Direktur Eksekutif Amnesty International, Indonesia Usman Hamid, mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kerusuhan yang menewaskan 10 orang di Sinakma, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan pada Kamis (23/2).
Dalam kerusuhan yang dipicu oleh isu penculikan anak itu, beberapa korban tewas mengalami luka tembak.
“Kami mendesak investigasi yang serius untuk mengusut tuntas insiden ini. Apalagi muncul laporan bahwa beberapa warga tewas akibat tembakan. Harus ditelusuri melalui proses hukum yang adil dan tidak berpihak. Siapa pun pelaku penembakan itu,” kata Usman melalui keterangan tertulisnya, Jumat (24/2) malam.
Usman menilai kerusuhan di Wamena tersebut menandakan berulangnya kasus kekerasan yang merenggut nyawa banyak warga sipil di Papua. Tindakan kekerasan, apalagi sampai menimbulkan banyak korban jiwa, hanya akan mengeskalasi lingkaran kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.
“Kami menyesalkan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi di Wamena kemarin. Kekerasan dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan. Begitu pula penggunaan kekuatan yang eksesif oleh aparat negara di sana,” ucapnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, turut menyoroti adanya dugaan penyalahgunaan senjata api yang dilakukan aparat keamanan saat mengendalikan massa dalam kerusuhan di Wamena.
“Kasus-kasus chaos yang kemudian berujung pada penyalahgunaan senjata api oleh aparat di Papua kerap terjadi seperti di Dogiyai, Deiyai, dan Wamena. Kasus-kasus ini mempertanyakan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 di Papua tentang Senjata Api,” ucapnya.
Bukan hanya itu, Gobay juga heran mengapa isu penculikan anak bisa memicu kerusuhan di Wamena. Padahal sesaat sebelum kerusuhan terjadi, polisi telah mengamankan orang yang dituding sebagai penculik anak.
Polisi juga melakukan mediasi antara keluarga anak yang disebut akan menjadi korban penculikan dan pihak dituding sebagai penculik anak. Namun akhirnya malah terjadi kerusuhan yang menelan korban jiwa.
“Ini apa yang salah? Apakah kurang profesional dalam melakukan praktik restorative justice (menyelesaikan perkara hukum dengan mediasi.red). Saat itu polisi melakukan mediasi. Tapi dari mediasi itu kok bisa berujung chaos. Ini menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan profesionalismenya,” ujar Gobay.
LBH Papua pun meminta agar seluruh pihak yang terlibat dalam kerusuhan di Wamena harus diproses secara hukum baik itu masyarakat sipil maupun aparat keamanan.
“Siapa pun pelaku baik itu aparat keamanan yang menggunakan senjata api maupun masyarakat sipil yang melakukan pelanggaran hukum itu harus diproses,” tandas Gobay.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ignatius Benny Prabowo, mengatakan situasi keamanan saat ini di Wamena telah kondusif.
“Namun TNI-Polri bersama Satgas Damai Cartenz masih berjaga-jaga dan siaga jangan sampai terjadi rentetan dari peristiwa kerusuhan yang terjadi,” katanya.
Benny membenarkan kerusuhan di Wamena dipicu oleh isu penculikan anak.
Kerusuhan berawal saat seorang bocah berlari pulang ke rumahnya usai belanja di pedagang kelontong yang menggunakan mobil. Warga yang melihat bocah itu berlalu usai berbelanja mencurigai pedagang kelontong itu dan melempari mobil pedagang tersebut dengan batu.
“Warga yang melihat curiga, kemudian melempar mobil itu dengan batu. Mobil itu berhenti dan mereka mulai menuding kedua pedagang tersebut, bahkan sempat melakukan pemukulan,” ungkap Benny.
Polres Jayawijaya yang menerima informasi terkait isu penculikan anak langsung menerjunkan petugas ke lokasi. Petugas kemudian membawa kedua pedagang yang dituding sebagai penculik anak ke Polres Jayawijaya untuk dipertemukan dengan keluarga bocah tersebut.
“Karena massa sudah banyak termobilisasi bahkan tokoh masyarakat di sana tidak didengar lagi karena mereka menuntut untuk diselesaikan di tempat kejadian perkara. Sementara petugas ingin menyelesaikan permasalahannya di polres. Memang kedua orang tersebut sudah dibawa ke polres,” jelas Benny.
Benny menegaskan tidak ada penculikan anak seperti isu yang beredar di masyarakat.
Namun kerusuhan tak dapat terhindari. Massa yang sudah terlanjur terprovokasi terlibat baku lempar batu dengan para polisi. Lantaran situasi tak kondusif, polisi menembakkan gas air mata dan tembakan peringatan untuk membubarkan massa. Namun massa tak menggubris tembakan peringatan itu.
Dalam kerusuhan itu, massa membakar 13 rumah dan kios. Lalu, 10 orang tewas dan 17 lainnya luka-luka. Para korban tewas diketahui akibat luka tembak dan senjata tajam. [aa/ft]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia