bar-merah

Bolian, pewaris tradisi motayok di Bilalang

motayok
Awan Mokoginta (55), seorang bolian saat sedang menari dalam ritual motayok di Bilalang. (Foto: ZONAUTARA.com / MARSHAL DATUNDUNGON)

Perjalanan kami mulai saat matahari tepat di atas kepala. Dengan kecepatan rendah,  kendaraan beroda dua yang kami kendarai, perlahan melintas di atas jalan sempit dan berkelok. Sesekali perjalanan kami ditemani pemandangan indah. Ada sawah, perkebunan, sungai, dan bukit. Tak hanya itu, banyak anak-anak yang terlihat bermain di tepi jalan. Situasi ini kami jumpai saat perjalanan menuju ke Bilalang, sebuah wilayah di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.

Setelah kurang lebih 20 menit berkendara dari kantor Zonautara.com di Kotamobagu,  akhirnya motor berwarna biru tua yang kami kendarai parkir juga di salah satu halaman rumah warga. Saat itu pertengahan April 2022.

Menyambut salam kami, seorang lelaki berkulit cokelat mengulurkan tangan untuk dijabat. Senyum ramah terlihat di wajahnya yang keriput. Adalah Rosuman Mokodongan, (56), warga Desa Bilalang yang berbagi cerita soal tradisi pengobatan leluhur yang masih lestari di sini. Tradisi ini dikenal dengan sebutan motayok.

Tradisi

Motayok adalah tradisi pengobatan yang dipercaya melibatkan roh leluhur.  Kearifan tradisi ini merupakan cara pengobatan nenek moyang suku Mongondow yang mediami wilayah pegunungan.

“Di sini banyak yang masih melakukan ritual tersebut. Ada beberapa juga orang dari luar desa yang  datang berobat,” ujar Rosuman Mokodongan, yang dianggap oleh warga sebagai pemerhati budaya di desa Bilalang.

Rosuman menjelaskan, dulu dalam upaya mencari kesembuhan atas sakit yang diderita, masyarakat Bolaang Mongondow tidak hanya mengandalkan pengobatan medis. Mereka juga percaya dengan pengobatan lain di luar medis seperti praktek motayok.

“Ketika berobat lewat medis dan tidak mendapat kesembuhan, maka mereka selalu percaya pengobatan mesti ditempuh dengan jalur lain,” kata Rosuman.

Meski motayok merupakan kepercayaan tradisi suku Mongondow, tapi siapa saja bisa mengikuti pengobatan alternatif ini. Terserah datang dari suku mana dan kepercayaan apa.

“Ritual ini tidak mensyaratkan agama mana (kepercayaan), siapa pun, jika ia ingin berobat dengan cara motayok maka bisa-bisa saja,” ujar Rosuman.

Rosuman menjelaskan, biasanya praktik pengobatan motayok akan dilakukan oleh seorang perempuan yang disebut sebagai bolian. Lewat tubuh bolian-lah, roh leluhur dipercaya akan masuk dan mengobati.

Bolian

Awan Mokoginta (55), tidak bisa menolak takdirnya sebagai pilihan duwata untuk meneruskan peran bolian dalam tradisi leluhur orang Bolaang Mongondow ini. (Foto: ZONAUTARA.com/RONNY A. BUOL)

motayok

Perempuan terpilih

Secara sederhana, dalam praktik motayok, para bolian akan memanggil roh leluhur untuk masuk ke dalam tubuhnya. Pemanggilan roh itu harus diiringi bunyi-bunyian yang keluar dari seperangkat alat musik tradisi, sembari bolian menarikan sejumlah gerakan tertentu.

Tak sembarang menjadi seorang bolian. Mereka adalah perempuan terpilih yang bukan datang dari keinginan diri mereka sendiri.

Bolian bukan sembarang perempuan. Tidak semua perempuan orang Bilalang bisa menjadi bolian. Seorang bolian adalah orang yang memiliki garis keturunan dari bolian sebelumnya, dan dia mesti disukai oleh roh leluhur atau duwata,” jelas Rosuman.

Seorang perempuan dari garis keturunan pewaris motayok yang disukai duwata, akan sakit jika menolak menjadi seorang bolian.

“Maka mau tidak mau, ia harus menjalankan ritual tersebut, jika sengaja menolak, ia akan sakit,” ujar Rosuman.

Apa yang dijelaskan Rosuman turut dibenarkan oleh Awan Mokoginta (55). Sempat merasakan sakit parah, perempuan ini bercerita tentang bagaimana perjalanannya menjadi seorang bolian.

Awan sudah menjadi bolian sejak tahun 1987, waktu itu dirinya masih berusia 25 tahun dan sudah menikah. Dia jatuh sakit, dan diobati melalui ritual motayok.

“Sebelum saya tahu bahwa saya adalah bolian, saya sakit keras. Tidak bisa bangun dari tempat tidur, sering muntah darah cukup banyak dan bergumpal. Keluarga menempuh pengobatan medis, tetapi tidak sembuh,” cerita Awan.

Awan pun diobati melalui ritual motayok. Saat proses ritual itu dilakukan, roh leluhur yang mengobatinya melalui seorang bolian, meminta dirinya dibangunkan lantas memilihnya menjadi seorang penerus bolian.

