Krisis air di Pulau Siau: kabar buruk dari masa depan

Bagian 2 dari 2 tulisan. Tulisan pertama dapat dibaca di sini: Salah Urus Kriris Air di Pulau Siau 

Kondisi sulitnya mendapatkan air di sebagian wilayah Pulau Siau akan lebih buruk kedepan jika tidak segera ada mitigasi yang tepat. Berdasarkan proyeksi perubahan curah hujan musiman periode 2032-2040 terhadap periode 2006 – 2014 yang dilakukan oleh oleh BMKG (2022), menunjukkan bahwa daerah Sitaro termasuk dalam kategori terdapat perubahan curah hujan dengan persentase berkurang sebesar 20% dari rata-rata periode 2006-2014. 

Ditambah lagi dengan profil kegeologian bahwa daerah Kabupaten Kepulauan Sitaro merupakan daerah yang berada pada dataran dan pegunungan vulkanik dengan sifat akuifer celah/sarang dengan produktivitas langka yang menjadikannya daerah yang kurang terhadap ketersediaan air bersih (water vulnerability), maka upaya konservasi air bersih harus sesegera mungkin dilakukan untuk mengantisipasi dampak kedepan.

Ilmuwan dari Universitas Jenderal Soedirman Yanto menegaskan pula bahwa krisis air dapat disebabkan oleh rendahnya curah hujan atau tidak efisiennya pengelolaan sumber daya air. Menurut Yanto, curah hujan mengalami fluktuasi akibat pengaruh iklim global terutama perubahan suhu muka air laut di Samudera Pasifik. Perubahan iklim menyebabkan ketidakpastian akan curah hujan di masa mendatang. Ada wilayah yang menjadi kering dan makin kering. Sebaliknya ada wilayah yang menjadi basah dan semakin basah. 

“Khusus tahun 2023, sudah diperkirakan terjadi gelombang El Nino yang kuat sehingga musim kemarau semakin panjang. Ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Fenomena El Nino akan berulang dengan derajat yang bervariasi di masa mendatang. Frekuensi pengulangan El Nino bisa makin singkat. Bencana kekeringan dan krisis air harus diwaspadai,” jelas salah satu ilmuwan bagian dari jejaring ilmuwan Society of Indonesian Science Journalist (SISJ) ini.   

Yanto menyarankan stakeholder di Kabupaten Kepulauan Sitaro harus melakukan eksplorasi lebih mendalam untuk mendapatkan cadangan air tanah. Menurutnya Pulau Siau dengan gunung berapi memiliki topografis miring di bagian gunung dan landai di dekat pantai. Jenis tanah relatif gembur dan subur. Dengan curah hujan sekitar 3000 mm per tahun, seharusnya cadangan air permukaan dan air tanah cukup banyak.

Dirangkum dari berbagai literasi, kemarau panjang akan menaikan suhu sehingga terjadi perubahan iklim yang meningkatkan kemungkinan kejadian cuaca ekstrim, salah satunya adalah bencana kekeringan. Perubahan iklim juga dapat berdampak pada kesehatan manusia. Oleh karena itu, perubahan iklim adalah salah satu masalah paling kompleks yang dihadapi saat ini, melibatkan banyak dimensi yakni sains, ekonomi, masyarakat, politik dan pertanyaan moral dan etika, serta merupakan masalah global, yang dirasakan dalam skala lokal, yang akan ada selama beberapa dekade dan abad yang akan datang.

Air diambil dari Mata Air Akelabo untuk didistribusikan ke kampung-kampung yang tak ada air sama sekali saat kemarau. (Foto: Ronny A. Buol)

Dilansir dari dokumen Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Synthesis Report (2014), untuk daerah urban, perubahan iklim diproyeksikan meningkatkan risiko bagi manusia, aset, ekonomi, dan ekosistem, termasuk risiko dari bencana kekeringan dan kelangkaan air (probabilitas sangat tinggi). Adapun untuk daerah non-urban atau rural diperkirakan akan mengalami dampak besar pada ketersediaan dan pasokan air, (probabilitas tinggi).

