Liputan Kolaboratif 6 media di Sulawesi Utara atas dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dalam Program Jaring Aman 2022
Bagian 3: Mendorong Pers Yang Sehat, Melindungi Jurnalis
Bagian kedua dari laporan ini dapat dibaca pada artikel ini: Hasil Survei Keselamatan dan Keamanan Jurnalis di Sulut
Secara nasional, Aliansi Jurnalis Independen(AJI) Indonesia mencatat jurnalis di Indonesia berada dalam situasi belum aman bekerja sepanjang tahun 2022. Hal itu ditandai dengan meningkatnya kasus kekerasan, terbitnya pelbagai undang-undang yang membahayakan keamanan jurnalis, serta melemahnya keamanan ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraan.
Dari catatan AJI, sepanjang 2022 terjadi 61 kasus yang menyerang 97 orang jurnalis dan pekerja media serta 14 organisasi media. Jumlah kasus ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 43 kasus. Jika dirinci, jenis serangan tersebut meliputi kekerasan digital (15 kasus), kekerasan fisik dan perusakan alat kerja (20 kasus), kekerasan verbal (10 kasus), kekerasan berbasis gender (3 kasus), penangkapan dan pelaporan pidana (5 kasus) serta penyensoran (8 kasus).
Sebagian besar pelaku kekerasan yakni sebanyak 24 kasus melibatkan aktor negara yang terdiri dari: polisi (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus) dan TNI (2 kasus). Sedangkan aktor non-negara sebanyak 20 kasus yang melibatkan ormas (4 kasus), partai politik (1 kasus), perusahaan (6 kasus) dan warga (9 kasus). Sisanya, 17 kasus belum teridentifikasi pelakunya.
Meningkatnya serangan itu diikuti dengan adanya undang-undang dan regulasi yang memuat pasal-pasal yang menambah ancaman terhadap keamanan jurnalis. Pada 2022, Pemerintah dan DPR RI mengesahkan UU Pelindungan Data Pribadi yang memuat empat pasal bermasalah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan 17 pasal berbahaya, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja.
Di sisi lain, keamanan jurnalis masih terancam dengan pasal-pasal bermasalah di UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat.
“Situasi keamanan jurnalis tersebut terkait erat dengan menguatnya otoritarianisme pemerintah Indonesia. Terbitnya beberapa undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi publik, meningkatnya serangan dan keterlibatan pelaku kekerasan dari aktor negara, bertujuan untuk membatasi kebebasan sipil dan kebebasan pers,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, Senin (16/1/2023), saat menyampaikan Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022.
Dari 61 kasus serangan ke jurnalis dan organisasi media pada 2022, terdapat 16 kasus yang dilaporkan secara resmi ke institusi kepolisian. Namun hingga akhir 2022, baru empat kasus yang pelakunya telah ditangkap. Satu kasus divonis tindak pidana ringan (tipiring) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Vonis ringan ini merupakan bentuk pengabaian terhadap Pasal 18 UU Pers.
Selain itu, kasus-kasus yang melibatkan pelaku aktor negara, terutama anggota polisi, selama ini cenderung tanpa proses hukum dan berakhir dengan impunitas. AJI mencatat pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggota polisi pada tahun 2018 sebanyak 14 kasus, 2019 (32 kasus), 2020 (55 kasus), 2021 (12 kasus), dan 2022 (15 kasus). Pada 2021, hanya satu kasus dengan pelaku dua polisi yang berhasil dibawa ke pengadilan.
“Impunitas membuat jurnalis dapat diserang dan dibungkam, membuat personel polisi lainnya berani untuk melakukan serangan serupa. Oleh karena itu, Presiden Jokowi dan Kapolri harus mengevaluasi penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pengamanan demonstrasi yang tidak sesuai dengan prinsip HAM. Evaluasi tersebut harus diikuti dengan menindak dan memproses secara hukum anggota polisi yang telah melakukan kekerasan pada jurnalis,” kata Sasmito.
Situasi di Sulut
Potret situasi keamanan jurnalis sebagaimana laporan AJI tersebut juga tergambar dari hasil survei yang dilakukan oleh 6 media di Sulut pada Novembert 2022 lalu. Dari hasil survei yang melibatkan 110 responden di 13 kabupaten/kota tersebut, sebanyak 60 persen responden menyatakan pernah mengalami kejadian kekerasan. Tindakan kekerasan tersebut dialami saat mereka sedang menjalani aktivitas jurnalistik. Bahkan 1,9 persen responden mengaku sering mengalami tindak kekerasan.
Data hasil survei juga menyebut, bahwa tindakan kekerasan yang paling sering dialami adalah pengusiran dan pelarangan liputan, lalu diikuti dengan intimidasi lisan. Menariknya, sebanyak 32,7 persen responden mengaku pernah mendapat ancaman atau teror. (Baca bagian 2 dari liputan ini untuk melihat detil jenis kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sulut).
Seperti hasil dari Laporan AJI, pejabat eksekutif/legislatif, serta aparat polisi dan aparat keamanan lainnya tercatat juga menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis di Sulut. Dari hasil survei terhadap jurnalis di Sulut, orang yang tidak dikenal dan preman adalah pelaku yang paling sering melakukan tindak kekerasan (35,4%).
Menanggapi situasi ini, Ketua AJI Kota Manado Marcelino Talokon meminta jurnalis yang mendapat tindak kekerasan serta media tempatnya bekerja melaporkan kejadian tersebut ke aparat kepolisian agar diproses secara hukum. Ia juga mendorong proses hukum tersebut hingga tuntas di pengadilan.
“Prihatin dengan kondisi ini, karena ternyata kekerasan terhadap jurnalis di Sulut masih terus terjadi. Kita harus terus melakukan sosialisasi kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik dan upaya-upaya agar jurnalis terhindar dari tindak kekerasan,” ujar Marcelino, Selasa (28/2/2023).
Hal senada disampaikan oleh Ketua Bidang Advokasi PWI Sulut, Adrianus Pusungunaung. Meski dari catatan PWI Sulut belum ada laporan anggota mereka yang mengalami tindak kekerasan, tetapi penting untuk membekali anggota PWI Sulut dengan pengetahuan soal aturan peliputan yang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
“Kami selalu memberikan perhatian, baik secara internal di PWI maupun kejadian di luar PWI. Karena kita sama-sama wartawan. Contoh terakhir yang terjadi di Bolmong, PWI Sulut langsung memberikan dukungan,” kata Adrian.
Indra Ketangrejo, jurnalis di Gawai.co, salah satu media siber di Bolmong, berharap agar jurnalis saat bekerja paham betul dengan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidk bisa dilakukan.
“Pembekalan atau pelatihan terkait keamanan dan keselamatan ini penting diikuti oleh jurnalis, agar kita paham. Selain itu sesama jurnalis harus bisa saling melindungi dan bekerja sama,” harap Indra yang sudah delapan tahun menjadi jurnalis ini.
Soal penguatan terhadap jurnalis agar terhindari dari tindak kekerasan ini, ikut disetujui oleh Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Sulut, Agustinus Hari. Menurutnya, AMSI Sulut kedepan akan mencoba mengulirkan program-program penguatan terhadap jurnalis.
“Kami berhadap media tempat jurnalis bekerja berupaya memperkuat dan membekali jurnalis mereka agar terhindari dari tindak kekerasan. AMSI ikut sedih melihat masih tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis. Kita perlu melakukan upaya yang masif dan berkesinambungan untuk mengatasi hal ini,” jelas Agustinus.
Keamanan ekonomi
Di tengah kondisi tersebut, situasi ekonomi jurnalis di Indonesia juga makin rentan. Dari hasil survei yang dilakukan terhadap 110 jurnalis aktif di Sulut, terungkap bahwa sebagian besar jurnalis di Sulut berpenghasilan di bawah Upah Minimum Provinsi Sulut tahun 2022. Hanya segelintir jurnalis saya yang pernghasilannya dapat dibilang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi sebagian besar jurnalis di Sulut sudah berkeluarga.
