Suasana saat upacara melasti di Dumoga Utara. (FFoto: Zonautara.com/Marsal Datundugon)

LIPUTAN KHUSUS

Di Mopuya, keberagaman tak hanya jadi slogan hidup

Masjid, gereja, dan pura berdiri berdampingan; suara azan dan lagu rohani saling menghormati tanpa perlu kesepakatan tertulis.

ZONAUTARA.com — Jalanan di Desa Mopuya Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Provinsi Sulawesi Utara dipenuhi rutinitas seperti biasa pada Senin (27/10/2025).

Terlihat para pedagang yang sedang melayani pembeli di pasar, petani yang berangkat ke ladang, dan ibu-ibu yang beraktivitas di kantin pembangunan gereja.

Sekilas tak ada yang berbeda, semuanya normal kecuali matahari yang dalam beberapa hari terakhir terasa lebih panas dari biasanya.

Namun jika menilik lebih jauh, Mopuya menyimpan fakta menarik: sebuah harmoni keberagaman yang telah hidup berpuluh tahun di tengah masyarakat.

Di desa yang terletak di Kecamatan Dumoga Utara itu, jargon persatuan seperti Bhinneka Tunggal Ika atau unity in diversity bukanlah isapan jempol belaka.




Bagi mereka, kerukunan dalam keberagaman adalah laku hidup, bukan sekedar ornamen penghias dinding media sosial.

Total ada enam bangunan rumah ibadah yang dibangun dalam satu kawasan, terdiri dari satu masjid, satu pura dan empat gereja.

Bentuk rumah ibadah yang berbeda tidak serta merta membatasi hubungan para penganut ajarannya.

Malah sebaliknya, masing-masing pemeluk agama di Mopuya membuktikan bahwa hidup rukun di tengah keberagaman bukan hal yang mustahil.

Seperti hari itu, saat adzan Ashar berkumandang, sontak aktivitas penggalangan dana yang menggunakan pengeras suara di kantin pembangunan gereja samping masjid, berhenti.

Meski terlihat seperti sesuatu yang biasa, namun hal tersebut merupakan cerminan kerukunan yang telah terjalin selama puluhan tahun di Mopuya.

mopuya
Bangunan masjid, gereja dan pura di satu lokasi. (Foto: Zonautara.com)

Puluhan tahun hidup berdampingan

Mopuya merupakan daerah eks transmigrasi, yang pertama ditempati transmigran dari Kabupaten Bojonegoro dan Banyuwangi, Jawa Timur pada 1972. Menyusul setelahnya tiga gelombang transmigrasi pada tahun 1973 dan 1974.

Mengutip buku profil desa, gelombang transmigrasi pertama didatangkan pada 19 September 1972, yang terdiri dari 50 Kepala Keluarga (KK) dari Kabupaten Bojonegoro dan 50 KK dari Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah 552 jiwa (289 laki-laki dan 263 perempuan).

Pada 14 Oktober 1973 didatangkan kembali transmigran dari Jawa Tengah berjumlah 100 KK dan dari Jawa Timur berjumlah 100 KK dengan jumlah 992 jiwa, terdiri dari 494 laki-laki dan 498 Perempuan.

Pada tanggal 15 Januari 1974 kembali didatangkan transmigran dari Jawa Timur sebanyak 100 KK dengan jumlah 436 jiwa terdiri dari 249 laki-laki dan 187 perempuan.

Pada 14 Maret 1974 didatangkan transmigran dari Bali sebanyak 100 KK dengan jumlah 792 jiwa, terdiri dari 266 laki-laki dan 496 perempuan.

Di samping program transmigrasi pemerintah, ada pula kedatangan penduduk dari Jawa dan Bali secara mandiri.

Menurut Sangadi (Kepala Desa) Mopuya Selatan, Muzayin, masjid dan gereja di tempat itu didirikan oleh para transmigran gelombang pertama pada tahun 1972.

