Perhatian! Beberapa foto pada liputan ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Sambil melipat tangan, Enti Amin (46), bercerita tentang aktifitasnya ketika masih menjadi seorang pemburu. Ia adalah mantan pemburu kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Dahulu aktifitas perburuan ia lakukan hampir setiap hari untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Apalagi permintaan daging kelelawar tidak pernah putus.
Walaupun Enti tidak tahu pasti, bagaimana selanjutnya kelelawar yang ia buru itu dipasarkan. Sebagaimana banyak pemburu lainnya di Desa Olibu, Enti hanya tahu kelelawar-kelelawar tersebut akan dikirim ke Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
“Sewaktu saya masih remaja, usia sekitar 15 atau 16 tahun. Harga kelelawar masih Rp 250 rupiah. Nama pengumpulnya Ko Roy, belum yang sekarang. Dari Ko Roy kemudian dikirim ke Manado, karena orang-orang di sana banyak pemakan kelelawar,” ujar Enti, saat ditemui medio September 2023.
Bagi mantan pemburu seperti Enti, mereka hanya tahu bahwa satwa liar hasil tangkapan mereka akan dibawa ke Manado. Namun sebetulnya, pasokan daging satwa liar dari luar Sulut tersebut akan didistribusikan ke pasar-pasar yang ada di Minahasa.
Pasar Beriman Tomohon, menjadi pasar terbesar dan terlengkap yang menjual ragam kebutuhan orang Minahasa, termasuk aneka daging satwa liar. Hal tersebut membuat Pasar Beriman Tomohon cukup populer karena dikenal sebagai “pasar ekstrim”, bahkan tidak hanya di Sulut atau di Indonesia, melainkan juga di luar negeri.
Kendati demikian, meski disebut sebagai pasar ekstrim, nyatanya Pasar Beriman Tomohon bukanlah satu-satunya pasar tradisonal di Sulawesi Utara yang memiliki lapak khusus menjual daging satwa liar. Ada banyak pasar tradisional yang menjajakkannya.
Setidaknya ada delapan pasar (termasuk Pasar Beriman Tomohon) yang masuk dalam kategori pasar besar. Pasar-pasar ini tersebar di beberapa titik di Sulawesi Utara, yang menjadi pusat perdagangan daging satwa liar yakni; Pasar Karombasan, Pasar Bersehati di Manado; Pasar Airmadidi di Minahasa Utara; Pasar Kawangkoan, Pasar Langowan di Minahasa; serta Pasar Amurang, dan Pasar Motoling di Minahasa Selatan. Daftar pasar tersebut, belum termasuk dengan pasar skala kecil seperti Pasar Tombatu di Minahasa Tenggara, dan Pasar Ibolian di Bolaang Mongondow (Bolmong).
“Banyak juga dijual (kelelawar) ke Pasar Tomohon, tapi kalau kami paling banyak menjualnya di Pasar Karombasan,” kata Stien Buinsang, salah satu pedagang daging kelelawar di Pasar Karombasan, saat ditemui di rumahnya di Tanawangko.
Menurut Stien, saat ini hampir semua daging satwa liar di pasar-pasar tradisional di Sulut berasal dari Sulawesi Tengah (Sulteng). Dulu, sebagian besar masih datang dari Gorontalo sebagai provinsi tetangga.
“Pokoknya kalau habis tinggal ambil ke pemasok di pasar Amurang. Rata-rata dari sana (Amurang) semua, kemudian dipasok ke pasar-pasar lainnya. Dagingnya campur dengan yang lain, tidak hanya kelelawar. Di sini (Sulut) sudah susah, di Gorontalo pun sudah jarang, jadi ambil dari Sulteng,” jelasnya.
Tak hanya di pasar-pasar tradisional, beberapa riset menyebut, supermarket di Manado dan sekitarnya juga menjual daging satwa liar. Sebelum pasar daging satwa liar ada dalam bentuknya yang sekarang, penduduk Minahasa sering berburu satwa liar untuk konsumsi pribadi. Sekitar tahun 1970-an, karena keuntungan ekonomi dari menjual satwa liar terutama kelelawar, beberapa mulai menjadi pedagang dan menjualnya di pasar tradisional.
