Eksisten anak-anak Jemaat Ahmadiyah di Kotamobagu saat tempuh pendidikan umum

ZONAUTARA.com – Dering lonceng sekolah berbunyi, tanda waktu istirahat selesai. Sambil memegang jajanan, Fareeha Shidiqa Tahir (12) mempercepat langkah menuju kelas. Ia baru saja menghabiskan waktu istirahat, bermain dengan teman-temannya di lapangan yang terletak tepat di depan sekolah.

Fareeha adalah siswi kelas 6 Sekolah Dasar Negeri 1 Motoboi Besar, Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara. Ia bercita-cita ingin menjadi polwan. Fareeha mengaku tidak terlalu tertarik dengan mata pelajaran matematika namun sangat menyenangi mata pelajaran agama. Menurut Fareeha, guru mata pelajaran agamanya selalu baik dan jarang marah.

Sebagai siswa kelas akhir di sekolah, Fareeha dan teman-temannya sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian. Jika lulus nanti, ia berencana melanjutkan sekolah ke salah satu SMP favorit di Kotamobagu. Rencana ini didukung penuh oleh kedua orangtuanya.

Yuliana Tayeb, ibu Fareeha mengatakan, selama ini tidak pernah memaksa anak-anaknya harus mengikuti keinginannya dalam memilih sekolah. Ia juga mengaku selama mendampingi anaknya menempuh pendidikan, dirinya tidak pernah kesulitan.

Eksistensi Yuliana dan keluarganya sebagai penganut ajarah Ahmadiyah tidak pernah dipertanyakan. Hal tersebut membuatnya tidak kesulitan dalam mengakses sekolah yang diinginkan anak-anaknya. Saat ini, Yuliana memiliki dua orang anak yang sedang menempuh pendidikan. Selain Fareeha, ada pula anaknya yang saat ini tengah duduk di bangku sekolah menengah atas.

Yuliana bercerita, selama ini, saat Fareeha berada di sekolah, dia menerima perlakuan seperti anak-anak lainnya. Tidak ada diskriminasi atau perundungan yang diterima oleh Fareeha, baik dari teman-temannya maupun dari guru atau dari pihak lain.

“Anak-anak saya menerima mata pelajaran agama yang sama dengan yang lain, yakni pelajaran agama Islam,” ujar Yuliana saat ditemui di rumah kediaman keluarga mereka di Kelurahan Motoboi Besar, medio September 2023.

Tidak ada pertimbangan khusus saat memilih sekolah bagi kedua anaknya untuk menyelesaikan pendidikan. Pilihan SDN 1 Motoboi Besar bagi Fareeha semata karena dekat gedung sekolah ada lapangan besar, sehingga aman bagi Fareeha saat istirahat bermain. Begitu pula dengan kakak Fareeha yang bersekolah di SMAN 2 Kotamobagu, tidak ada pertimbangan khusus.

“Meski bagi kakak Fareeha dia enggan menyebut jika memeluk keyakinan Ahmadiyah saat sedang berada di sekolah,” ujar Yuliana.

Ahmadiyah
Fareeha Shidiqa Tahir, bersiap menuju sekolah di SDN 1 Motoboi Besar, Kota Kotamobagu. (Foto: Zonautara.com/Yegar Sahaduta)

Yuliana sempat berkenginan ada sekolah khusus bagi anak-anak penganut Ahmadiyah, tapi dia juga sadar bahwa jumlah mereka yang masih sedikit di Kotamobagu tidak memungkinkan hal itu.

“Kami ikut aturan saja. Kami bisa hidup rukun dan harmonis saja seperti saat ini, sudah sangat bersyukur,” kata Yuliana.

Soal tidak ada perlakuan istimewa bagi siswa di SDN 1 Motoboi Besar diakui kepala sekolahnya, Lasniati Gonibala, yang memberi jaminan siapapun siswa yang terdaftar di sekolah itu akan mendapat pendidikan yang sama sesuai dengan tingkatan kelas. Saat ini ada 103 siswa yang terdaftar di SDN I Motoboi Besar. Tidak ada data berapa banyak siswa penganut Ahmadiyah, karena memang anak-anak dari penganut Ahmadiyah tidak secara terbuka menyatakan kepercayaan mereka.

