Susah-susah gampang dapat bantuan

 

Hari masih pagi, usai mengantar istri berjualan di pasar, dengan mengendarai sepeda motor, Saldin Suleman (36), warga Desa Bongkudai Induk, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), bergegas ke tempat kerjanya. Saldin butuh 20 menit untuk tiba di Jalan Veteran, Kelurahan Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, tempat perusahaan dia bekerja.

Rutinitas ini sudah dilakukan Saldin dari 11 tahun lalu, sejak Saldin diterima bekerja di Carper, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT dan fashion. Meski sudah belasan tahun bekerja, Saldin masih diupah di bawah Rp 5 juta per bulan, dengan kewajiban 8 jam kerja, selama 6 hari dalam seminggu. Syukurlah, oleh perusaahan Saldin sudah didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Iurannya dipotong dari gaji.

Saldin sendiri tak pernah bertanya, soal manfaat yang didapat dari keikutsertaannya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Baginya, yang penting masih bisa terus bekerja, mengingat Ia tak hanya menjadi tulang punggung bagi keluarga kecilnya, tetapi harus juga turut mengurus kedua orangtuanya yang sudah renta.

Desakan ekonomi, membuat Saldin tak bisa melarang istrinya berjualan, padahal pemerintah melakukan pembatasan sosial karena pandemi. Ia tahu itu berisiko, istrinya bisa tertular virus korona. Saldin juga tidak tahu menahu soal adanya program Bantuan Subsidi Upah (BSU) dari pemerintah pusat. 

“Yang saya tahu saya harus terus bekerja. Apalagi yang mengurus soal BPJS baik yang Kesehatan ataupun Ketenagakerjaan adalah perusahaan. Saya tidak tahu kecuali soal gaji yang dipotong setiap bulan,” ucap Saldin, Selasa, (13/10/2020).

Saldin berharap bisa ikut menerima BSU, agar bisa sedikit meringankan beban ekonomi di masa-masa sulit. Walau saat ini, dia tidak tahu persis apa yang harus dia lakukan, agar bisa terdaftar sebagai penerima manfaat itu.

Harapan yang sama juga dilontarkan Supratman Manggo (36), pemilik Carper, perusahaan tempat Saldin bekerja. Namun Supratman tidak mendapat informasi, sehingga tidak mengikutsertakan karyawannya dalam bantuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di masa pandemi, berupa subsidi gaji bagi karyawan non ASN bergaji di bawah Rp 5 juta. Padahal, salah satu syaratnya hanyalah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

“Saya juga tahunya baru sekarang. Sebagai perusahaan kami berusaha memberi hak-hak pekerja, dan mengikuti peraturan pemerintah dengan mendaftarkan tenaga kerja kami sebagai peserta BPJS. Jadi hampir semua karyawan kami sudah terdaftar, kecuali karyawan kontrak atau yang belum jadi karyawan tetap. Sebenarnya bantuan-bantuan seperti ini sangat membantu. Meski sudah terlambat, kami akan mencoba mencari tahu ke pihak BPJS Ketenagakerjaan, apa saja yang dibutuhkan agar bisa mendaftarkan karyawan sebagai penerima bantuan,” ujar Supratman.

Supratman berharap pemerintah hingga ke tingkat bawah mensosialisasikan program bantuan masa pandemi ini, agar bisa tepat sasaran dan dijangkau oleh tenaga kerja yang ada di daerah, terutama yang jauh dari akses informasi.

Beda Data, Kurang Informasi

Kurangnya informasi menjadi salah satu alasan Saldin tidak bisa mengakses peluang mendapatkan manfaat dari bantuan subsidi pemerintah pusat. Tetapi kondisi itu berbeda dengan yang dirasakan oleh YM (35), warga Kelurahan Upai, Kecamatan Kotamobagu Utara.

YM menjadi penerima manfaat BSU. YM yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan sebagai karyawan di PT Media Nusantara juga menjadi penerima bantuan yang sama, setelah pihak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) secara kolektif mendaftarkan semua petugasnya. YM saat ini juga merupakan petugas di Panwaslu Kecamatan. Dia menjadi penerima manfaat secara ganda.

“Alhamdulillah, mungkin sudah menjadi rezekinya. Begitu banyak bantuan yang istri saya terima. Bahkan, tak hanya itu dia juga termasuk penerima Kartu Prakerja,” ucap JM, suami YM,  Jumat, (16/10/2020).

JM menuturkan, istrinya hanya didaftarkan pihak perusahaan. Tidak ada upaya dengan sengaja mencari keuntungan agar menjadi penerima ganda. Dia tidak paham mengapa istrinya lolos dari sistem verifikasi sehingga bisa menerima bantuan yang sama.

“Jadi, soal boleh atau tidak, kami tidak terlalu memikirkannya. Sebab, semuanya tanpa sengaja, kami tidak bisa disalahkan dalam kasus ini. Kami yakin, ini telah menjadi rejeki, dan pihak pemerintah pasti punya ketentuan yang harus terpenuhi sebelum seseorang kemudian dinyatakan menjadi penerima manfaat,” jelas JM.

Persoalan data menjadi pangkal banyak persoalan dalam penyaluran bantuan.  Kepala BPJS Ketenagakerjaan Sulawesi Utara (Sulut), Hendrayanto tak menampik hal tersebut, meski berkelit dan mencoba meyakinkan bahwa pihak BPJS Ketenagakerjaan hanya sebatas mengumpulkan data, dan yang menyalurkan adalah Kementerian Ketenagakerjaan.

“Kementerian-lah yang menyampaikan ke pihak bank. Kemarin ada banyak kendala karena banyak data nama yang tidak sesuai, sehingga dari target 15,7 juta penerima manfaat, yang bisa kami salurkan hanya sekitar 12 juta lebih,” ucapnya usai menghadiri penandatanganan Nota Kesepahaman dengan pihak Pemerintah Kota Kotamobagu di Kotamobagu.

Sementara itu, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Kotamobagu, Suhardi Ahmad mengatakan, dengan data yang sembraut, kemungkinan penerima bantuan ganda bisa saja terjadi. Pihaknya sendiri sudah memverifikasi kembali, untuk meminimalisir kemungkinan ganda penerima manfaat. 

“Ibu Menteri sendiri sudah menyampaikan, apabila ada yang tidak berhak tapi sudah menerima, bisa saja dikembalikan ke kas negara. Karena ini masih dalam proses evaluasi, kita belum dapat instruksi lebih lanjut,” jelas Suhardi, Senin, (26’/10/2020) di ruang kerjanya.

Kepala BPJS Ketenagakerjaan Kotamobagu, Suhardi Ahmad / Foto: Neno Karlina

Alur proses pendaftaran penerima manfaat adalah, pihak perusahaan mengisi formulir, kemudian memasukkan data tenaga kerja, setelah itu diinput oleh BPJS Ketenagakerjaan, dan diverifikasi oleh Kantor Pusat, sebelum akhirnya dilaporkan ke Kementerian. Kemudian peserta yang memenuhi syarat diproses hingga dananya dicairkan melalui bank yang ditunjuk. 

“Jadi kalau faktanya masih ada penerima ganda dalam satu kartu, maka seharusnya Kementerian bisa memfilter lebih ketat lagi sebelum memproses. Sebab data-data itu juga masuk kesana,” ucap Suhardi.

Saat ini, ada sekitar 8000 tenaga kerja di Kotamobagu yang diinput BPJS Ketenagakerjaan, sebagai potensi penerima BSU. Sebanyak 8000 tenaga kerja ini, adalah tenaga kerja yang sebelumnya sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Namun hingga saat ini BPJS Ketenagakerjaan Kotamobagu, belum memiliki data yang pasti soal jumlah tenaga kerja yang telah terakomodir sebagai penerima manfaat BSU, sebab prosesnya ditangani langsung oleh Kementerian, termasuk yang melakukan transfer dan verifikasi. Pihak BPJS Ketenagakerjaan masih dalam tahap menunggu konfirmasi lebih lanjut dari Kementerian. 

“Selain itu pihak perusahaan juga belum mengkonfirmasikan, apakah karyawannya termasuk atau tidak sebagai penerima manfaat. Jadi berapa yang menerima, belum bisa kami laporkan secara rigid,” ujar Suhardi.

Suhardi menambahkan, menilik persoalan sinkronisasi data, tak bisa ia dipungkiri bahwa masih besar kemungkinan tenaga kerja di Kotamobagu yang belum didaftarkan sebagai calon penerima manfaat. Bahkan masih ada tenaga kerja yang secara mandiri datang untuk mendaftar, padahal harus didaftarkan lewat perusahaan.

“Mendaftar sendiri tidak bisa kami terima. Tenaga kerja harus melaporkan dulu ke pihak perusahaan untuk didaftarkan secara kolektif. Tenaga kerja melapor ke HRD, HRD yang nantinya menyampaikan ke pihak BPJS Ketenagakerjaan, nanti kami input, verifikasi, kemudian diteruskan ke Kementerian Ketenagakerjaan.,” urai Suhardi

Suhardi juga mengkhawatirkan ada perusahaan hanya mendaftarkan sebagian tenaga kerjanya, dan jarang melakukan update, terutama perusahaan kecil. Pembaruan data tenaga kerja di suatu perusahaan turut berpengaruh dalam penyebarluasan informasi, sebab untuk mensosialisasikan BSU, BPJS Ketenagakerjaan hanya menghubungi perusahaan yang karyawannya sudah terdaftar sebagai peserta. 

Keterangan Suhardi itu bertolak belakang dengan pengakuan Supratman, pemilik Carper perusahaan tempat Saldin bekerja. Meski perusahaannya telah mendaftarkan karyawannya ke BPJS Ketenagakerjaan, pihaknya merasa tidak pernah menerima informasi apa-apa soal BSU.

Klaim Pengawasan

Persoalan penyebaran informasi akses bantuan subsidi yang tidak merata bagi tenaga kerja sudah seharusnya turut menjadi tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja, (Distrinaker) Kotamobagu sebagai instansi terkait.

Kapala Distrinaker Kotamobagu, Imran Golonda mengatakan, untuk bisa mendapatkan bantuan subsidi gaji, prosesnya langsung dari karyawan itu sendiri termasuk dalam hal mendaftarkan, sebagaimana kerjasama Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS. 

Untuk bantuan ini, tidak ada kuota khusus bagi Kotamobagu. Yang penting memenuhi syarat saja. Menurutnya, jumlah tenaga kerja di Kotamobagu ada sekitar 4.378 orang, terdiri dari 2562 tenaga kerja laki-laki, dan 1816 tenaga kerja perempuan. Data ini berbeda dengan, jumlah tenaga kerja Kotamobagu yang sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, yang berkisar 8000-an orang. Perbedaan ini membuat repot Distrinaker melakukan pengawasan terhadap tenaga kerja, termasuk mengetahui mana yang sudah dan belum terakomodir sebagai penerima manfaat.

“Harus kita akui bahwa masalahnya memang ada di data. Ketidaksesuaian data, mempersulit sinkronisasi. Sebab, data dari satu instansi ke instansi lain berbeda. Dan saya kira, itu bukan hanya di Distrinaker, tapi seluruh, bahkan mungkin Indonesia pada umumnya,” kata Imran, Senin, (26/10/2020).

Upaya sosialisasi ke perusahaan telah dilakukan, agar yang sudah terdaftar keikutsertaannya di BPJS Ketenagakerjaan bisa mendaftar sebagai calon penerima manfaat BSU.

“Jika ada yang belum tahu, berarti dipertanyakan keikutsertaan mereka (perusahaan) dalam BPJS Ketenagakerjaan. Kerena otomatis, yang mendapatkan insentif  gaji itu, adalah yang sudah terdaftar. Apalagi konfirmasi dari BPJS akan dilakukan secara otomatis, sehingga harusnya tidak ada alasan bagi yang sudah terdaftar tidak menerima informasi,” bantah Imran.

Imran Golonda, Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Distrinaker) Kotamobagu. / Foto: Neno Karlina

Distrinaker sendiri mengaku telah melakukan pengawasan, dan intervensi agar tetap melindungi hak-hak seluruh tenaga kerja di Kotamobagu. Termasuk bekerjasama dengan Asosiasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (A2K3) Sulut.

”Akan masuk (sosialisasi) ke seluruh perusahan agar ikut kepesertaan, juga mengedukasi soal keselamatan dan kesehatan kerja. Diharapkan kedepan informasi seperti bantuan subsidi seperti saat ini bisa dengan mudah diakses tenaga kerja, tanpa harus lewat perusahaan,” terang Imran.

Distrinaker juga berupaya mensinkronkan data dengan mitra kerjanya, dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan. Termasuk mengupayakan tenaga kerja yang belum terakomodir dalam bantuan pada tahun ini, bisa terakomodir tahun depan, dengan catatan harus ikut BPJS Ketenagakerjaan pada akhir tahun.

Imran juga menegaskan memberikan tenggat waktu hingga Bulan November kepada BPJS Ketenagakerjaan agar melaporkan, berapa sebenarnya jumlah tenaga kerja yang telah terakomodir sebagai penerima manfaat program BSU. Pihaknya membutuhkan informasi itu guna menghitung berapa sebenarnya tenaga kerja yang masih perlu diakomodir. Koordinasi ke pihak provinsi juga terus dilakukan, agar provinsi bisa mengkoordinasikan lebih lanjut ke pusat.

Distrinaker sendiri meminta keterbukaan data, terutama bagi pihak perusahan menengah ke bawah agar bisa memberikan data yang akurat, terkait jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan mereka.

“Jangan nanti ada masalah, baru ada yang datang melapor ke Distrinaker, dan baru ketahuan ternyata ada tenaga kerja yang tidak terdaftar, sehingga susah untuk ditindaklanjuti. Ini semua kan demi kemaslahatan kita bersama,” ujar Imran. 

Berkembangnya Kota Kotamobagu sebagai kota model jasa telah membuat iklim investasi menjadi lebih baik, bahkan di masa pandemi. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kotamobagu, Noval Monoppo mengatakan dengan meningkatnya pengurusan izin usaha, sudah semestinya dibarengi pula dengan penguatan terhadap hak-hak pekerja.

“Dengan semakin banyaknya perusahaan, tentu instansi terkait harus memberikan perhatian terhadap tenaga kerja yang akan terus bertambah,” harap Noval.

DPMPTSP Kotamobagu mencatat, untuk tahun 2020 saja ada 207 perusahaan baru yang mengurus perizinan. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri dalam membuat pangkalan data yang terbuka dan terintegrasi sehingga mudah diakses antar stakeholder terkait.

Salah satu usaha dibawah naungan Carper, tempat Saldin bekerja. / Foto: Neno Karlina

Pentingnya Keterbukaan Data

Data merupakan suatu yang krusial dalam penyelenggaraan tatanan sistem, baik itu organisasi kecil, atau yang lebih besar cakupannya seperti suatu negara. Penting untuk melakukan pengelolaan data, sehingga ada satu acuan yang sama dalam menentukan berbagai kebijakan, termasuk juga dalam menjangkau masyarakat hingga ke lapisan bawah. Hal tersebut turut menjadi perhatian Serikat Pekerja Sejahtera Indonesia (SPSI) di Kotamobagu.

“Sejak kehadiran kami di Kotamobagu, kami mendorong agar persoalan keterbukaan data harus diperhatikan. Bahwa, pangkalan satu data dan keterbukaan data menjadi hal penting dan wajib, sebab selama ini kami kesulitan mengakses data pemerintah,  untuk memaksimalkan pengawasan kami terhadap hak-hak tenaga kerja,” kata Ketua SPSI Kotamobagu, Yudi Lantong, Jumat, (29/10/2020).

Selain itu, dengan keterbukaan data, seharusnya akan lebih mudah bagi masyarakat melakukan kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam memberi kebijakan terhadap para tenaga kerja.

“Waktu pandemi saja, yang tercatat hanya sekitar 550 pekerja yang dinyatakan terdampak oleh Distrinaker. Ini terasa tidak rasional, mengingat pandemi tidak hanya “menyisir” buruh. Dengan data seminim itu, bagaimana pemerintah kota bisa berharap tenaga kerja di Kotamobagu semua terakomodir dalam BSU,” ujarnya.

Di tempat terpisah, Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Sam Ratulangi, (Unsrat), Dr. Ir. Hanny H. Komalig, M.Si mengatakan, sudah semestinya Indonesia, memiliki satu data, dan kemudian mendorong agar data-data tersebut bisa mudah diakses oleh siapa saja.

“Selama ini, perbedaan data inilah yang menjadi semacam suatu momok dalam proses pencapaian transparansi dan pemerataan jangkauan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Statistika menjadi sangat penting. Harusnya Presiden, hanya mengacu pada data  Badan Pusat Statistik (BPS) saja, terserah dengan metode apa, agar bisa mencakup semua kebutuhan data masing-masing instansi, termasuk yang berkaitan dengan ketenagakerjaan,” jelasnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kotamobagu, Didik  Tjahjawinadi mengatakan, banyaknya perbedaan data dikarenakan metodologi pengambilan data yang berbeda. 

“Untuk menangani kesemrautan data, perlu adanya koordinasi antar instansi dalam tahap pengumpulan data, dan kemudian harus dilakukan dengan metodologi yang sama,” singkat Didik.

Dengan pola pengelolaan data seperti itu, diharap bisa ada satu basis data. Hanya cukup satu data saja, di semua instansi.  Sehingga dengan keterbukaan satu data, kemungkinan penerima ganda dalam BSU akan mudah diketahui, dan harapan Saldin menjadi penerima manfaat tak sekadar hanya menjadi harapan belaka.


Neno Karlina Paputungan

Neno saat laporan ini dikerjakan masih sebagai wartawan di Totabuan.news, media yang dioperasikan dari Kotamobagu. Laporan ini merupakan kali ketiga fellowship liputan yang dikerjakan Neno. Sebelumnya dia juga mengerjakan liputan soal kebocoran data pasien covid-19.

Neno Karlina Paputungan

 



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com