Yang terjerat di tangan penyelundup

Rantai pasok gelap paruh bengkok dari Sulut ke Filipina (Bagian 1)
penyelundup
Images digenerate dengan AI Images Midjourney / Ronny A. Buol

Yang terjerat di tangan penyelundup

Rantai pasok gelap paruh bengkok dari Sulut ke Filipina (Bagian 1)

ZONAUTARA.com – Petugas di Kantor Kelurahan Aertembaga Sabtu siang itu, Jumat, 6 Oktober 2023, mengatakan Melvin Bulatag bukan warga yang tinggal di wilayah administrasi mereka. Padahal, di KTP Melvin–satu dari tiga orang terduga pelaku penyelundupan burung paruh bengkok ke Filipina yang ditahan oleh Polres Sangihe–tertulis ia beralamat di Aertembaga Satu, Kota Bitung.

Beberapa kali Tim Zonautara.com mencoba meyakinkan petugas perempuan itu, bahwa Melvin adalah penduduk yang tercatat sebagai warga mereka. Tapi berulang kali juga petugas itu menegaskan bahwa nama itu bukan warga Aertembaga. Beruntung ada lembaran kertas Daftar Calon Pemilih Tetap Pemilu 2024 tertempel di papan pengumuman. Masih di dalam kantor yang sama.

Setelah menyisir  puluhan lembar daftar pemilih itu, Melvin Bulatag ditemukan sebagai salah satu warga yang punya hak pilih. Dia tercatat sebagai pemilih di TPS 006. Melvin Bulatag adalah warga RT 010, RW 002. Meski sudah mengantongi alamat yang jelas, namun Tim Zonautara.com butuh beberapa waktu untuk mendapatkan rumah tinggalnya. Sebab warga di Aertembaga Satu, juga tak kenal nama Melvin. Setelah dijelaskan apa yang menimpa Melvin di Sangihe, baru warga mengenalnya. Ternyata dia lebih dikenal dengan nama panggilan Jimmy.

Dengan nama Jimmy itulah, penelusuran tiba di sebuah rumah yang dihuni oleh Vivi Rorong. Bangunan rumah permanen dan nampak tidak terurus itu dekat dengan Kantor Kelurahan. Saat ditemui, Vivi mengakui menjalani hubungan spesial dengan Jimmy sejak 11 tahun lalu.

Melvin alias Jimmy (61 tahun) bersama Manuel Toletine (53) dan Mike Artocillia (53) ditahan oleh Polres Sangihe pada 7 September 2023. Mereka bertiga dibawa oleh Polres Sangihe ke Tahuna setelah kapal kecil KM Nataleon mengalami kerusakan di Pulau Para. Kapal itu sebelumnya berangkat dari Bitung menuju Filipina. Cuaca buruk dan gelombang tinggi merusak kapal dan terdampar di Para.

Penduduk Pulau Para lantas melaporkan ke polisi kejadian itu. Saat diperiksa oleh petugas, di atas kapal ditemukan ratusan ekor burung berbagai jenis, termasuk paruh bengkok.  Atas temuan itu, Satuan Polairud Polres Sangihe menahan ketiganya. Sementara ada dua orang yang berhasil kabur. Ketiganya mengaku sebagai orang Filipina, namun Melvin memiliki KTP Bitung.

“Begitu dapat kabar jika Jimmy ditahan polisi, saya langsung cari tahu keberadaannya. Dan sekarang mereka sudah dibebaskan oleh polisi,” jelas Vivi yang melayani wawancara di teras rumah.

Vivi membantah bahwa burung yang disita itu adalah milik Jimmy. Menurutnya, barang itu milik Mike. Tapi dia tidak menampik jika paham ihwal pengangkutan burung-burung tersebut. Vivi secara blak blakan mengakui jika mengenal salah satu petinggi polisi di Polda Sulut. Dia melobi agar Melvin dan burung-burung yang ditahan itu dilepas polisi.

“Kalau terjual di Filipina, harganya bisa ratusan juta bahkan sampai satu miliar. Setahu saya sudah ada dokumen dari karantina,” jelas Vivi meyakinkan.

paruh bengkok
Polres Sangihe menggelar konferensi pers saat mengamankan barang sitaan dari pelaku penyelundupan satwa liar berbagai jenis burung, 7/9/2023. (Foto: Andhika Janis)

Dari keterangan Vivi juga, ternyata Melvin dan dua rekannya sudah dibebaskan oleh Polres Sangihe. Bahkan Manuel Tolentino telah meninggal dunia saat tiba di Filipina. Kejanggalan pelepasan ketiga terduga pelaku ini dikonfirmasi ke Polres Sangihe. Kapolres AKBP Dhana Syahputra menjelaskan bahwa ketiganya baru diperiksa sebagai saksi. Dia membenarkan bahwa ketiganya sudah kembali ke Filipina.

