ZONAUTARA.com — Banyak yang belum tahu, jika Kabupaten Siau Tagulandang Biaro punya beberapa satwa unik. Bahkan ada yang sangat langkah seperti Celepuk Siau, burung hantu yang paling dicari keberadaannya oleh para peneliti.
Salah satu satwa unik di kabupaten kepulaun ini adalah hewan nokturnal berbadan munggil dengan penampilan yang cukup aneh, Tarsius. Oleh para peneliti, Tarsius yang ada di pulau Siau ini diberi nama Tarsius Tumpara. Hewan ini endemik pulau Siau, artinya tidak ditemui di tempat lain.
Dan jika anda penasaran seperti apa penampakan Tumpara ini, bersegeralah datang ke Mburake, sebuah kampung kecil di Kecamatan Siau Barat Selatan. Menyusuri jalan di tepi pantai dari Ulu, Mburake akan ditempuh sekitar 20 menit berkendara.
Tepat di Instalasi Pengolahan Air Bersih milik PDAM Sitaro di Mburake, ada pertigaan jalan. Jalan lurus akan menuju ke Talawid, ibukota kecamatan Siau Barat Selatan, dan belok ke kanan akan membawa anda menuju danau.
Ya, ada sebuah danau di tengah hutan yang anda akan tuju. Danau Kapeta namanya, yang diambil dari nama sebuah kampung yang juga berada di kecamatan Siau Barat Selatan. Di sekitar danau inilah menjadi habitat dari Tumpara, Tarsius yang unik itu.
Jika anda datang saat siang hari – sebaiknya memang begitu – nikmati dulu suasana di sekitar danau. Danau Kapeta tidak seindah Danau Makalehi yang ada di pulau terluar Makalehi. Tapi suasana alam di sekitar Danau Kapeta masih tergolong asri. Pohon Pala menjadi tumbuhan dominan di sekitar danau ini. Saat melintasi jalan menuju danau, ada beberapa tempat di punggung bukit yang bisa menjadi spot memandangi Karangetang dan perairan laut di sekitar pulau Siau. Indah tentunya.
Danau Kapeta saat ini menjadi sumber air bersih yang telah dikelola oleh Pemkab Sitaro. Pipa-pipa berukuran besar membawa aliran air itu menuju instalasi pengolahan di Mburake. Dari Mburake air itu dialirkan ke rumah-rumah warga. Tak gampang membuat air Danau Kapeta sampai ke rumah warga, mengingat topografi pulau Siau yang cukup sulit.
Menjelang sore, bersiaplah untuk menelusuri kembali jalan yang anda lewati tadi. Dan menjelang sinar matahari menghilang diganti kegelapan, carilah tempat untuk berdiam. Pasang telinga dan amati sekeliling.
Saat suara jangkrik mulai terdengar, saat itu pula ciutan suara yang melengking tajam memberi tanda. Mereka akan keluar, apalagi kalau bukan Tarsius Tumpara. Biasanya sang jantan akan mengeluarkan suara terlebih dahulu, memanggil pasangannya. Jika pasangan ini sudah punya keluarga, anak-anak mereka juga akan membalas ciutan itu. Dan anda akan dibuat takjub dengan konser suara Tarsius yang memesona.
Jangan lupa membawa senter dan liotin anti nyamuk. Senter dibutuhkan untuk menyorot Tarsius jika anda ingin melihat penampakannya, dan juga dibutuhkan saat pulang. Sementara liotin anti nyamuk, diperlukan untuk menghalau nyamuk yang cukup banyak di situ.
Karena Tarsius Tumpara adalah satwa yang dilindungi, jadi mohon anda untuk tidak menganggunya dengan menangkap atau mengusiknya. Cukuplah menyaksikan hewan itu, agar kelangsungan hidupnya tetap bisa terjaga dan anak cucu kita bisa menyaksikan mereka lagi. Dan tentu para pejalan lainnya seperti anda.
Tarsius adalah hewan pemanjat sekaligus atlit lompat jauh. Mayoritas hidupnya dihabiskan di atas pohon, dan mencari mangsa berupa serangga dengan cara meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya. Jadi anda harus sigap mengantisipasi loncatan atlit berbakat ini.
Ukuran hewan ini hanya sekitar 10-15 cm, tapi itu hanya ukuran badan dan kepalanya saja. Sebab kaki Tarsius bisa sampai dua kali panjang badannya, itulah sebabnya dia jago melompat. Jari-jari kakinya membesar di bagian ujung, yang berguna saat dia menyergap mangsanya. Jari yang khas itu juga membuat Tarsius bisa menempel walau di ranting yang licin.
Dengan ekornya yang sangat panjang, sekitar 20 cm, dan matanya yang besar sekali serta bisa diputar 180 derajat menjadikan Tarsius hewan yang akan membuat anda penasaran untuk melihatnya.
Jika demkina bersegeralah ke Sitaro, karena daerah ini memang dikarunia potensi alam yang sungguh memesona.
Editor: Ronny Adolof Buol