Lena bersekolah di HIS Kotamobagu lalu melanjutkan ke MULO di Tondano, Sulawesi Utara selama enam bulan sebelum pindah ke MULO Pasar Baru. Ketika menginjak kelas dua, Lena pindah ke Christelijke MULO di Gang Menjangan. Di sinilah Lena berkawan dengan Johanna Tumbuan yang kemudian dikenal dengan Jo Masdani. Lena juga bergabung dengan Jong Celebes yang kala itu diketuai Empu Senduk (dr. Senduk).
Ketika organisasi kedaerahan itu difusikan menjadi Indonesia Muda (IM), Lena terpilih menjadi ketua pertemuan tersebut. Di IM, ia akrab dengan Soenarti, yang kemudian hari menikah dengan Soelistio Wironagoro. Soenarti yang mengenalkan Lena pada kakaknya, Soekanto.
Di masa pendudukan Jepang, Lena dan Soekanto tinggal di asrama Sekolah Kepolisian di Sukabumi. Soekanto mengajar di sana. Sementara, Lena bergabung dengan Palang Merah di Rumahsakit Bunut, membantu dr. Abu Hanifah dan mengajar baca-tulis serta keterampilan lain pada perempuan muda buta huruf.
Setelah Proklamasi, Soekanto ditunjuk Bung Karno untuk membentuk polisi nasional yang disebut Jawatan Kepolisian, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Dalam karya berjudul Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disusun Awaloedin Djamin dan G Ambar Wulan, ketika ibukota pindah ke Yogyakarta, Kementrian Dalam negeri juga memindahkan kantornya, namun ke Purwokerto. Kantor Jawatan Kepolisian Negara yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga dipindah ke Purwokerto. Soekanto beserta staf memulai tugasnya di sana.
Kebetulan, ayah dari ajudan Kepala Kepolisian Negara Toti Soebianto menjabat sebagai Patih Banyumas yang berkedudukan di Purwokerto. Raden Mochammad Poerwodirejo (ayah Toti Soebianto) kemudian menyediakan tempat untuk dijadikan markas kepolisian negara.
Lena mengikuti Seokanto pindah ke Purwokerto. Seminggu sekali, Soekanto berangkat ke Yogyakarta untuk melapor pada Bung Karno dan Hatta.
Pada Juli 1947, tentara Belanda membombardir Purwokerto. Penduduk kalang kabut, termasuk tentara Indonesia. Lena sendiri terpisah dari Soekanto yang sedang menghadap presiden di Yogyakarta. Lantaran tak memungkinkan bertahan di Purwokerto, ia pun berjalan kaki ke Yogyakarta dan mengungsi dari desa ke desa bersama pembantunya, Mbok Irah.
Dalam perjalanan bersama keluarga Mudang, Lena bersimpati pada Nyonya Mudang, seorang putri Solo, yang harus meniti terjalnya tebing sungai. Namun Lena yang ingin lekas sampai ke Yogyakarta harus meninggalkan keluarga Mudang karena mereka harus beristirahat lantaran Nyonya Mudang sakit.
Wajah Lena yang tak terlihat seperti orang Jawa membuat penduduk suka menanyakan identitasnya selama di perjalanan. Mbok Irah selalu pasang badan dan menjawab dalam bahasa Jawa bahwa Lena merupakan menantunya.
Ketika keduanya sampai di sebuah desa, penduduk sudah mengungsi. Mereka lantas menginap di rumah lurah yang hanya dijaga oleh dua orang suami-istri lanjut usia. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Ketika sedang beristirahat di tepi sungai, Lena dikagetkan dengan kedatangan dua orang pemuda. Karena takut, Lena berusaha sembunyi namun kemudian diteriaki dua pemuda itu.
Di Yogya, mereka tinggal di kediaman Bung Hatta yang sudah ditinggal pergi pemiliknya mengungsi ke Madiun. Lena dan Soekanto mendapat kamar di depan. Alangkah senangnya Lena karena bisa berbaring di kasur setelah beberapa hari berjalan dan tidur tidak menentu.