Program Manager Animal Friends Manado Indonesia (AFMI), Frank Delano Manus menyebut, dari riset yang dilakukan AFMI tahun 2019, dibanding hewan domestik, jumlah satwa liar di pasar Tomohon lebih banyak diperdagangakan.
Frank mengatakan, meski di tahun 2023 AFMI belum melakukan pendataan lagi, akan tetapi dari pengamatan visual, saat ini satwa liar tetap masih menduduki urutan tertinggi dalam rantai jual beli di pasar Tomohon. Ular piton menduduki posisi paling atas kemudian kelelawar. Sementara babi atau hewan domestik, memang mengalami penurunan, apalagi saat merebaknya kasus ASF (African Swine Fever) belum lama ini. Tapi daging satwa liar justru bertambah banyak.
“Dalam seminggu diperkirakan sekitar 7 ton daging ular piton yang habis terjual di pasar Tomohon. Daging-daging ini bahkan sudah diangkut dan didatangkan menggunakan kapal dari Kalimantan,” ucap Frank saat ditemui di shelter anjing AFMI di Tomohon, Rabu, 1 Oktober 2023.
Permintaan tinggi
Pada tanggal 21-23 Desember 2022, tim Zonautara.com, mengikuti patroli pemeriksaan tumbuhan dan satwa liar yang melintasii jalur Trans Sulawesi, yang dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara. Dari catatan tim Zonautara.com saat patroli selama tiga hari itu, lebih dari 10 ton daging satwa liar berbagai jenis teramati masuk Sulut.
Salah satu kendaraan yang dicegat mengangkut sebanyak 1,5 ton daging babi hutan. Kendaraan lainnya mengangkut ratusan anjing yang masih hidup, sementara beberapa kendaraan mengangkut daging anjing, kelelawar, dan juga ular piton.
Dari wawancara dengan para sopir kendaraan yang mengangkut daging satwa liar, mereka menyebut kebanyakan satwa-satwa itu berasal dari Raha, yang terletak di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Di daerah sana diakui para sopir memiliki banyak pasokan satwa liar. Adapun jarak tempuh dari Raha ke Manado, kurang lebih dua minggu lamanya.
“Kami ambil dari pengepul yang sudah jadi langganan, dan juga kami beli langsung dari masyarakat,” kata salah seorang sopir.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulut, Yakub Ambagau, mengatakan operasi ini sudah kerap dilakukan untuk meminimalisir peredaran tumbuhan dan satwa liar ilegal. Karena daging-daging satwa liar di Sulut tidak lagi berasal dari Sulut sendiri, tetapi lebih banyak berasal dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Pada tahun 2021, patroli serupa yang dilakukan BKSDA Sulut mencatat sebanyak 10,65 ton daging satwa liar yang berasal dari berbagai provinsi di Sulawesi masuk ke Sulut. Sedangkan Pasar Tomohon merupakan tujuan terbesar dari para sopir kendaraan pengangkut daging satwa liar tersebut.
“Karena penampung besarnya ada di Tomohon. Kemudian dibawa ke Kawangkoan, Langowan, Modoinding, Motoling, Amurang dan juga Pasar Karombasan,” jelas Yakub.
Dari patroli yang dilakukan selama tiga hari tersebut, masih ada pula daging satwa liar yang dilindungi yang coba dibawa masuk oleh beberapa pelaku. Kecenderungannya paling banyak adalah daging babi hutan, lalu kelelawar, tikus dan ular piton. Patroli yang dilakukan BKSDA Sulut bertujuannya untuk melihat apakah terjadi tren penurunan setelah dilakukan pembinaan kepada para pelaku, bahkan ada pelaku yang dibawa ke proses hukum.
Rantai Pasok
Tekanan perburuan dan kebiasan konsumsi membuat satwa liar di Sulut banyak menghilang. Setidaknya hal tersebut diungkap oleh Sheherazade dan Susan M. Tsang dalam riset mereka tentang kelelawar yang terbit di Jurnal Global Ecology and Conversation, 2015 (Quantifying the bat bushmate trade in North Sulawesi, Indonesia, with suggestion for conservation action). Tak heran, rata-rata satwa liar tersebut dipasok dari berbagai daerah di luar Sulut, termasuk Gorontalo.
