bar-merah

Sebuah perjalanan mengenal kelamin sendiri

kelamin
Ilustrasi dari Pexels.com (Deon Black)

Benarkah selama ini aku telah mengenal dan memiliki diriku sendiri?”

Sebuah pertanyaan yang terdengar absurd terus menyandera kepala. Aku membuang tubuh ke kasur dan meraih guling bersarung kuning. Perlahan menarik napas dan menutup kedua bola mata, sambil berbisik dalam hati; please aku ingin tidur!

Entah sudah berapa lama sejak memejamkan mata, bulir-bulir keringat datang membanjiri wajahku–degup jantung yang tak beraturan membuat gelisah. Serupa monster pertanyaan-pertanyan ke-aku-an, tentang bagian-bagian dari diriku sendiri, terus mengikuti bahkan dalam mimpi. Nampaknya, aku tengah menggugat diri sendiri.

Sebotol penuh air dari tumbler aku teguk untuk menangkan diri, sembari kembali menarik napas dan berusaha berdamai. Jujur mengakui, jika selama ini aku memang jauh dari diriku sendiri, dari bagian-bagian tubuhku sendiri, dari milikku, dari yang selama ini dianggap tabu dan memalukan untuk dikenali lebih dekat: kelamin.

Pertanyaan-pertanyaan kian menukik tajam menghujam kepala, membuat aku segera membuka lalu menyalakan laptop. Berusaha mencari informasi sebanyak mungkin lewat internet.

Apa itu vagina, bagian-bagian dan fungsinya. Dalam percarian itu, aku ketemu istilah-istilah yang selama ini asing di telinga, tentu selain klitoris dan vagina itu sendiri.

Kekacauan pikiran membawaku berselancar membaca berkali-kali apa itu vulva, mons pubis (gundukan lunak jaringan lemak di bagian depan vulva, di daerah kemaluan yang menutupi tulang kemaluan), prepuce (kulup), klitoris, labia majora dan labia minora, masing-masing lubang untuk uretra/saluran kemih, vagina dan kelenjar bartholini.

Dan ternyata aku memang merasa bersalah. Hingga, harus meminta maaf pada diriku sendiri, selama ini aku telampau malu untuk mencari kemaluanku sendiri.

Tanpa ragu, aku mengambil cermin kecil, meletakkannya di posisi yang bisa membuatku melihat dan berkenalan lebih jauh dengan labia minora. Menyentuhnya lalu mengucapkan maaf, selama ini telah keliru menempatkannya dalam pemikiranku sehingga membuatnya jauh. Walau sesungguhnya, aku sendiri masih bingung, tidak tahu persis apa yang telah membuat aku begitu jauh. Agamakah? Keluarga? Adat budaya? Masyarakat? Atau siapa?

Sejak kecil lingkungan seakan membentuk aku merasa malu setiap membicarakan apalagi menyentuh kemaluan. Padahal selama yang aku pahami, rasa malu adalah kemuliaan yang aku miliki sebagai seorang perempuan. Akan tetapi, mengapa rasa malu membuat aku justru sangat merasa bersalah?

Padahal, harusnya sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin (sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan),” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652).

Air mata terasa hangat. Aku mengamati, menyentuh, dan mulai berbicara dengan kemaluanku; aku dan para perempuan yang dijangkiti rasa malu (terhadapmu) harusnya mengerti jika mengenalmu, kemaluan, organ intim, vagina atau apapun namanya itu, akan berpengaruh terhadap cara memandang diriku sendiri sebagai perempuan.

Perempuan yang keyakinan dirinya rendah, biasanya cenderung menganggap kelamin mereka buruk, dan kotor, terutama saat masa menstruasi. Aku tak mau seperti itu!

Aku yang akhirnya lega menemukan kemaluan, kemudian menjadi sangat yakin perempuan yang cerdas dan tidak malu membicarakan topik seputar kelamin cenderung memiliki citra tubuh yang positif, dan kepercayaan terhadap diri. Aku ingin puas dengan kemampuan untuk mengekspresikan diriku sendiri.

“Jangan sampai kelamin (yang sejatinya adalah milik kita) justru lebih dikenali laki-laki daripada diri kita sendiri sebagai perempuan,” ucapan Seksolog Klinis Zoya Amirin M.Psi.,FIAS yang lewat di beranda laman media sosialku membuat ngilu.

Aku bangkit dan mandi. Mengguyur tubuh dengan air merasa penuh kemenangan. Tabir yang selama ini menjadi misteri akhirnya berani aku sibak. Perjalanan mencari kemaluan membuat aku lebih percaya dan mencintai diri sendiri. Bersyukur telah diciptakan sebagai sebaik-baiknya ciptaan menjadi seorang perempuan.

Setelah pergumulan itu, kini aku bisa tertidur lelap dan melanjutkan liputan soal Female Genital Mutilation yang menjadi awal kebangkitan banyak pertanyaan yang dulunya bersarang di pikiranku dan sekarang terjawab, tuntas.

Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com