Dari sisi perlindungan jaminan sosial, belum seluruh jurnalis terlindungi. Survei AJI Indonesia terhadap 144 jurnalis di seluruh Indonesia, terdapat 112 jurnalis (78,3 persen) yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan 31 jurnalis (21,7 persen) lainnya belum terdaftar. Namun, sebagian besar (55 persen) jurnalis yang memiliki BPJS Kesehatan karena mendaftar mandiri dan 44 persen didaftarkan oleh perusahaan. Sedangkan untuk BPJS Ketenagakerjaan, sebanyak 55,6 persen responden belum terdaftar dan 44,4 persen sudah terdaftar.
Catatan AJI tersebut tidak berbeda jauh dengan situasi yang ada di Sulut. Hanya 47,3 persen responden yang mengaku bahwa media tempat mereka bekerja menyediakan perlindungan jaminan sosial. Dari penelusuran yang dilakukan, pemberian jaminan sosial terutama BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan diberikan kepada jurnalis karena menjadi syarat saat melakukan pengajuan verifikasi dari Dewan Pers.
Kesejahteraan dan jaminan sosial menjadi penting bagi jurnalis, agar mereka bisa didorong melahirkan produk jurnalistik yang bermutu. Bagaimana mungkin media berharap jurnalis mereka memproduksi liputan-liputan yang bermutu sementara kesejahteraan mereja tidak terjamin. Dan saat melakukan tugas-tugas jurnalistik, mereka tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja.
“Saya kira waji hukumnya media tempat jurnalis bekerja bertanggungjawab dengan kondisi ini,” ungkap Ketua AMSI Sulut, Agustinus Hari.
Serangan terhadap jurnalis perempuan
Sorotan lain perlu diberikan terjadap ketimpangan gender yang masih dialami oleh jurnalis perempuan di ruang redaksi. Survei AJI Indonesia dan PR2Media terhadap 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi menemukan ada 68 jurnalis perempuan (16,8%) dari total responden yang mengakui adanya diskriminasi dalam pemberian remunerasi di tempat mereka bekerja. Remunerasi itu termasuk gaji pokok, bonus dan tunjangan. Sebanyak 58% responden menyatakan jurnalis perempuan tidak bisa mendapatkan tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga mereka.
Dalam survei tersebut, 11,6% jurnalis perempuan mengatakan tempat mereka bekerja tidak memberikan hak cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan dan 67,9% jurnalis perempuan mengatakan bahwa tempat mereka bekerja tidak memberikan cuti haid.
Disamping itu, AJI juga mencatat masih maraknya kekerasan berbasis gender dalam bentuk kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan di lapangan.
Meski jurnalis perempuan hanya 16,4 persen dari 110 responden dalam survei yang dilakukan di Sulut, namun tercatat ada 6,8 persen yang mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Adapun pelaku kekerasan seksual terbanyak dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, kemudian ada pejabat bahkan rekan sekerja.
Risiko kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga kerap dialami saat sedang bertugas di lapangan. Seperti yang dialami oleh Tri, jurnalis di media siber di Kotamobagu. Tri pernah mengalami kekerasan fisik saat melakukan kegiatan jurnalistik, di salah satu tempat hiburan malam di Kotamobagu (DeLove), pada Desember 2020.
Tri yang hendak meliput aksi DJ dan dancer dari Manado, mendapat perlakuan kasar dari beberapa pengunjung. Atas kejadian itu, Tri mengalami luka memar di bagian kepala dan wajah, luka sobek di tangan, dan luka sobekan pada bagian leher. Ia pun melaporkan kejadian tersebut ke Polres Kotamobagu. Pelaku diproses secara hukum dan menerima ganjaran hukuman penjara. Meski Tri bisa bekerja kembali menjalani profesinya, namun kejadian itu memberi pengalaman traumatik bagi dirinya.
Selain kedua jurnalis perempuan itu, sebenarnya masih banyak lagi tindakan kekerasan yang dialami oleh jurnalis perempuan di Sulut. Dalam laporannya, AJI meyakini bahwa kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan yang terungkap ke publik hanya sebagian kecil.
“Perbuatan tersebut masuk sebagai tindak pidana yang melanggar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Pers,” tulis AJI dalam laporannya.
