MANADO, ZONAUTARA.com — Beroperasinya transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek dan Go-Car di Sulawesi Utara (Sulut) dan kini bertambah dengan Uber, terus menuai tanggapan beragam di masyarakat. Keberadaannya nyaris tak pernah habis jadi buah bibir semua lapisan, baik yang pro maupun kontra. Di samping kesukaan masyarakat karena kemudahan yang diperoleh dari layanan Go-Jek dan Go-Car, tak sedikit juga yang merasa terganggu.
Malah arus penolakan di Kota Manado terhadap keberadaan transportasi berbasis aplikasi ini sempat digagas secara serius oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Manado dalam sebuah demonstrasi yang melibatkan Angkutan Kota (Angkot), Taxi, dan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Kota Manado pada 23 Maret 2017 yang silam. Hari itu banyak ruas jalan utama Kota Manado jadi sepi dari hiruk-piruk dan kepadatan Angkot, Taxi, dan AKDP yang lazimnya merajai jalan.
Arus penolakan terhadap pengoperasian transportasi berbasis aplikasi kemudian terus menguat setelah Komisi I dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Polda Sulut dan Dinas Perhubungan (Dishub) Sulut pada 27 Maret 2017 lalu, yang merekomendasikan langkah penertiban dan penutupan pengoperasian Taksi Online, Go-Jek, dan Go-Car.
Namun ada yang ironis saat Angkot, Taxi, dan AKDP menghilang karena ikut demonstrasi pada 23 Maret 2017 lalu itu. Banyak kalangan masyarakat yang justru menyukuri keadaan tersebut.
“Sadap skali hari itu. Nda ada mikro yang ja bekeng padat jalang. So dorang itu yang ja bekeng macet lantaran ja kase brenti oto deng kase nae-turung panumpang sambarang. Hari itu kita tre nae Go-Jek. Dari da batanya tu tukang Go-Jek, dia bilang dorang pe order hari itu nae tinggi. (Sedap sekali hari itu. Tidak ada mikrolet yang membuat padat jalan. Mereka itulah yang biasa membuat macet karena menghentikan kendaraan dan menurun-naikkan penumpang secara sembarang. Hari itu saya justru naik Go-Jek. Dari hasil bertanya kepada tukang Go-Jek, dia bilang order mereka hari itu naik tinggi),” beber Steven Paulus, warga Kota Manado, mengenang kejadian 23 Maret 2017.
Dia menyayangkankan adanya penolakan dari sejumlah pihak yang terkesan tidak masuk akal, termasuk rekomendasi yang tidak bijak dari DPRD Sulut. Seharusnya, menurut Steven, penggiat bisnis transportasi bersaing secara sehat berebut pangsa pasar karena pada masalah ini berlaku hukum ekonomi. Biar masyarakat yang memilih, apakah tetap menggunakan transportasi konvensional atau yang berbasis aplikasi seperti Go-Jek dan Go-Car.
“Di dunia moderen skarang ini, ja maso akal sadiki kwa tu batolak transportasi yang pake aplikasi online. Ato stou yang nimau itu orang-orang kuno yang nintau perkembangan dunia (Di dunia modern sekarang ini, masuk akal sedikitlah kalau menolak transportasi yang menggunakan aplikasi online. Atau jangan-jangan yang tidak suka itu orang-orang kuno yang tidak tahu perkembangan dunia),” timpalnya lagi.
Lain lagi geliat dari para Netizen ketika merespons penolakan yang dimobilisir melalui aksi demonstrasi 23 Maret 2017. Di jejaring Facebook (FB), ada yang menulis di timelinenya bahwa pendemo harus tahu bahwa konsumen juga punya hak yang tidak boleh dipaksakan untuk memakai jasa transportasi tertentu. Penolakan Go-Jek merupakan suatu kemorosotan pola pikir di era persaingan dan teknologi sekarang ini. Ada juga yang menulis, hari itu masyarakat justru lebih mencari transportasi online sebagai alternatif kebuntuan.
Pemilik akun Facebook Roa Didi Lumalente, misalnya, dengan tegas mengecam rekomendasi penutupan transportasi berbasis aplikasi tersebut.
“Pemerintah harusnya objektif dan mencari solusi atas masalah ini bukan malah main tutup seenaknya. Harusnya semua dikembalikan lagi kepada masyarakat,” tulisnya.
Di balik pro-kontra pengoperasian transportasi berbasis aplikasi ini, masyarakat sekarang justru semakin memilih kemudahan yang ada di balik layanan Go-Jek dan Go-Car. King Kaligis, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado, contohnya, ketika diwawancarai soal pilihannya, Sabtu (27/5/2017), mengaku akan lebih memilih layanan Go-Jek dan Go-Car daripada yang konvensional.
“Kalau yang konvensional, jauh lebih mahal. Selain itu, seringkali tidak nyaman,” katanya.
ZonaUtara.com dalam sepekan ini akan menurunkan laporan secara khusus mengenai keberadaan transportasi berbasis aplikasi dan ancamannya terhadap transportasi konvensional. Ikuti terus Laporan Khusus kami.