Provinsi Sulawesi Utara adalah satu dari tiga provinsi hasil validasi lapangan yang termasuk lokasi prioritas pembangunan berketahanan iklim (Bappenas, 2021). Dalam menyelesaikan tantangan perubahan iklim, seluruh pihak diharapkan dapat melakukan tindakan adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak yang dihasilkan serta mitigasi untuk mengurangi dan menurunkan dampak emisi GRK.

Secara umum, Sulut sendiri telah merasakan beberapa dampak dari perubahan iklim, salah satunya berupa bencana hidrometeorologi, termasuk di Kabupaten Sitaro. Grafis dibawah ini menunjukkan data bencana hidrometeorologi di Sulut selama 10 tahun terakhir.

Dampak perubahan iklim ini diperparah lagi, dengan profil kegeologian Pulau Siau yang merupakan daerah yang berada pada dataran dan pegunungan vulkanik dengan sifat akuifer celah/sarang dengan produktivitas langka, menjadikannya daerah yang kurang terhadap ketersediaan air bersih.

Oleh karena ini, Yanto menyarankan mitigasi terhadap krisis air di Pulau Siau sesegera mungkin dilakukan. Saat dihubungi oleh Zonautara.com, Yanto menyarankan salah satu infrastruktur yang relevan adalah membangun bendung kaskade, yaitu bendung yang dibangun di beberapa lokasi di daerah hulu.

“Tujuannya untuk mengoptimalkan tampungan air permukaan dan pemanfaatannya. Air dari bendung paling atas dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan sebagainya dan kemudian ditampung di bendung di bawahnya. Bendung kaskade juga dapat difungsikan sebagai pengendali banjir,” jelas Yanto.

Tentu menurut Yanto, untuk memanfaatkan air bendung tersebut guna keperluan sehari-hari, perlu dilakukan pengolahan air untuk menghilangkan bahan pencemar yang berbahaya bagi tubuh, agar air hasil bendung tersebut dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.

air
Bak penampungan air hujan yang dibangun warga di Kampung Lehi. Kampung ini berada di ketinggian tepat di punggung Gunung Api Karangetang. (Foto: Ronny A. Buol)

Pendekatan Rainwater Harvesting

Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi persediaan air di Pulau Siau, terutama di bagian Siau Barat Utara adalah dengan Pemanenan Air Hujan (PAH) Komunal atau rainwater harvesting. Mengingat potensi curah hujan musiman di Sitaro yang diproyeksikan menurun sekitar 20%, maka diperlukan pengembangan infrastruktur dalam memanfaatkan air hujan tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan air masyarakat di masa mendatang.

Meski pemanenan air hujan ini sudah dipraktikkan oleh masyarakat Siau Barat Utara, seperti Wilhelmus Damar dan Hopni Kawowode di Kampung Kinali, namun pendampingan harus dilakukan oleh pemerintah daerah agar daya tampung bak yang mereka bangun menjadi besar dan kualitas mutu air terjamin.

Sebab seperti yang diakui oleh Hopni, bahwa selama ini nyaris tak ada sosialisasi atau penyuluhan bagaimana cara terbaik memanen air hujan. Hopni dan masyarakat Siau Barat Utara lainnya, membangun bak penampung begitu saja. Air hujan ditangkap dari atap rumah, lalu disalurkan ke bak penampung dengan menggunakan seng atau pipa sebagai talang. Tak ada perlakuan khusus agar air tampungan dijamin mutunya.