“Kami guru-guru di sini akan memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak tanpa membedakan asal usul mereka,” jelas Lasniati saat ditemui di ruang kerjanya.

Menurut Lasniati mata pelajaran agama di SDN 1 Motoboi Besar adalah pelajaran agama Islam, karena semua siswa beragama Islam. Tidak ada mata pelajaran khusus penganut Ahmadiyah atau penganut lainnya.

“Guru mata pelajaran Islam di sini lulusan STAIN, dan dia memberikan bahan ajar yang ada di buku sesuai yang di kurikulum, kata Lasniati.

Meski begitu, setiap saat Lasniati bersama guru-guru lainnya selalu mengingatkan anak didik mereka untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif dan perundungan. Setiap apel pagi, anak-anak diminta untuk saling menghormati satu sama lain, tidak saling mengejek dan menjelek-jelekkan.

Ahamadiyah
Yuliana Tayeb, ibu dari Fareeha Shidiqa Tahir. (Foto: Zonautara.com/Yegar Sahaduta)

Keharmonisan Jemaat Ahmadiyah di Motoboi Besar

Apa yang dialami oleh Fareeha di sekolahnya sebenarnya bukan hal baru bagi penganut ajaran Ahmadiyah di Kotamobagu. Hidup rukun dengan masyarakat sekitarnya telah menjadi jaminan keberadaan penganut ajaran ini di Motoboi Besar. Keselarasan hidup bermasyarakat ini bukan terjadi begitu saja. Semuanya tidak lepas dari peran berbagai pihak termasuk pemerintah kelurahan yang terbuka dalam memandang dan memperlakukan sama semua warganya, baik penganut Ahmadiyah maupun yang bukan.

“Pemerintah kelurahan, pak Lurah dan perangkat seperti ketua lembaga pemberdayaan masyarakat juga sangat terbuka dan baik dengan kami. Bahkan sering melakukan silaturahmi dengan kami di masjid,” ujar Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Kotamobagu, Ata’ul Islam, yang ditemui beberapa waktu lalu oleh Zonautara.com.

Tak hanya itu, komunikasi Jemaat Ahmadiyah dengan kelompok lain, seperti Gusdurian dan Nasrani di Kotamobagu diupayakan terus terjalin guna merawat keharmonisan hidup bersama. Mereka sering melakukan kunjungan seperti saat bulan puasa.

Didiami oleh 889 kepala keluarga, dengan 2.717 jiwa, Kelurahan Motoboi Besar Kecamatan Kotamobagu Timur, Kota Kotamobagu, Sulut, menjadi salah satu kelurahan yang istimewa karena berhasil menjaga kerukunan hidup masyarakatnya. Kelurahan ini menjadi tempat JAI Cabang Kotamobagu beraktifitas. Terdapat 297 jiwa yang terdata sebagai bagian dari JAI, atau sebanyak 102 kepala keluarga. Diantara 297 jiwa tersebut, ada 41 anak usia sekolah.

Salah satu bentuk nyata penerimaan masyarakat atas kehadiran JAI di Kotamobagu, adalah berdirinya bangunan masjid Ahmadiyah di Motoboi Besar, dan aktif digunakan untuk berbagai kegiatan jemaat baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial lainnya. Beberapa bulan lalu, komplek masjid ini digunakan sebagai pusat Jalasah Salanah wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pertemuan tahunan yang dihadiri sekitar 500 anggota Jemaat Ahmadiyah itu bahkan dihadiri jemaat dari Palu, Ternate dan Ambon.

ahmadiyah
Mobalig Jemaat Ahmadiyah Cabang Kotamobagu, Ataul Islam saat ditemui di kediamannya. (Foto: Zonautara.com/Yegar Sahaduta)

Ikatan kekerabatan yang kuat antara Jemaat Ahmadiyah Kotamobagu dengan kelompok masyarakat lainnya juga sudah terbukti saat beberapa waktu lalu ada isu demo soal menolak kehadiran Ahmadiyah. Waktu itu banyak warga yang bukan penganut Ahmadiyah di Motoboi Besar justru turut melindungi dan menjaga jemaat di sana.