“Jadi ada dua orang yang melarikan diri, dan diduga keras sebagai tersangka dalam kasus ini. Kami masih upayakan selidiki. Yang tiga WNA Filipina ini sudah dilepas. Kami sudah komunikasi juga dengan Konsulat Filipina” jelas Dhana saat dihubungi, Minggu, 22 Oktober 2023.

Padahal dari penelusuran yang dilakukan Tim Kolaborasi Investigasi Paruh Bengkok, Mike Artocillia pernah ditangkap otoritas Filipina bersama Rendi Mandumi pada 2007. Keduanya tertangkap bersama 270 ekor paruh bengkok yang diselundupkan dari Halmahera. Mike Artocilla juga diketahui memiliki toko tempat penampungan satwa di Manila. Sewaktu ditahan Polres Sangihe pada September 2023, Mike Artocilla tercatat beralamat di Buhangin, Davao City, Filipina. Orang ini telah menyelundupkan ribuan ekor paruh bengkok.

Ratusan burung sebagai alat bukti upaya penyelundupan yang dilakukan melalui rute perairan Bitung, Sulawesi Utara (Sulut) ke Filipina telah diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut. Satwa liar tersebut kini menjalani rehabilitas di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki yang ada di Kema, Minahasa Utara.

Kejanggalan penanganan upaya penyelundupan satwa liar termasuk paruh bengkok yang terjadi di Sangihe ini, yang melibatkan warga negara asing, dan tidak jelasnya pelaku utama, serta dugaan ketidakseriusan aparat hanyalah sebagian dari masalah kejahatan terhadap satwa liar yang ada di Sulawesi Utara. Belum lagi soal jalur penyelundupan Bitung – Sangihe – Filipina yang secara tradisional sangat terbuka bagi pelintas batas.

Padahal kejahatan terhadap satwa liar yang dilindungi tidak bisa lagi dianggap sebagai kejahatan biasa. Sebab kejahatan ini merupakan kejahatan terorganisir dan bersifat lintas batas (transnasional). Kerugian negara yang dihasilkan bahkan sangat besar. Dikutip dari Betahita.id, Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menyebut, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh UNDP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan IPB, estimasi kerugian keuangan negara dari peredaran satwa liar dilindungi sepanjang 2015-2021 mencapai angka kurang lebih Rp806.833.236.833.

Kejahatan terhadap satwa liar yang selalu diawali dengan perburuan ilegal, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah tercatat sebanyak 1.098 kasus hanya dalam kurung waktu satu tahun di 2023. Jumlah kasus ini diyakini lebih besar jika melihat berbagai aktivitas ilegal perburuan dan perdagangan satwa dilindungi yang tidak terawasi.

Garda Animalia, lembaga nirlaba yang memberi perhatian pada satwa liar mencatat ada sebanyak 12.061 satwa dari family Cacatuidae yang termonitor diperdagangkan melalui platform Facebook sepanjang 2018-2023. Sebanyak 6.691 penjual yang teramati menawarkan burung-burung eksotis ini di 316 group Facebook. Ada 2.793 pembeli yang berhasil diidentifikasi.

Dari pemantauan Garda Animalia tersebut, ada 11 pelaku yang terdeteksi memperdagangkan burung kakatua melalui Facebook dari lokasi Sulawesi Utara. Adapun dari jenis Family Psittacidae, teridentifikasi 121 pelaku penjual berasal dari Sulawesi Utara dari total 5.029 pelaku penjual se Indonesia dalam periode 2021-2023.

Pelintas Batas Negara

Sebagaimana pengakuan Vivi, Melvin alias Jimmy sudah kembali ke Filipina, meski besar kemungkinan dia sebagaimana banyak warga negara Filipina lainnya, begitu bebas akan masuk kembali ke wilayah Indonesia. Tim Zonautara.com sempat menelusuri keberadaan Jimmy di permukiman orang Filipina yang ada di Kelurahan Manembo-nembo, Kota Bitung. Di permukiman ini mereka hidup dengan bebas, dan memiliki KTP Bitung.

Keberadaan orang – orang Filipina berketurunan suku Sangihe ini, yang lazim disebut sebagai “Sapi” (Sangihe Filipina), karena terbukanya jalur lintas batas negara Indonesia dengan Filipina di perairan Sulawesi Utara. Tiga kabupaten kepulauan yang ada di Sulut, yakni Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Sitaro, merupakan jalur tradisional pelintas batas. Mereka terutama masuk dan keluar dari Sangihe.

