Ini merupakan bagian 4 dari 5 bagian reportase dari Papua. Bagian 3 dapat dibaca di sini.
Persoalan transportasi yang sulit di Mimika terpaksa telah membuat Mama Rita menukar lahan dengan sepeda motor. Mama Rita tidak ada pilihan. Sebab, sebagai perempuan asli Papua, atau lebih dikenal dengan sebutan mama-mama asli Papua, Mama Rita memegang peran utama dalam menopang ekonomi keluarga. Sebagaimana Mama Rita harus ke hutan, saat ini Mama Rita juga harus ke pasar.
“Kalau dulu. Belum jualan sebab masih gampang dapat sagu, karaka (kepiting), dan ikan. Cuma setelah Sa besar, kehidupan sangat sulit. Banyak orang pendatang jual beras. Jadi Sa harus jualan (daun pisang, pakis, salak) dulu, baru dapat uang untuk beli beras,” ujar Mama Rita.
Di Mimika, keterwakilan perempuan orang asli Papua (OAP) paling banyak hanya terlihat di pasar-pasar tradisional. Aktifitas jual beli di pasar kebanyakan dilakukan oleh kaum perempuan. Mama-mama Papua umumnya hanya menjual hasil kebun atau alam, seperti sayur mayur dan umbi-umbian. Sementara perempuan pendatang menjual rupa-rupa produk.
Berdasarkan laporan UNDP pada tahun 2012, peran perempuan Papua dalam menggerakkan ekonomi terutama dari sektor pertanian lebih besar dari pada laki-laki, yaitu sebesar 60 persen. UNDP adalah lembaga yang bekerja untuk mendukung Indonesia mengentaskan kemiskinan, mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, mengurangi kesenjangan antar kelompok dan daerah serta membantu mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030 di seluruh Indonesia.
Sebagai penggerak perekonomian, perempuan asli Papua tak hanya mampu membuka lahan, mencari sagu di hutan dan ikan di sungai. Namun, perempuan Papua juga mampu menjual hasil kebunnya, guna memperoleh keuntungan bagi keberlangsungan kebutuhan hidup. Tapi, meski sudah berjualan cukup lama, banyak mama-mama Papua di Mimika tidak memiliki lapak di pasar. Hanya beberapa saja yang bertahan, lebih banyak menjual kembali lapak mereka kepada pendatang.
Mama-mama Papua memilih duduk berjualan di pinggir jalan sebagai bentuk penghormatan atas apa yang mereka yakini. Mereka percaya, tanah seperti seorang ibu yang memberi kehidupan, sehingga harus dihormati.
“Apa yang kita jual itu semua tumbuh dari tanah. Nanti kalau jualan di atas meja-meja (di lapak), kita akan sial, tidak akan laku,” jelas Mama Rita.
Berbeda dengan Mama Rita, Mama Wenda yang enggan menyebutkan marganya, jauh-jauh datang ke Timika dari Kagupago, Distrik Paniai Timur. Mama Wenda mempertahankan lapak yang diperolehnya saat pembagian lapak dari pemerintah Timika. Dia merasa mulai merasa terusir.
“Saya liat mama-mama jual semua lapak. Akhirnya lapak-lapak pasar jadi milik pendatang. Sa tidak mau seperti itu. Walau hanya menjual sayur, bahkan jika tidak ada jualan sekalipun, Sa akan tetap bertahan di tempat ini. Sa juga tidak mau diam-diam saja seperti mama-mama yang lain. Mama-mama Paniai to,” jelas Mama Wenda sambil tersenyum.
Untuk mendukung mama-mama Papua, pemerintah provinsi sudah membangun beberapa pasar khusus mama-mama Papua, seperti di jalan Percetakan Kota Jayapura, Pasar Praha Sentani, dan di kabupaten-kabupaten lain.
Pasar-pasar ini dibangun dengan konsep pasar lokal modern. Walau tidak semodern di Jayapura, di Timika tahun 2019, pemerintah sempat membangun pasar di Distrik Wania. Pasar yang dibuka pada 23 Oktober ini bisa menampung 84 pedagang dengan desain lapak yang lebih rendah. Tujuannya agar pedagang bisa menaruh dagangannya tidak terlalu tinggi. Namun, pasar itu hanya digunakan beberapa hari oleh pedagang asli Papua, lantas ditinggalkan begitu saja.
