Amnesty International, Jumat (9/6), meminta Presiden Zimbabwe agar tidak menandatangani undang-undang yang disebut “Undang-Undang Patriotik” yang telah disetujui oleh anggota parlemen minggu ini.
Pemerintah mengatakan bahwa rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan tersebut, yang akan mengesahkan hukuman terhadap orang-orang yang dinyatakan bersalah merusak kedaulatan dan kepentingan nasional Zimbabwe, dibenarkan dan harus diberlakukan. Namun, para kritikus mengatakan undang-undang itu akan mengekang kebebasan berekspresi selama pemilihan Agustus mendatang.
Amnesty International mendesak Presiden Emmerson Mnangagwa untuk tidak menandatangani undang-undang tersebut, yang dikenal secara resmi sebagai RUU Amendemen Kodifikasi dan Reformasi Hukum Pidana 2022.
RUU itu, jika diloloskan menjadi undang-undang, akan mengesahkan hukuman penjara hingga 20 tahun terhadap mereka yang dinyatakan bersalah karena “dengan sengaja mencederai kedaulatan dan kepentingan nasional Zimbabwe.”
Undang-undang itu juga akan memungkinkan hukuman mati bagi seseorang yang ditemukan telah mengadvokasi sanksi-sanksi internasional yang merugikan negara atau rakyat Zimbabwe.
Amnesty mengatakan undang-undang yang diusulkan akan secara efektif memberi otoritas kekuatan yang lebih besar untuk membatasi hak asasi manusia secara berlebihan dan membungkam mereka yang dianggap kritis terhadap pemerintah, seperti aktivis politik, pembela hak asasi manusia, jurnalis, pemimpin masyarakat sipil, partai oposisi, dan pelapor tindak pidana atau whistle-blower
Lucia Masuka, direktur eksekutif Amnesty di Zimbabwe, mengatakan organisasinya sangat prihatin dengan pengesahan RUU minggu ini oleh Senat.
“(Rencana pemerintah untuk) mempersenjatai dengan undang-undang tersebut adalah sebuah langkah putus asa dan paten untuk membatasi hak atas kebebasan berekspresi serta partisipasi publik dalam pemilihan yang dijadwalkan pada Agustus tahun ini,” katanya.
“Ketentuan dalam undang-undang itu sengaja dibuat kabur dan terlalu luas untuk merusak kepentingan dan kedaulatan Zimbabwe, termasuk dengan menyerukan sanksi ekonomi, bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional Zimbabwe. Semua undang-undang harus didefinisikan dengan tepat, memungkinkan orang agar dapat mengetahui dengan tepat tindakan mana yang akan membuat mereka bertanggung jawab secara pidana,” tambahnya.
Namun, Menteri Kehakiman Zimbabwe Ziyambi Ziyambi mengatakan undang-undang yang diusulkan hanya akan menargetkan warga negara yang berencana merugikan negara dengan bantuan pihak asing.
“Ketentuan mengatakan ini: Jika Anda pergi dan bertemu dengan pemerintah asing atau agen pemerintah asing, dan [maksud pertemuan] adalah untuk memastikan bahwa negara tertentu memberlakukan embargo perdagangan di Zimbabwe atau sanksi, dan Anda berpartisipasi penuh dan Anda mendesak mereka untuk melakukan itu, mengetahui sepenuhnya bahwa tindakan Anda akan mencederai kedaulatan negara, Anda bersalah atas pelanggaran,” kata Ziyambi.
“Apakah kamu mengatakan itu baik?”
Dia menambahkan bahwa meskipun tindakan itu diberlakukan, warga Zimbabwe masih diizinkan untuk mengatakan apa pun dan bahkan mengkritik Mnangagwa.
“Hukum tidak ada hubungannya dengan Mnangagwa,” kata Ziyambi. “Anda dapat menghinanya selama Anda tidak melanggar undang-undang yang ada; Anda tidak akan ditangkap. Kami mengatakan bahwa kami dapat tidak setuju, tetapi tidak sejauh mengadvokasi agar masyarakat umum menderita.”
Musa Kika, seorang pengacara konstitusional yang mengepalai Forum LSM Hak Asasi Manusia Zimbabwe, mengatakan pemberlakuan undang-undang tersebut akan sangat disayangkan.
“Pemerintah telah berkomitmen pada reformasi tata kelola tertentu sehubungan dengan tunggakan dan proses pelunasan utang,” kata Kika.
“Di bawah tata kelola ada masalah yang berkaitan dengan konstitusionalisme dan ruang sipil, dan lain-lain. Jenis hukum ini mengambil kembali atau menghilangkan komitmen apa pun yang telah dibuatnya dalam proses itu. Ini adalah undang-undang inkonstitusional – melanggar segala macam hak sipil dan politik yang diberikan konstitusi,” imbuhnya.
Dia menambahkan bahwa RUU itu dapat dicabut dari undang-undang Zimbabwe jika ditentang di pengadilan.
Namun, Rutendo Matinyarare, ketua Gerakan Anti-Sanksi Zimbabwe, tidak setuju.
“Amnesty International bukanlah lembaga hak asasi manusia multilateral,” kata Matinyarare.
“Jadi mereka tidak memenuhi syarat untuk berbicara tentang masalah hak asasi manusia. Itu adalah hak prerogatif Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Kedua, Amnesty International dibayar, jadi bukan lembaga independen. Itu (Amnesty International) adalah lembaga yang dibayar untuk memajukan kepentingan Amerika dan Barat atas kepentingan Dunia Ketiga dan kepentingan Afrika.”
Ia menambahkan, “Mengenai masalah RUU Patriotik, mereka belum memberikan bukti bagaimana RUU Patriotik akan menutup perbedaan pendapat, karena tidak ada (pasal) dalam RUU Patriotik yang mengatakan bahwa warga Zimbabwe tidak diizinkan untuk mengkritik pemerintah.”
Sementara itu, Presiden Mnangagwa belum mengatakan kapan atau apakah dia akan menandatangani RUU itu menjadi undang-undang. [pp/ft]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia