ZONAUTARA.com – Pemecatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sama halnya dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kerap kali diterima para buruh.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno di depan Gedung KPK Kavling C1, Jakarta pada Jumat (17/9) kemarin.
Sunarno juga memaparkan, isu tersebut kini menjadi perhatian pihaknya dalam konfederasi KASBI.
Untuk itu, saat ini masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyikapi dengan tegas pemecatan 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
“Ini yang jadi perhatian kami di konfederasi KASBI terkait dengan PHK sepihak yang dilakukan oleh pemerintah kita sendiri dengan alasan yang mengada-ada, tidak lulus TWK,” kata Sunarno
Desakan juga datang dari organisasi kemasyarakatan Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka meminta Jokowi bersikap sebagai orang yang terlibat dalam perubahan UU KPK, dasar hukum TWK KPK.
Ketua Umum Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Trisno Raharjo berkata Jokowi perlu bersikap sebagai orang yang tahu permasalahan negara. Dia menilai Jokowi setuju terhadap pemecatan pegawai KPK jika tak menyatakan sikap.
Berbagai upaya hukum telah ditempuh 57 pegawai KPK untuk mempertahankan status mereka sebagai pegawai komisi antirasuah, namun selalu kalah.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor:34/PUU-XIX/2021 menolak gugatan UU KPK terkait alih status menjadi ASN. Empat hakim konstitusi berpendapat alih status menjadi ASN merupakan hak pegawai KPK. Proses peralihan juga tak boleh merugikan pegawai lembaga antirasuah tersebut.
Sedangkan MA menolak uji materi Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 yang memuat TWK sebagaimana diajukan oleh pegawai KPK nonaktif, Yudi Purnomo dan Farid Andhika.
Jokowi sendiri sudah merespons nasib 57 pegawai KPK. Namun, yang keluar hanya permintaan agar tidak semua masalah diserahkan kepada dirinya.
“Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan,” kata Jokowi 15 September lalu.
Sikap itu dianggap tak pantas diperlihatkan oleh kepala negara.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut justru Jokowi lah yang harus mengurus sengkarut pemecatan 57 pegawai KPK. Bukan malah menyatakan tak ingin ikut campur dalam perkara ini.
“Presiden tak bisa bicara ‘apa-apa jangan presiden’ dan jadi netral,” ungkap Boyamin, Kamis (16/9).
Hal senada disampaikan cendekiawan muslim Azyumardi Azra. Ia meminta Jokowi tidak lari dari tanggung jawab.
Menurut Azyumardi, Jokowi harus menertibkan pimpinan KPK. Dia menyarankan Jokowi memulihkan status pegawai KPK sesuai rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman.
“Fatsunnya pula Presiden mengikuti rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM sebagai lembaga resmi negara,” ucap Azyumardi.
Terbaru, Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK (GASAK) menyurati Presiden Jokowi agar mengangkat 57 pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam surat itu mereka memberi ultimatum 3×24 jam bagi Jokowi untuk mengambil sikap. Jika tidak, mereka akan turun ke jalan.
“Kami Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan GASAK memberikan ultimatum kepada Presiden Jokowi untuk berpihak dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN dalam waktu 3×24 jam sejak hari ini. Jika Bapak masih saja diam, maka kami bersama elemen rakyat akan turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang rasional untuk Bapak realisasikan,” demikian petikan surat tertanggal 23 September tersebut.
Sebanyak 57 pegawai KPK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan kini menghitung hari untuk meninggalkan gedung pemberantasan korupsi.
Per 30 September, mereka diberhentikan dengan hormat oleh KPK, tanpa pesangon atau tunjangan pensiun. KPK hanya memberikan tunjangan hari tua.
Para pegawai KPK yang dipecat itu masih berharap Jokowi bersikap karena menganggap TWK KPK janggal sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman. Komnas HAM menyebut ada pelanggaran HAM di dalam prosesnya. Sementara Ombudsman menyatakan ada maladminsitrasi.
Meski telah melalui berbagai upaya, kedua lembaga tersebut hingga kini belum berhasil bicara dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan pendapatnya.