Muzayin sendiri merupakan salah seorang trasmigran gelombang pertama di Mopuya, waktu itu ia berusia sepuluh tahun.

Ia bercerita, rumah ibadah yang pertama dibangun adalah masjid dan gereja. Sedangkan pura, belakangan dibangun oleh transmigran yang beragama Hindu.

Saat Mopuya belum dimekarkan menjadi dua desa (Mopuya Selatan dan Utara), rumah penduduk mengelilingi tanah umum yang kosong, yang kemudian menjadi lokasi dibangunnya rumah ibadah secara berdampingan.

“Oleh tokoh-tokoh masyarakat waktu itu, dibangunlah rumah ibadah berdampingan di lokasi yang sekarang ini,” ungkap Muzayin.

Mopuya
Sangadi (Kepala Desa) Mopuya Selatan, Muzayin. (Foto: Zonautara.com/Ronny A. Buol)

Saling melengkapi

Menurut Muzayin, salah satu yang mengokohkan kerukunan di Mopuya adalah kesadaran untuk saling menghormati satu sama lain, tak terkecuali dalam pelaksanaan ritus-ritus keagamaan.

Saat hari raya Idul Fitri, misalnya, umat agama lain akan bantu berjaga, dan begitu pula sebaliknya. Pun saat ada perayaan hari besar keagamaan lainnya, umat yang tidak merayakan akan mengalah untuk tidak menggunakan pengeras suara.

“Kita saling menjaga ketika ada perayaan keagamaan,” ujarnya.

Bahkan dengan tegas, Muzayin mengatakan, di daerah eks transmigrasi itu belum pernah terjadi gesekan atas dasar agama yang berujung konflik.

Hal yang sama juga diutarakan Nurul Halima, salah seorang warga Mopuya Selatan. Menurutnya, kerukunan dalam keberagaman di Mopuya bukan lagi sekadar menghargai tetapi saling melengkapi.

“Karena memang selama ini rasanya nyaman sekali. Apalagi soal ibadah, antar umat beragama tidak ada perasaan terbebani dengan umat agama lain,” aku Halima.

Ia pun memberi beberapa contoh kerukunan di tengah keberagaman yang ada di Mopuya saat ini. Misalnya, saat ada upacara ogoh-ogoh, di masjid diumumkan untuk saling mejaga kebersamaan.

“Setiap selesai solat subuh, di masjid selalu melakukan tadarus menggunakan pengeras suara sampai kira-kira jam enam pagi. Selesai tadarus, sudah berganti dengan lagu rohani kristiani yang mengudara,” tutur Halima berkisah.




Situasi saling menghargai dan melengkapi seperti itulah yang mendorong menguatnya jalinan keberagaman di Mopuya.

mopuya
Keberagaman di dataran Dumoga. Bolaang Mongondow. (Foto: Marsal Datundugon)

Komunitas yang saling menguatkan

Daerah Dumoga memiliki masyarakat yang heterogen sebab daerah tersebut telah menjadi tujuan transmigrasi sejak puluhan tahun lalu. Ada banyak daerah transmigrasi di dataran Dumoga selain Mopuya.

Dalam sektor ekonomi, Dumoga menjadi salah satu pilar penting dalam pemenuhan kebutuhan beras di Sulawesi Utara. Bahkan, Dumoga sering kali disebut-sebut sebagai lumbung beras Sulawesi Utara.

Namun secara sosial, gesekan di antara masyarakat yang heterogen sering kali tak terhindarkan. Beberapa kali terjadi tawuran antar kampung, yang bisa dilihat sebagai salah satu tantangan dalam keberagaman.

Kerukunan yang terjalin di Mopuya merupakan sebuah fenomena sosiologi yang mengindikasikan bahwa masyarakat yang beragam dapat hidup rukun berdampingan.

Alih-alih bertikai, penduduk Mopuya justru bahu membahu saling bantu dalam berbagai sektor kehidupan. Sehingga hal tersebut menjadi menarik untuk digali lebih dalam.

