Ini merupakan bagian akhir dari 5 bagian reportase dari Papua. Bagian 4 dapat dibaca di sini.
Sektor ekonomi menjadi penting, terutama untuk perempuan asli Papua, sebab tidak hanya soal keberlangsungan dan pemenuhan taraf hidup lebih baik. Akan tetapi, berkaitan erat dengan pendidikan serta pemenuhan gizi anak.
Mama Rita tidak pernah berharap lebih, sebagai perempuan orang asli Papua (OAP) harapannya sederhana, bisa tetap hidup sehat bersama keluarga dan bisa memenuhi kebutuhan dasar terutama bagi anak-anaknya.
“Bisa makan, dan semua anak-anak di kampung sehat, itu sudah. Mereka bikin Sa semangat tetap jualan cari uang. Biar sudah mereka tidak sekolah, tidak apa,”ucapnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua menyebut angka partisipasi sekolah (APS) di Mimika selalu berada di atas APS Papua dalam kurun waktu tahun 2017 – 2019. Meski untuk rentang usia 16-18 tahun, angka APS tidak sebagus rentang usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun.
Makin tinggi angka APS, maka semakin banyak jumlah anak usia sekolah yang mengenyam pendidikan. Rendahnya APS di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya pendidikan orang tua, kesehatan anak, rasio guru dan faktor ekonomi keluarga.
Jika dilihat dari angka putus sekolah, di seluruh Provinsi Papua, hingga tahun 2019 masih ada siswa yang tidak dapat menikmati pendidikan lebih lanjut, meski angkanya termasuk kecil.
“Anak hanya 1 sekolah, sampai SD. Guru jarang masuk kelas, anak-anak lebih memilih keluar kelas, jadi anak ikut cari pakis sudah,” kata Maria pedagang OAP di pasar Sentral Timika asal kampung Paripi.
Maria mengatakan, dirinya tidak menyekolahkan anak di tempat lain karena jaraknya sangat jauh.
“Sekolah jauh, tidak ada ongkos untuk pergi ke sana, anak-anak cuma main lebih baik bantu orangtua,” Maria memberi alasan
Tak hanya pendidikan, pemenuhan gizi anak menjadi persoalan yang juga perlu mendapat perhatian serius. Dinas Kesehatan Mimika mencatat, saat ini Mimika masih mengoleksi angka stunting yang tinggi yaitu 11 persen dari 300 anak. Dengan rincian wilayah Wania dan Distrik Mimika Timur menjadi penyuplai angka terbesar. Di Puskesmas Timika, tahun 2021 saja, tercatat ada 24 anak kurang gizi, 1 di antaranya gizi buruk.
“Sudah saatnya penyelesaian stunting dilakukan secara bersama. Tidak parsial saja. Apalagi stunting ini menjadi program nasional. Bagaimana menciptakan generasi Papua yang cerdas jika angka stunting sulit ditekan,” kata Wakil Bupati Mimika, Johannes Retob.
Johannes mengatakan, soal pendidikan, sebenarnya baik pemerintah maupun PT Freeport Indonesia (PTFI) yang membentuk yayasan khusus menyalurkan dana CSR, sudah memberi dukungan terhadap OAP, terutama untuk anak-anak suku Amungme dan Kamoro, serta 7 suku kekerabatan lainnya.
“Kalau OAP mau sekolah kemana saja akan dibiayai dan ini sudah dilakukan. Tapi bentuk pendidikannya yang perlu dipikirkan lagi. Bagaimana anak-anak ini bisa memiliki pola berpikir vokasi. Kalau dia berpikir belajar di universitas, dia sarjana, dia tidak akan lakukan apa-apa. Yang kita arahkan adalah pendidikan dia itu harus vokasi,” kata Johannes.
Johannes mengakui belum bisa berbuat banyak. Dirinya berharap, semua jajaran pemerintah memiliki mental yang sama. Aparatur pemerintahan di Mimika harusnya memiliki mental pelayan, bukan dilayani.
“Karena persoalannya semua ingin dilayani akibatnya masyarakat tetap akan seperti ini, dan banyak program yang sudah dikonsepkan secara baik oleh para ahli tidak dijalankan. Struktur anggaran kita belum bisa menjawab apa yang dibutuhkan masyarakat,” ujar Johannes.
Pendidikan vokasi bagi anak Papua
Terasa sulit bagi OAP mengikuti metode pendidikan formal yang selama ini diterapkan oleh pemerintah. Orang asli papua butuh pendekatan yang kontekstual berbasis kebudayaan.
“Mereka harus dikembalikan ke alam, misal diminta menulis nama-nama klan, edukasi by praktik,” jelas Prof. Dr. Cahyo Pamungkas, Ph.D., peneliti Sosiologi Etnisitas dan Multikulturalisme dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Cahyo menjelaskan, OAP memiliki seperangkat kearifan lokal, yang sekarang mulai punah dan harus dihidupkan sebagai pintu masuk untuk mendorong pendidikan. Hal ini penting, sebab OAP telah melewati sejarah panjang, meninggalkan tanah mereka serta digusur. Cahyo menilai OAP telah mengalami disorientasi.
“Mereka misalnya, memiliki daun-daun tanaman obat. Kita dukung dengan riset khasiat apa yang dikandung tanaman tersebut dan bagaimana digunakan untuk kesehatan. Tidak bisa kita paksakan dengan obat-obatan baru yang asing bagi mereka,” kata Cahyo.
Menurut Cahyo, solusi bagi ketimpangan ekonomi sebagai akar utama semua persoalan dasar OAP di Mimika adalah, program-program pembangunan harus dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat adat Papua dengan melibatkan pihak gereja, pemuda, dan organisasi perempuan. Dewan adat dan gereja dilibatkan dalam proses penyusunan, implementasi dan evaluasi program-program pembangunan.
Program-program pembangunan yang sesuai dengan kondisi alam, kapasitas, dan nilai-nilai kultural OAP di Mimika menjadi penting untuk mendorong ekonomi OAP yang lebih baik. Pendekatan melalui pendidikan vokasi dan membangun mentalitas melayani bagi aparat pemerintahan, bisa mendorong lahirnya program-program yang lebih ramah tradisi asli, sehingga benar-benar bermanfaat bagi orang asli Papua.
Jika semua dilakukan, bukan tidak mungkin, harapan Mama Rita sebagai perempuan asli Papua memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga dan melihat anak-anak Papua sehat, tidak hanya sekadar harapan belaka. Di kemudian hari, tidak akan ada lagi mama-mama Papua yang menukar motor dengan ladang, dan bisa hidup setara dengan sesama dari suku manapun di Indonesia. ***