Di Olibu, Boalemo, Gorontalo, Enti tidak pernah tahu hasil buruannya akan diolah seperti apa hingga sampai dihidangkan di meja makan. Dalam praktiknya berburu, Enti menceritakan tidak pernah mengonsumsi obat khusus, atau menggunakan sarung tangan, masker dan alat pelindung lainnya ketika bersentuhan secara langsung dengan kelelawar.
Bahkan Enti mengaku sering digigit kelelawar. Untuk melepaskan gigitan tersebut, ia akan menggigit balik kelelawar agar jemari tangannya tidak sobek atau putus. Enti menangkap kelelawar menggunakan jaring yang sudah diberi mata kail. Saat terjerat, kelelawar hasil jeratannya akan dihantam menggunakan benda tumpul di kepala hingga mati. Kemudian kelelawar tersebut akan dimasukkan dan ditampung di sebuah box lengkap, kemudian diberi es batu.
“Setelah itu, kelelawar-kelelawar hasil tangkapan akan dijemput oleh pengepul bernama Ko Roy. Namun sekarang sudah almarhum. Paling cepat seminggu, saya telpon Ko Roy di Kota Gorontalo untuk menjemput,” jelas Enti.
Setelah sampai ke pengepul, kelelawar masih akan ditampung kembali sebelum dijemput oleh para tengkulak lainnya dari Sulut, untuk diangkut dan dijual ke pasar-pasar tradisional di Minahasa dan sekitarnya.
Ko Rony, salah satu pengepul kelelawar di Gorontalo yang berhasil ditemui, menjelaskan jika saat ini konsumen lebih suka daging satwa liar yang sudah mati. Menurutnya, konsumen akan tahu jika kelelawar dikumpul lebih dulu dan diberi makan di kandang pengumpulan.
Karena alasan tersebut, kelelawar yang ia kumpul sudah dalam keadan mati dan disimpan dalam waktu yang tidak menentu, sampai kelelawar dirasa cukup. Ko Rony menyebut, untuk mengakalinya, tidak sedikit pemburu yang merendam satwa liar untuk meningkatkan kadar air dan memperberat timbangan, sehingga harga jual jual lebih tinggi.
“Dari pemburu nakal seperti itu, banyak barang yang tidak segar dan sudah rusak. Sementara untuk waktu tampung paling lambat tiga minggu bahkan hingga satu bulan. Karena sudah dibekukan, jadi aman. Nanti orang-orang dari Sulut-lah yang akan datang menjemput,” tutur Ko Rony.
Dari rumah Ko Rony di Gorontalo menuju Manado paling tidak butuh sekitar 9 jam lebih. Dalam proses pengangkutannya, daging satwa liar akan diletakkan dalam truk yang sudah dialas terpal dan dipenuhi dengan es. Tak jarang, dalam perjalanan berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tersebut, es sudah banyak mencair. Es mencair saat pengangkutan satwa liar itu juga terlihat saat patroli yang dilakukan oleh BKSDA Sulut beberapa waktu lalu. Akibatnya beberapa daging satwa liar terlihat sudah mengeluarkan aroma busuk dan bahkan sudah dipenuhi belatung.
“Dari Sulteng, kelelawar masih lengkap dengan isi perut, walau sudah mati dan diberi es. Nanti di pasar, kalau ada pembeli, baru dibakar dan dikeluarkan isi perutnya, jadi segar lagi. Dalam seminggu, saya bisa menjual kurang lebih 5 ton daging kelelawar,” kata Stien Buinsang, pedagang daging satwa liar di Pasar Karombasan.
Berdasarkan ungkapan mantan pemburu, pengepul dan pedagang satwa liar itu, setidaknya butuh waktu yang cukup lama sebelum daging satwa liar sampai di tangan konsumen untuk dioleh sesuai selera.
“Jadi konsumen banyak yang tidak tahu jika daging yang mereka konsumsi itu sudah rusak. Pada praktiknya, daging-daging ini hanya diberi es dan diganti begitu saja per dua atau tiga hari. Serta tidak memperhatikan standar yang seharusnya tentang batas suhu pembekuan daging,” kata Frank Delano Manus dari AFMI.
Bersambung ke bagian 2: Pengawasan Minim Terhadap Rantai Pasok Daging Satwa Liar di Sulut