Bolian menarikan gerakan-gerakan magis saat roh leluhur memasukinya ketika irama musik tradisi terus dibunyikan. (Foto: ZONAUTARA.com/MARSHAL DATUNDUNGON)

Pesan roh lelulur itu mesti dijalankan oleh Awan, sebab jika tidak dia tidak akan pernah sembuh dari sakit yang dideritanya. Dalam kepercayaan tradisi ini, keturunan bolian yang jatuh sakit menjadi tanda bahwa ia dipilih oleh duwata.

“Dari sebelas bersaudara, hanya saya yang menjadi bolian. Ya memang nenek kami adalah seorang bolian. Dari keturunan nenek, hanya saya yang dikehendaki duwata,” kata Awan.

Status sebagai bolian membuat Awan merasa istimewa. Sebab, dari garis keturunan kakak beradik di keluarganya hanya ia yang bisa menjadi bolian.

“Keluarga setuju saya menjadi bolian, sebab keluarga sudah lelah merawat saya yang sakit waktu itu. Jadi ketika duwata meminta saya dibangunkan, dan saya mulai berperan sebagai bolian, saat itu juga sakit saya hilang,” aku Awan.

Meski begitu, peran bolian terbatas umur dan kemampuan fisik. Saat usianya berangsur uzur saat ini, Awan yakin akan ada salah satu bagian dari keluarganya yang akan dipilih duwata menjadi bolian, meneruskan perannya dalam tradisi motayok. Awan mengaku dia tidak bisa menentukan, kepada siapa ia akan mewariskan tugas seorang bolian.

Hal yang sama juga dikatakan oleh mantan kepala desa Bilalang, Hermanus O. Mokoginta, Menurutnya menjadi bolian adalah orang yang istimewa, sebab secara tidak langsung seorang bolian memiliki hubungan dengan duwata.

“Mereka itu istimewa. Duwata hanya akan merasuki tubuh bolian ketika mereka sedang mengunyah cengkih dan membaca mantra kala ritual motayok digelar,” ujar Hermanus.

Saat ini di Bilalang hanya sedikit perempuan yang menjadi bolian. Itupun usia mereka mendekati uzur.  Sementara butuh waktu dan proses mencari bolian pengganti.

“Cukup sulit memang, sebab seorang bolian tidak dipilih oleh manusia, mereka akan dipilih oleh roh leluhur nenek moyang suku Mongondow,” ucap Hermanus.

Persiapan

Tidak hanya Awan atau para bolian yang harus siap sebelum menggelar ritual motayok. Sejumlah persiapan lainnya harus dilakukan. Salah satunya adalah menyediakan makanan atau sesajen untuk duwata.

Sejauh yang diamati Rosuman, mereka percaya bahwa hidangan seperti ayam jantan, beras pulo (ketan) yang sudah dimasak menjadi binarundak, sagu yang telah diolah menjadi bail adalah makanan-makanan yang disukai duwata lewat perantara bolian.

“Akan ada pembacaan mantra-mantra, sesajen berupa makanan khas tradisional yang sengaja diperuntukan untuk memanggil duwata,” jelas Rosuman.

Tak cukup hanya itu, ada makanan khusus lainnya yang dimakan duwata saat rohnya sudah masuk ke dalam tubuh bolian. Makanan tersebut berupa adalah cengkih, pinang, rokok, dan jahe.

Bolian menarikan sejumlah gerakan dalam ritual motayok. (Foto: ZONAUTARA.com/Marshal Datundungon)

Rosuman menjelaskan, penanda yang dapat dilihat ketika roh duwata sudah masuk ke dalam tubuh bolian adalah, kaki bolian akan gementar terus menerus. Gemetar itu akan berhenti jika roh duwata sudah keluar dari dalam tubuhnya.

Selain itu, mata bolian akan tertutup. Tetapi biasanya saat melakukan tari motayok mata bolian akan kembali terbuka. Tubuhnya perlahan bergerak mengikuti irama dari alat musik golantung dan gimba.

“Saat itulah tarian motayok mulai dimainkan oleh roh duwata melalui tubuh bolian,” kata Rosuman.

Dulu, praktek ritual pengobatan motayok digelar di depan rumah orang yang akan diobati.

“Nantinya, di depan rumah tersebut dibuat sebuah pondok yang disebut sigi. Saat ini sigi sudah tidak dibangun lagi,” jelas Rosuman.

Walau masih terjaga hingga saat ini, Rosuman khawatir tradisi ini akan terkikis. Sebab menurutnya, dengan pendidikan, teknologi, paham agama, serta kemajuan medis yang terus berkembang, bisa menjadi alasan bagi generasi selanjutnya untuk tidak lagi melaksanakan praktek pengobatan tradisional ini.

“Menurut saya tradisi motayok bukan menduakan Tuhan. Ini adalah kebiasaan nenek moyang kita yang perlu dilestarikan. Pengobatan tidak hanya dilakukan secara medis, karena penyakit datang dari berbagai sebab,” kata Rosuman.

Rosuman berpendapat semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ia semakin sering mengabaikan ritual-ritual adat. Dalam situasi tertentu semestinya pemerintah daerah, hingga pemerintah desa ikut mendukung pelestarian tradisi motayok.

Baca bagian kedua

Editor: Neno Karlina Paputungan
Multimedia: Marshal Datundungon
Penyalaras akhir: Ronny Adolof Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com