Meski ada persoalan lahan di pasar Distrik Wania atau yang lebih dikenal Pasar SP 4 ini, namun bagi pedagang OAP, yang menjadi persoalan dasar adalah pasar tidak ramah dengan kepercayaan dan tradisi mereka. Terdapat keyakinan bagi OAP bahwa saat berjualan harus berada di baris paling depan, terutama bagi suku Amungme. Amungme sendiri terdiri dari dua kata “Amung” yang artinya utama dan “Mee” yang artinya manusia.
“Sa jualan saja di sini (pinggir jalan). Kalau di pasar, tempat Sa dibekalang. Sa harus duduk jualan di paling depan. Biar terlihat to,” ucap Ony Magai,(21), pedagang OAP suku Amungme, dari Distrik Jila.
Hal serupa juga dikatakan kerabatnya, Mama Wenda Magai, (42). Mama Wenda yang sehari-hari menjual umbi-umbian (keladi, batatas, singkong), sebenarnya memiliki tempat berjualan di deretan depan. Namun kondisi pasar yang jauh dari jalan, dan sekarang justru dipagar beton membuat Mama Wenda tidak nyaman.
Kondisi pasar yang tidak ramah tradasi membuat OAP menjadi sulit mengembangkan daya saing mereka di pasar. Tindakan menjual lapak karena mereka merasa tidak mampu bersaing dengan pedagang modern. Ini membuat mereka semakin tidak menguntungkan. Produk modern masih dikuasai pendatang. OAP memiliki keterbatasan tidak memiliki jalur distribusi, karena tidak mahir dalam komunikasi. Dan untuk usaha mikro, OAP kesulitan bertahan sebab sulit mendapatkan bantuan modal dari perbankan.
“Modal saya dari tabungan dan hasil gaji suami dari perusahaan. Sa tidak masuk KAPP (Kamar Adat Pengusaha Papua -red), Sa cuma pengusaha kecil saja,” kata pengusaha anyam rambut OAP, dari suku Amungme, Margaret Dimpau.
Posisi mama-mama Papua tidak diuntungkan
Dilansir dari BumiPapua.com, pada tahun 2009, Bank Indonesia (BI) perwakilan Provinsi Papua secara berkelanjutan melakukan pelatihan pada pengusaha asli Papua yang tergabung dalam KAPP.
“BI memiliki memiliki ketentuan bahwa perbankan wajib menyalurkan kredit, minimal 20% kepada usaha mikro dan kecil. Di sinilah BI mempunyai kewajiban melakukan pelatihan terhadap usaha mikro dan kecil itu,” kata perwakilan BI Provinsi Papua, Tigor Naek Sinaga, dikutip dari BumiPapua.com.
Tak hanya itu, Kepala Asisten Bidang Perekonomian dan Kesra Setda Provinsi Papua, Muhammad Mussad saat dihubungi menegaskan, Papua memiliki lembaga Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) yang diharapkan menjadi penghubung antara usaha kecil menengah dan perbankan. Namun, lembaga itu belum efektif melakukan tugasnya sebagai penghubung.
“Jika KAPP menunjukkan hasil positif, Pemda pasti akan meningkatkan bantuan modal usahanya,”katanya.
Sesuai catatan Pemprov Papua tahun 2016, Gubernur Papua Lukas Enembe, selaku Pembina KAPP memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp25 miliar kepada 2.870 pengusaha asli Papua yang berada di 29 kabupaten/kota. Sayang, hal ini dianggap tidak terlalu banyak membantu.
“Sebagai pengusaha saya lihat, KAPP ini bagus. Tapi belum sungguh-sungguh,” kata Munawir Yakub kepada Zonatutara.com.
Kesulitan OAP dalam mendapat bantuan modal diminta menjadi perhatian pemerintah. Perbankan yang ada di Timika dituding tidak mau memberi pinjaman kepada OAP.
“Bank nasional di Papua khususnya Timika, tidak (mau) memberi kredit pada orang Papua, jadi buat apa ada di Papua. Orang lokal susah sekali mendapatkan bantuan modal. Sudah seharusnya bank terutama yang plat merah mendukung, jangan diskriminatif. Negara harus memudahkan semua bidang dan akses. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat harusnya memberi jaminan, atau mendorong agar orang lokal juga bisa mendapat modal. Atau paling tidak ada program CSR atau apa,” ungkap tokoh adat Amungme, Menuel John Magal.
Manuel juga membenarkan soal pasar yang tak ramah tradisi, dan tak pula menampik bahwa, OAP kerap menjual lapak yang diperolehnya, karena keterbatasan melihat peluang perdagangan modern, sehingga mereka semakin tidak diuntungkan.
Bersambung ke bagian 5.