Lurah Motoboi Besar, Tendi A.Ponubu, mengakui bahwa keharmonisan dan kerukunan adalah buah dari kekerabatan yang terbangun pada masyarakatnya. Sehingga, warga akan mudah menerima perbedaan dan memandangnya sebagai hal yang lumrah. Seperti anggota dalam satu kasatuan keluarga yang di dalamnya terdapat bermacam-macam perbedaan. Masyarakat Motoboi Besar sudah saling menjaga sejak lama.

“Nah yang menarik di sini adalah, ada dalam satu rumah, misal ada 5 jiwa, 3 orang adalah jemaat dan 2 orang bukan. Jadi kalau terjadi gesekan di luar, dan ada tindakan represi maka yang bukan jemaat pun akan membela, sebab mereka dalam rumpun keluarga,” jelas Tendi.

Sejarah kehadiran Ahmadiyah di Motoboi Besar

Ahmadiyah pertama kali dikenalkan oleh Sadrudin Yahya Pontoh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abo’ Yan sekitar tahun 1940. Abo’ Yan adalah seorang diplomat Indonesia yang pernah bertugas di India dan menetap di Jakarta. Abo’ Yan berasal dari Bolaang Mongondow Utara, menikah dengan Bua’ Moleng Mokoginta Manoppo, perempuan dari Motoboi Besar.

Menurut Ketua JAI Cabang Kotamobagu, Safrianto Payu (45), sewaktu di Jakarta Abo’ Yan bertemu dengan Mubalig Ahmadiyah yang pertama diutus ke Indonesia, Maulana Rahmat Ali. Di situlah Abo’ Yan pertama kali mengenal Ahmadiyah.

”Kemudian beliau dibaiat dan bergabung menjadi Jemaat Ahmadiyah, lalu mencetuskan bagaimana bisa mengutus mubalig ke kampungnya di Motoboi Besar. Akhirnya diutuslah Maulana Abdul Wahid. Beliau adalah Mubalig Ahmadiyah Indonesia yang pertama,” ujar Safrianto.

Sekitar tahun 1952, Safrudin mengisahkan, Maulana Abdul Wahid diutus ke Motoboi Besar untuk memperkenalkan Ahmadiyah dengan bantuan Abo’ Yan. Dia menetap di Motoboi Besar selama enam bulan. Sejak saat itulah Jemaat Ahmadiyah Cabang Motoboi Besar terbentuk, dan berbadan hukum pada tahun 1953.

Safrudin menjelaskan, pada tahun 1949 keluarga besar Pontoh-Manoppo (Abo’ Yan) mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid. Kelak masjid tersebut diberi nama Masjid Mubarak yang selesai dibangun pada 1952, serta direnovasi pada 2005.

“Nama masjid adalah Masjid Mubarak tapi justru oleh warga lainnya lebih dikenal dengan Masjid Ahmadiyah,” jelas Safrudin.

Kehadiran Ahmadiyah di Kotamobagu menurut Safrudin selalu taat dengan kebijakan pemerintah kelurahan.