Pristiwanto, dalam bukunya Pelintas Batas Indonesia-Philipina di Kabupaten Kepulauan Sangihe menulis bahwa kepulauan Sangihe dan Talaud telah menjadi lintasan niaga sejak abad ke-15. Kawasan ini digunakan sebagai jalur pelayaran dari Cina melalui Filipina dan Sulu menuju Maluku Utara, serta jalur pelayaran pelaut dan pedagang Melayu dari Melaka melewati Borneo Utara, ke kepulauan Sulu dan laut Sulawesi, menuju Maluku Utara.

Setelah Indonesia dan Filipina menjadi negara berdaulat, kawasan ini kemudian menjadi daerah perbatasan kedua negara di bagian Utara Indonesia. Meski sejak itu terjadi kesepakatan mengenai border cross area, namun jalinan ikatan kekerabatan dan aktivitas penduduk di kawasan ini sudah mentradisi. Sehingga tak heran hingga sekarang orang-orang yang dijuluki Sapi ini saling melintasi tapal batas.

Zonautara.com menemui Madrudin Macaduno Macpal (40), pria kelahiran Kota Glan, Filipina pada akhir Agustus 2023 lalu di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Di sebuah kafe kecil, Madrudin yang sudah menetap di Tahuna itu, menceritakan suka dukanya sewaktu menjadi pelintas batas. 

“Saya berjualan ikan hasil tangkapan nelayan Sangihe, yang kami bawa ke Filipina. Di sana sangat laku. Kami pergi ke Filipina kapan saja mau melintas. Tapi kami dianggap juga sebagai penyelundup,” cerita Madrudin yang saat ini memilih menjadi pendeta ketimbang pelintas batas.

Menurutnya, saat mereka melakukan perjalanan lintas batas itu, berbagai hasil bumi dari Indonesia dibawa ke Filipina. Sesampai di sana hasil bumi tersebut kemudian dijual. Hasil penjualan itu lantas menjadi modal bagi mereka untuk membeli barang-barang Filipina yang dibawa masuk ke Indonesia. Seluruh aktivitas ini dilakukan tanpa dokumen resmi baik dari Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Filipina.

Mudahnya melakukan aktivitas lintas batas seperti yang dilakukan Madrudin ini kerap juga dimanfaatkan pelaku penyelundupan satwa liar. Letak pulau-pulau di Sangihe yang sangat dekat dengan Filipina membuat peluang penyelundupan semakin terbuka. Ditambah lagi minimnya kehadiran petugas dan patroli perbatasan.

Galang (bukan nama sebenarnya), salah satu pelintas batas yang juga ditemui di Sangihe mengakui aktivitas penyelundupan satwa liar melalui jalur ini. Ia yang baru saja balik dari Filipina bercerita bahwa dirinya kerap didatangi orang untuk diajak membawa burung paruh bengkok.

“Pernah diminta membawa burung kakaktua. Di sana (Filipina) mereka akan bayar hingga tiga puluh juta rupiah. Yang paling mahal kakatua hitam,” kata Galang.

Namun Galang yang memperhitungkan risiko tertangkap tersebut, menolak permintaan membawa kakaktua. Dia hanya sering membawa pulang ayam jika balik dari Filipina. Ayam petarung dari Filipina dikenal sebagai jenis ayam yang paling dicari oleh para pengadu ayam di Indonesia. Harganya cukup tinggi.

“Supaya aman, kami harus setor ke petugas jika membawa ayam. Uang setoran tergantung jumlah ayam yang kami bawa,” jelas Galang.

Pengakuan secara terang-terangan penyelundupan satwa liar datang dari pelintas batas lainnya, Bagas. Saat ditemui di Pelabuhan Petta, Kecamatan Tabukan Utara, Bagas dengan gamblang bercerita bagaimana dia membawa selundupan berbagai jenis burung, termasuk jenis yang dilindungi.

“Saya baru antar kakatua jambul kuning, nuri, perkici dan sampiri ke Filipina. Sekitar enam bulan lalu,” kata Bagas.

Dia menjemput burung-burung tersebut dari kapal laut yang tiba di Pelabuhan Tahuna dari Manado, lantas membawanya ke Pulau Tinakareng. Dari pulau inilah, sebagaimana pelintas batas lainnya, Bagas kemudian akan bertolak ke Filipina menggunakan perahu.

“Tidak bisa ditahan lama di Sangihe, harus langsung dibawa ke Tinakareng. Karena akan ketahuan kalau di Sangihe,” ungkap Bagas.