Menjadi jurnalis bagi seorang perempuan memang memiliki tantangan tersendiri. “Memulai dengan hal yang baru, dengan pekerjaan yang sering didominasi oleh laki-laki, itulah tantangannya! Menurut kami, menjadi jurnalis perempuan bukan sekedar mencari sesuap nasi, tapi lebih ke panggilan jiwa,” ujar Febby Manoppo, jurnalis perempuan di Sulut.
Febby menjelaskan sebagai jurnalis perempuan, mereka kerap menghadapi pelecehan dari narasumber atau bahkan sesama rekan jurnalis.
Dikutip dari riset Pemantau Regulasi dan Regulator Media yang diunggah pada akun Instagramnya @pr2media, ada sebanyak 85,7% perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.
Jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah komentar negatif terkait tubuh atau body shaming secara lisan atau tatap muka (59%). Temuan buruk ini sangat berpotensi merugikan jurnalisme dan kebebasan pers di Indonesia.
Pers yang sehat dorong minat gender
Satu-satunya cara untuk melindungi jurnalis, adalah mewujudkan media massa yang sehat dan profesional. Selain itu, terwujudnya media massa yang sehat dan profesional, menambah nilai positif bagi mereka yang baru mulai menggeluti dunia jurnalis, khususnya perempuan.
Media massa diharapkan bisa membantu rakyat untuk bisa menggunakan kedaulatannya secara tepat. Pers yang sehat, mengacu pada Pasal 6 UU No. 40/1999, adalah pers yang berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan. Selain itu pers juga bertuga melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Namun, harus diakui, pers di negeri ini belum sepenuhnya sehat. (Jurnal Dewan Pers Edisi 17 “Pers Sehat dan Profesional, Hindarkan Wartawan Jadi Korban”).
“Semoga tidak ada lagi kejadian kekerasan terhadap jurnalis di Sulut, Karena pers ikut berkontribusi pada perkembangan daerah ini,” harap Yogi Baba, jurnalis Tajuk News di Bolaang Mongondow Utara.
Ketua AMSI Sulut, Agustinus Hari juga berharap, organisasi pers dan organisasi profesi jurnalis harus terus perlu merumuskan langkah strategis yang nyata untuk melindungi jurnalis ketika mereka bekerja.
“Organisasi dan media harus memperkuat SOP terkait kekerasan jurnalis,” dorong Agustinus.
Pemerhati masalah sosial di Sulut, Vivi George, berharap jurnalis dalam menjalankan tugasnya taat pada aturan (UU Pers) dan memegang teguh kode etik, agar terhindari dari tindak kekerasan.
“Jurnalis itu bagian garda terdepan dalam mengawal pembangunan lewat berita dan jurnalis bagian dari mitra kerja para pengambil kebijakan. Makanya jurnalis butuh ruang yang aman dan nyaman dalam meliput pemberitaan tanpa kekerasan,” ujar Vivi yang merupakan mantan Komisioner KPU Sulut ini.
Menurutnya sangat memprihatinkan jika di Sulut ada jurnalis yang masih mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Misalnya saat meliput mendapatkan tindak kekerasan yang dillakukan oknum terutama pejabat.
“Tentunya kami menyesalkan sikap arogansi (pejabat) yang tidak menunjukkan sebagai panutan. Ketika ada pemberitaan yang tidak berkenan diekspos oleh Jurnalis, kiranya bisa bangun koordinasi dan dialog, bukan dengan cara yang tidak terpuji,” tukasnya.
Vivi mendorong jurnalis yang mengalami tindak kekerasan agar memprosesnya secara hukum. Ia berpandangan, Indonesia adalah negara hukum. Jurnalis berhak melaporkan ketika mengalami tindakan kekerasan yang membuat dirinya tidak aman dan nyaman.
“Siapapun harus menghargai kerja-kerja Jurnalis,” kata Vivi.
Tim Kerja: Ronny A. Buol (Zonautara.com); Bahtin Razak (GoSulut.com); Marshal Datundugon (Pantau24.com); Fandri Mamonto (Torangpeberita.com); David Sumilat (Bfox.co.id); Anggi Mamonto (Kilastotabuan.com)