“Jadi hubungan atau interaksi kami di sini sangat baik dengan pemerintah. Walau terkadang ada segelintir orang yang kritis. Dari dahulu sampai sekarang tidak ada pertentangan dengan pemerintah kelurahan, selalu ada kerjasama. Secara garis besar pemerintah di sini luar biasa baiknya,” ungkap Safrudin.

ahmadiyah
Anak-anak sedang belajar membaca Al-Quran di Masjid Mubarak, sebuah masjid yang didirikan oleh Jemaat Ahmadiyah di Motoboi Besar, Kota Kotamobagu. (Foto: ZOnautara.com/Yegar Sahaduta)

Peran berbagai pihak

Pemerintah Kelurahan Motoboi Besar sangat aktif dan terbuka dalam melayani warga. Dalam praktek kehidupan bermasyarakat, pemerintah kelurahan memberi kesempatan yang sama kepada warganya. Tak heran jika salah satu anggota Jemaat Ahmadiyah menjadi perangkat kelurahan, Yuliana Tayeb (43), ibu dari Fareeha.

Meski menjadi kelompok minoritas tak menghalangi Yuliana terpilih menjadi ketua rukun warga (RW). Yuliana adalah Mantan Ketua Lajna Imaillah JAI Cabang Kotamobagu.

“Terpilihnya saya sebagai ketua RT hingga kini jadi ketua RW adalah bukti bahwa Ahmadiyah berbaur, dan warga yang bukan jemaat pun tidak mempersoalkan. Semua saling menghargai. Keseharian kami biasa saja. Barangkali ada dalam hati mereka terbesit dan tahu bahwa kami Ahmadiyah, tapi kalau untuk mengungkapkan dan mengatakan hal-hal yang menyinggung, tidak pernah. Sebab kami berbaur dengan baik,” ungkap Yuliana.

Yuliana mengaku dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua RW, dirinya berusaha menerapkan nilai-nilai sebagai seorang Ahmadi begitupun saat mendidik kedua anaknya, Fareeha dan kakaknya yang masih menempuh pendidikan di SD dan SMA.

“Pada dasarnya sama saja, bagaimana nilai kebaikan itu diterapkan. Sifat-sifat seorang Ahmadi seperti apa. Tidak korupsi, tidak diskriminasi, kalau ada bantuan sosial misalnya, tidak pandang bulu tapi benar-benar melihat orang yang membutuhkan,” jelas Yuliana.

Sementara itu, Lurah Motoboi Besar Tendi A. Ponubu mengatakan, sebagai bagian dari pemerintah, dirinya berupaya memperlakukan semua warganya sama, baik yang Ahmadi atau bukan. Apalagi, menurutnya, selama ini Ahmadi sangat taat terhadap pemerintah. Tak hanya itu, Tendi mengungkapkan keharmonisan ini tercipta berkat keterlibatan banyak pihak, tidak hanya pemerintah kelurahan di Motoboi Besar.

“Semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua warga baik yang Ahmadi atau bukan, sama-sama bekerjasama saling menjaga, demi terjalinnya kerukunan hidup yang harmonis di sini,” ungkap Tendi.

Tendi hanya khawatir jika ada isu dari luar yang dapat merusak kerukunan hidup di Motoboi Besar.Sehingga pihaknya terus berkoordinasi dengan pihak aparat untuk mengantisipasi hal-hal yang berpotensi menganggu keharmonisan yang sudah terbangun selama ini.

Apa yang menjadi kekhawatiran Tendi, sebenarnya adalah kekhawatiran bersama jemaat Ahmadiyah itu sendiri. Rahman Lukman Baaman (60) yang telah menganut ajaran Ahmadiyah sejak lahir misalnya, mencoba menepis kekhawatiran itu dengan belajar mendalami sungguh-sungguh tentang Ahmadiyah termasuk meminta anak-anaknya giat belajar. Sehingga kelak tidak salah menyampaikan ke orang lain.

Menurut Rahman, selama ini semuanya baik-baik saja, hanya kerap kali banyak informasi yang salah tentang Ahmadiyah sudah terlanjur beredar.

“Banyak teman saya yang sudah paham meski bukan anggota jemaat, turut membantu memberi pemahaman kepada yang lainnya. Sehingga sebenarnya kami baik-baik saja. Karena kami terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujar Rahman.

