak menyumbang untuk GDRP Papua, tetapi harus ditanyakan apakah sumbangan ekonomi ini sudah didistribusikan ke masyarakat, terutama yang terkena dampak operasi tambang.
“Melihat indikator pembangunan OAP yang masih rendah, bisa dikatakan bahwa sumbangan perusahaan tambang seperti Freeport, tidak serta merta meningkatkan status ekonomi kebanyakan OAP, mungkin hanya sekelompok elit OAP dan orang Indonesia,” kata Veronika.
Padahal, pemerataan ekonomi akan membawa pengaruh pada ekonomi OAP yang selama ini tidak dibangun kapasitasnya. Veronika menilai, persoalan di Mimika sangat kompleks dan sampai sekarang model pembangunan ekonomi di sana belum berpihak pada pemain kecil seperti OAP.
“Saya kurang yakin, apakah negara dan perusahaan berkomitmen melakukan politik redistribusi sumber daya ketika proses konsentrasi kekuatan dan kekayaan masih pada segelintir orang,” kata Veronika.
Veronika pesimis ada solusi yang memuaskan semua pihak. Akan tetapi Veronika mengatakan, solusi untuk OAP tentu saja adalah penghentian/moratorium kegiatan tambang supaya alam dan masyarakat Papua bisa memikirkan model ekonomi yang lebih berpihak.
“Tetapi apakah pemerintah dan korporasi akan melakukan ini? Saya ragu,” ujar Veronika.
Terpisah, Vice President Industrial Relations PT Freeport Indonesia, Demi Magai mengatakan, produksi tambang di Freeport semakin meningkat. Namun, dari tahun 2016 hingga tahun 2018 ada penurunan yang terjadi berkaitan dengan kontrak karya dan izin usaha pertambangan khusus.
“Target produksi saat ini lebih banyak adalah tembaga, sekitar 22 ton per hari, sementara emas masih dibawahnya. Tahun 2018 bonus produktifitas tembaga (untuk karyawan) sama dengan emas karena sekarang emas dibawah produksi tembaga,” jelas Demi.
Demi mengatakan, tembaga di Freeport merupakan tembaga terbaik kelas dunia dan saat ini, operasi tambang terbuka sudah ditutup sementara. Pihak Freeport melakukan pengelolaan lingkungan dan penghijauan kembali.
“Kalau Deep Ore Zone (DOZ) sudah tutup, sekarang yang beroperasi adalah tambang underground GBC, DMLZ dan Kucing Liar,” jelasnya.
Demi menegaskan bahwa Freeport berperan sebagai penyumbang ekonomi terbesar di Provinsi Papua dan Mimika.
“Kehadiran Freeport positif sekali tentu memberikan dampak ekonomi bagi daerah,” kata Demi.
Demi menguraikan bahwa saat ini dari 7.700 karyawan Freeport, permanen diluar kontraktor, 40 persen adalah karyawan orang asli Papua. Angka tersebut sudah dikurangi dengan 1.200 karyawan Papua yang ikut dalam mogok kerja beberapa tahun lalu.
Menurut Demi, ada 9 orang asli Papua yang duduk di posisi strategis manajemen PTFI, termasuk dirinya. Salah satu adalah direktur bernama Claus Wamafma.
Sebagai putra Papua yang termasuk dalam 7 suku, Demi berharap, pendapatan daerah khususnya yang diperoleh dari Freeport bisa bermanfaat untuk semua stakeholder, terutama di Kabupaten Mimika.
“Putra daerah harus punya planing yang jelas, harus tahu arah pembangunan kelolanya kemana. Dan kepemimpinan harus terus kerjasama dengan Freeport. Mungkin selama ini masih belum maksimal namun Freeport terus berkomitmen untuk bisa menjalin kerjasama dengan Pemda karena sudah mejadi kewajiban Freeport harus memberikan kontribusi. Berharap pemimpin daerah bisa menjadi pemimpin yang transparan dan memiliki komitmen untuk membangun Mimika,” harap Demi.
Bersambung ke Bagian 4