Pelayaran dari Tinakareng ke Filipina jika cuaca sedang bersahabat ditempuh selama 12  jam dengan perahu pumpboat. Sesampai di General Santos, Filipina, barang selundupan itu langsung dijemput. Baik pelaku yang mengirim dan pelaku yang bertugas menjemput barang selundupan tersebut, tidak dikenal oleh Bagas. Semua perintah sejak penjemputan, pengantaran hingga tiba di Filipina, diterima oleh Bagas melalui komunikasi dengan perantara.

Lihat map secara penuh : https://arcg.is/0KaH9u

“Harga kakatua hitam itu mahal. Satu ekor bisa ditukar dengan 30 ekor ayam jago Filipina, seharga Rp 3 juta per ekornya,” jelas Bagas.

Jalur perdagangan satwa liar sering kali terorganisir dengan baik, melibatkan jaringan penyelundup dan pengepul yang beroperasi di wilayah ini. Mereka menggunakan jalur penyelundupan yang telah ada dan memiliki pengetahuan tentang cara menghindari pemeriksaan yang ketat.

Bagas mengakui bahwa pekerjaannya berisiko tinggi. Ia harus berhadapan dengan gelombang, karena perahu yang digunakan berukuran kecil untuk melintasi laut terbuka di perairan Sangihe – Filipina. Namun semakin buruk cuaca sebenarnya semakin aman karena tidak ada petugas patroli. 

“Pernah dikejar, yah kita pakai Ilmu gelap pelintas terdahulu. Yang dikejar itu pasti hanya kayu bukan kami,” ungkap Bagas sambil tersenyum. 

Dari pengembangan yang dilakukan Zonautara.com, teridentifikasi ada beberapa titik masuk jalur perdagangan satwa liar ini ke Sulawesi Utara. Pelabuhan Manado menjadi titik masuk paruh bengkok dari Maluku Utara, karena ada pelayaran reguler kapal laut dari Manado ke Ternate dan pulau-pulau di Maluku Utara dan sebaliknya.

Pelabuhan Bitung menjadi titik masuk penyelundupan satwa liar dari Maluku, Maluku Utara dan Papua. Selain diangkut menggunakan kapal Pelni juga diangkut menggunakan kapal barang. Bahkan modus lainnya, para pelaku menitip barang selundupan di kapal yang akan menjalani dock di Pulau Lembeh.

Dari kedua pelabuhan ini, barang selundupan yang dikemas dengan berbagai cara itu, lantas dikirim ke Sangihe. Dari penuturan buruh bagasi di Pelabuhan Manado, sesaat sebelum kapal dari Maluku Utara merapat ke dermaga, perahu penjemput sudah terlebih dahulu menempel ke badan kapal. Mereka menurunkan barang sebelum kapal sandar di dermaga, sehingga terhindar dari amatan petugas darat. Namun seringkali,  karena pemeriksaan yang tidak rutin di dermaga, para pelaku menurunkan begitu saja burung-burung yang dilindungi ini di dermaga.

Jika kondisi memungkinkan, burung-burung tersebut kemudian diangkut kembali menggunakan kapal laut reguler dari Manado ke Sangihe. Jika dari Bitung menggunakan kapal feri. Tiba di Pelabuhan Tahuna, Sangihe, barang kemudian dijemput untuk dipersiapkan diseberangkan ke Filipina.

Jika pemeriksaan sedang ketat, agar tidak ketahuan, burung dimasukkan ke dalam botol air mineral atau pipa paralon. Sebelumnya burung-burung naas tersebut disiram dengan air gula, agar selama perjalanan tidak banyak bergerak dan tidak ribut. Botol-botol atau pipa paralon tersebut kemudian dikemas dalam kardus, seolah-olah kiriman barang biasa.

Ada banyak titik keberangkatan satwa liar dari Sangihe. Sebut saja dari Kota Tahuna, Pelabuhan Petta, Batuwingkung, Manalu, Kaluwatu, Naha, Kendar, Pulau Tinakareng serta ratusan jalur tikus lainnya. Jalur-jalur ini tetap eksis, karena kurangnya patroli yang digelar oleh aparat. Ditambah lagi, ketiadaan petugas yang rutin berjaga di titik-titik keberangkatan.

Bersambung ke Bagian 2.

Liputan ini bagian dari kolaborasi investigasi Zonautara.com bersama Tempo, Mongabay Indonesia, Jaring.id, Kalesang.id, dan Garda Animalia. Liputan ini berupaya mengungkap perdagangan ilegal satwa endemik Wallacea dan Papua dari dalam negeri sampai ke mancanegara, yang didukung dan didanai Garda Animalia lewat Program Fellowship Bela Satwa Project 2023.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article