Fenomena sosiologi sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial antar individu atau kelompok, yang dapat memberikan dampak signifikan pada kehidupan masyarakat.

Hamdi Gugule, akademisi yang pernah melakukan penelitian di Mopuya sejak 1979 berpandangan bahwa keberagaman yang dibawa dari daerah asal tidak serta merta menjadi pembeda saat tiba dan menempati daerah baru.

Ia menyebut, kerukunan terjalin dengan sendirinya seiring intensitas interaksi sosial yang terjadi di antara para penduduk.

“Jadi ketika mereka masuk di Mopuya waktu itu memang sudah beragam. Dari keragaman itu hampir tidak ada perbedaan perlakuan dari pemerintah dan unsur kebersamaan mereka tidak melihat dari aspek keberagaman agama,” ungkap Hamdi yang merupakan mantan dosen sosiologi Universitas Negeri Manado (Unima).

“Secara sosiologis, mereka hanya melihat bahwa mereka adalah transmigran yang harus berhasil (di daerah baru),” tambahnya. 

Tekad itulah yang menjadi salah satu faktor keberagaman agama tidak menjadi halangan dalam interaksi sosial di Mopuya.

Lanjutnya, faktor lain yang menguatkan kerukunan di Mopuya adalah sistem kehidupan komunitas.

“Kehidupan komunitas itu (mereka) merasa sama-sama dari Jawa, sama-sama transmigran, sama-sama berjuang dari awal. Itulah yang membentuk komunitas yang kemudian menjadi benteng mereka untuk kerukunan dalam keberagaman itu tetap bertahan,” terangnya.

Menurutnya, secara teoritis, kerukunan di Mopuya dapat dibaca menggunakan pendekatan teori sistem.

Adapun teori sistem didefinisikan sebagai studi tentang sistem terbuka yang terdiri dari elemen-elemen yang saling terhubung dan menunjukkan sifat-sifat yang muncul, menekankan bahwa keseluruhan tidak dapat direduksi menjadi bagian-bagiannya.

Dalam konsep teori sistem, terdapat beberapa komponen dasar, yakni elemen, hubungan, batas, tujuan, masukan (input) dan keluaran (output).

Secara sosiologis, teori sistem digunakan untuk memahami interaksi sosial, seperti dalam sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem pendidikan. Sistem digunakan untuk menganalisis bagaimana elemen-elemen sosial saling berinteraksi dalam masyarakat.

“Teori sistem itu (maksudnya) sistem yang berlaku sejak awal komunitas terbentuk itu yang mereka jaga. Dan apabila ada unsur-unsur dalam sistem itu yang terganggu maka itulah yang mereka perbaiki bersama karena apabila satu saja elemen yang hancur maka sistemnya juga akan hancur,” ungkap Hamdi yang saat ini menjabat sebagai Ketua LPPM Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK).

Selain itu, ia menilai, keterwakilan masyarakat Mopuya di pemerintahan tingkat kecamatan hingga kabupaten menjadi katup pengaman bagi kerukunan yang ada di daerah tersebut.

Dalam sosiologi, katup pengaman merupakan mekanisme sosial yang berfungsi untuk menyalurkan konflik atau ketidakpuasan agar tidak merusak tatanan sosial.

“Jadi ketika ada letupan, dia (orang yang merupakan keterwakilan) yang ikut mengamankan,” ucapnya.

Penjelasan di atas sejalan dengan pengakuan Muzayin bahwa hingga kini ia belum pernah menemukan adanya konflik sosial yang terjadi di antara masyarakat Mopuya akibat keberagaman yang ada.

“Selama ini saya amati belum pernah ada konflik gara-gara agama di sini,” ucap Muzayin dengan mantap.

Nurul Halima juga mengaku sangat nyaman menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah eks transmigrasi tersebut.

“Rasanya sangat nyaman, tanpa ada rasa khawatir saat beribadah dan bermasyarakat,” tutup Halima dengan raut wajah penuh kebahagiaan.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com