“Saya pakai soma (jaring ikan) saja. Tutup di atas bak. Kalau hujan, airnya jatuh ke bak, nanti pakai pompa hisap untuk ambil atau pakai timba. Selama ini tidak pernah ada petugas yang datang bilang bagaimana biar airnya bagus,” jelas Hopni.

air
Instalasi PAH yang dibuat oleh Hopni Kawowode, warga Kampung Kinali, sangat sederhana. Instalasi PAH seperti inilah yang terdapat di seluruh wilayah Kecamatan Siau Barat Utara. (Foto: Ronny A. Buol)

Sejauh pengamatan Zonautara.com saat menelusuri kampung-kampung di Pulau Siau yang kesulitan air dan mempraktikan PAH, semuanya dibangun apa adanya dengan instalasi yang sangat sederhana. Bahkan banyak yang menggunakan seng yang sudah karatan sebagai talang untuk menyalurkan air dari atap ke bak. Tak ada satu pun masyarakat yang mempraktikkan PAH Komunal, padahal di beberapa permukiman, rumah penduduk sangat berdekatan.

Direktur Pusat Kajian Rekayasa Sumber Daya Air dan Kepala Laboratorium Hidrolika Universitas Hasanuddin, Dr.Eng.Ir. Rita Tahir Lopa dalam paparannya soal Krisis Air dan Masalah Air di Indonesia menjelaskan bahwa salah satu jalan untuk mengatasi persedian air di daerah-daerah krisis air adalah dengan membangun communal rainwater harvesting model.

PAH Komunal ini dibangun dengan memanfaatkan atap bangunan secara bersamaan, dan menampung hasil pemanenan air hujan pada bak penampung yang dibuat di bawah tanah, seperti yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat di Kecamatan Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan.

Sumber: Handbook for Rainwater Harvesting for the Caribbean (United Nations Environment Programme)

Selain itu, Rita Lopa juga merekomendasikan sistem individual rain water harvesting dengan menggunakan filter untuk menjamin mutu air hasil pemanenan. Model yang direkomendasikan oleh Rita tersebut telah memiliki paten yang didaftarkannya pada 22 September 2022 di Direktorat Paten, Desain Tata Letak Terpadu dan Rahasia Dagang Kemenkumham RI.

“Menurut studi World Resource Institute pada 2015, Indonesia termasuk negara yang berisiko tinggi mengalami krisis air pada tahun 2024,” kata Rita saat Workshop Jurnalisme Ancaman Krisis Air yang digelar oleh SISJ pada Juni 2023 di Makassar.

air
Sumber: Kriris Air dan Masalah Air di Indonesia (Dr. Eng. Ir. Rita Tahir Lopa, MT PI-SDA)

Sayangnya, teknologi tepat guna yang semestinya dapat diterapkan di Pulau Siau ini belum mendapat perhatian penting dari Pemerintah Kabupaten Sitaro, sebagai salah satu mitigasi krisis air di masa mendatang. Hal itu diakui sendiri oleh Kepala Bidang Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman Sitaro, Jun Sabanari.

“Kami belum punya mitigasi krisis air kedepan. Arahan pimpinan kami menyiapkan teknologi sea water reverse osmosis. Tapi ini juga belum disiapkan, masih dijajaki, jelas Jun ketika diwawancara di kantornya.

Menurutnya Jun, sebenarnya banyak teknologi yang bisa diterapkan di Pulau Siau dan di Kabupaten Sitaro pada umumnya untuk mengatasi krisis air saat sekarang dan pada masa mendatang.

“Tapi kendalanya ada di anggaran,” kata Jun.

Padahal dikutip dari paper yang ditulis oleh Muh Alifian Al Anshari dan Ani Hasanah Pratiwi (Teknik Lingkungan, Unsrat) tentang Perencanaan PAH Komunal untuk Mengurangi Dampak Krisis Air Bersih di Kabupaten Sitaro, disebutkan bahwa distribusi air yang dilakukan oleh PDAM Sitaro saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih seluruh warga Sitaro. 

Untuk memenuhi kebutuhan warga yang belum terjangkau PDAM tersebut, kedua akademisi UNSRAT ini menyarankan PAH Komunal. Berdasarkan hasil perhitungan rerata curah hujan harian maksimum dan kebutuhan air bersih, maka untuk memenuhi kebutuhan air saat musim kemarau pada tahun proyeksi 2050 sebanyak 419.221 m3/tahun, dengan kemampuan curah hujan harian maksimum rata-rata 44 mm/hari atau 5,940 mm/tahun, diperlukan atap total seluas 88.220 m2 agar dapat memanen air hujan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Sitaro pada tahun 2050.