Komitmen untuk senantiasa menjaga kerukunan hidup juga menjadi keinginan besar Ketua JAI Cabang Kotamobagu, Safrianto Payu. Ikatan pertalian yang erat di Motoboi Besar diharapkannya mampu membuat warga tetap kuat dan tidak mudah terpecah belah. Terutama dalam merespon informasi keliru tentang Ahmadiyah, sehingga membuat masyarakat tidak nyaman dengan kehadiran Ahmadiyah, bisa diluruskan.

“Tapi kalau orang lain di luar kami yang paham, seperti media misalnya memberitakan yang benar secara terbuka maka akan lebih baik dan dipercaya dari pada kami yang menyampaikannya sendiri,” ujar Safrianto.

Bagi Safrianto, jika masyarakat mau menerima informasi dari Ahmadiyah secara terbuka, sudah lebih dari cukup untuk meluruskan eksistensi Ahmadiyah.

“Kami hanya mau bilang bahwa tidak ada yang salah dengan Ahmadiyah. Seharusnya Ahmadiyah punya hak yang sama terhadap hukum dan HAM, meski masih sering terjadi mis-informasi yang selama ini banyak merugikan pihak Ahmadiyah,” ujar Ahmad.

Ahmadiyah
Gedung Sekolah Dasar Negeri 1 Motoboi Besar, Kota Kotamobagu, tempat Fareeha Shidiqa Tahir menempuh pendidikan dasarnya. (Foto: Zonautara.com/Yegar Sahaduta)

Harapan

Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Kotamobagu, Ata’ul Islam berharap keharmonisan jemaat Ahmadiyah di Motoboi Besar selama ini terus terjaga, karena mereka sangat terbuka termasuk dalam hal pendidikan.

Bagi Ata’ul, anak-anak jemaat mereka dapat bersekolah dengan aman dan damai merupakan hal yang patut disyukuri. Menurutnya, dulu sewaktu dia bersekolah sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, hanya karena dia seorang Ahmadiyah.

“Di sini saya bersyukur, pak Lurah terbuka, Walikota juga sudah pernah datang ke sini, sekolah terbuka dan di tempat kerja juga. Berbeda dengan misalnya di Jawa. Padahal pendidikan adalah hak setiap anak, tidak ada kaitannya dengan minoritas atau mayoritas, apalagi soal agama karena itu urusan pribadi seseorang dengan Tuhan,” beber Ata’ul.

Menurutnya, ajaran keahmadiyahan anak-anak Jemaat Ahmadiyah di Motoboi Besar diperoleh secara internal. Ada pola pembekalan di KPA (Kursus Pendidikan Agama) secara berjenjang untuk anak usia SD, SMP dan SMA, bahkan untuk anak dewasa.

“Ada juga seperti pesantren kilat, itu biasanya ketika libur sekolah. Selain itu, kami juga ada pelajaran mengaji di masjid. Guru ngajinya jemaat tapi itu digaji dari pihak luar, dalam hal ini pemerintah. Dan yang datang belajar mengaji di Masjid Ahmadiyah bukan hanya jemaat tetapi juga dari non jemaat,” jelas Ata’ul.

Sebagai Mubaligh yang berasal dari Manislor, Jawa Barat, Ata’ul meilhat Pemerintah di Kota Kotamobagu terbuka, meski mereka merupakan kelompok minoritas tapi semua hak sebagai warga Kotamobagu dipenuhi.

“Apakah itu hak terhadap kesehatan, pendidikan, dan lainnya bisa terpenuhi. Mungkin berbeda dengan tempat lain yang masih ada diskriminasinya. Saya pikir apa yang terjadi di sini, perlakukan pemerintah, patut ditiru oleh masyarakat dan pemerintah di tempat lain karena kalau masalah keagamanan atau keimanan itu hak pribadi. Asal tidak mengganggu dengan pribadi yang lain. Keimanan itu urusan pribadi dengan Allah SWT.”


Liputan ini mendapat dukungan pendanaan dari Independen.id. Laporan yang sama sudah terbit sebelumnya di Independen.id dengan judul: Tak Ragu Menjadi Ahmadiyah



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com