Paper itu merekomendasikan pembangunan PAH Komunal 4 unit per kampung/kelurahan. Jika dihitung berdasarkan proporsi penduduk, maka kebutuhan luas atap tiap kecamatan sesuai dengan tabel di bawah ini:

Jika kemudian dilakukan perencanaan teknis pada tiap-tiap unit PAH Komunal, dengan menghitung jumlah unit, luasan atap yang dibutuhkan per unit, dan dimensi bak PAH, maka diperoleh luas atap per unit yang dihitung dari hasil pembagian antara luas atap rencana dengan jumlah unit per kecamatan. Hasilnya seperti tabel di bawah ini:

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa volume bak yang dibutuhkan untuk menampung hujan dan digunakan pada musim kemarau atau hari tidak hujan relatif besar sehingga dalam perencanaan PAH Komunal ini digunakan rencana bak sebesar 50% dari kebutuhan total sehingga PAH Komunal sebanyak 4 unit per desa/kelurahan, mampu memenuhi kebutuhan air bersih warga Sitaro sebanyak 50% pada 230 hari tanpa hujan.

Mitigasi Krisis Air Yang Mendesak

Rekomendasi sebagaimana proyeksi dalam perhitungan paper Muh. Alifian Al Anshari dan Ani Hasanah Pratiwi ini perlu segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Sitaro. 

Denny Taroreh, pemerhati masalah sungai dan air di Sulawesi Utara menyorot soal pentingnya mitigasi. Menurutnya, sebagian kalangan baru bergerak jika sudah risiko. Padahal, mitigasi sudah harus disiapkan jauh sejak awal. 

“Semua daerah harus mempersiapkan mitigasi. Tapi kepulauan Siau punya kegentingan yang lebih besar skalanya. Penting untuk membangun kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat agar dapat memperkuat kemampuan mengatasi potensi bencana di masa mendatang,” jelas Denny yang baru saja mengunjungi Pulau Siau.

Dia mendorong, mitigasi yang terukur dan tepat sasaran dalam mengatasi krisis air di Sitaro, khususnya di Pulau Siau harus segera dirumuskan, agar masyarakat tidak lagi kesulitan saat hujan tidak turun dalam jangka waktu yang lama.

“Mitigasi dapat dilakukan dengan pembangunan fisik, misalnya PAH. Tetapi lebih penting lagi menanam pohon agar dapat menahan air. Mitigasi juga dipahami sebagai upaya komprehensif yang harus dilakukan bukan hanya menghadapi kebencanaan sebelum dan pasca hujan, tetapi juga kebencanaan terkait kekeringan,” ujar Denny.

air
Seorang warga mengambil air di Mata Air Akelabo, Ulu, Pulau Siau. Di sebagian wilayah pulau ini jika kemarau tiba, warga harus membeli air karena di kampung mereka tak ada air setetespun. (Foto: Ronny A. Buol)

Jika tidak, Wilhelmus dan Hopni di Kinali, Melkisedek di Kawahang, dan Delfis di Buhias serta masyarakat lainnya di Sitaro, harus terus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membeli air saat kemarau. Apalagi, itu tadi, kata BMKG curah hujan di Sitaro akan makin kurang. 

Ketika proyeksi BMKG bahwa curah hujan di Sitaro akan terus berkurang di masa depan dan bahwa Pemkab Sitaro belum punya mitigasi soal krisis air disampaikan kepada Hopni, wajahnya terlihat pasrah. “Terserah jo pa dorang (terserah saja pada mereka – pemerintah)”, ujarnya pasrah sambil terus melanjutkan memeras parutan kelapa untuk diolah menjadi minyak kelapa, sembari melawan terik yang membakar siang itu di Kinali. ***


Liputan ini atas dukungan program Fellowship “Archipelago of Drought 2023”, yang terlaksana dengan dukungan Society Indonesian Science Journalism (SISJ), CNN Id Academy, dan US Embassy.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com