MANADO, ZONAUTARA.com – Lelaki berperawakan kecil ini sementara berbaring diatas kursi malas yang dijualnya. Kursi yang terbuat dari rotan seharga Rp 750.000. Ia memang seorang penjual kursi rotan yang sehari-hari mangkal di pinggir Jalan Ringroad, tepatnya dibawah Pos Polisi Winangun.
Ia nampak sedikit bingung ketika disapa. Saat dijelaskan hendak diwawancarai, Ahmad Tanaiyo nama lengkapnya, akhirnya mengangguk tanda mengiyakan. Ia pun mulai berkisah tentang profesinya sebagai penjual perabot rumah tangga berbahan dasar palma dari puak (tribus) Calameae ini.
“Sudah empat bulan berjualan. Sebelumnya saya seorang sopir. Barang-barang ini juga milik tetangga saya dan saya diupah seratus ribu per hari, laku nggak laku,” tutur pria berusia 43 tahun ini, saat ditemui ZonaUtara.com di lokasi berjualan, Rabu (2/8/2017).
Upah ini diterima setiap hari sehabis bekerja. Dengan upah sebesar itu, sebenarnya ia merasa tak cukup untuk menghidupi kehidupan sehari-hari istri dan anak-anaknya. Lelaki asal Gorontalo ini memiliki empat orang anak. Dua anak tertua telah tamat pendidikan sekolah menengah atas.
“Dua lainnya masih sekolah. Yang satu SMP sedangkan yang paling bungsu masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap hari, saya memberikan uang dua puluh lima ribu rupiah untuk mereka berdua. Uang itu digunakan untuk transport ke sekolah dan jajan mereka,” ujar Ahmad.
Dengan biaya rutin ini, sisa upah sebesar Rp 75.000 digunakan untuk makan sehari-hari. Pendapatan sehari habis sehari. Belum lagi kewajiban membayar kos sebesar Rp 400 ribu per bulan dan listrik. “Kadang untuk makan tak cukup dan kami harus ngutang,” tuturnya lirih. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca.
Setengah menarik nafas panjang ia mengatakan, setiap hari kedua anaknya harus pulang jalan kaki sepulang sekolah. Jarak antar sekolah dan rumahnya di Kelurahan Mahawu Lingkungan VI kecamatan Tuminting, sekitar satu kilometer. Bahkan kaki mungil anak bungsunya harus berjalan sejauh kurang lebih dua kilometer untuk pulang ke rumah.
“Yang masih paling bungsu kan, sekolahnya agak jauh di dekat Polsek Tuminting dan setiap hari dia pulang jalan kaki. Kadang sejam baru tiba, kadang lebih. Dia sering singgah di rumah temannya untuk istirahat dan main sebelum pulang,” jelas dia lagi dengan suara pelan.
Meski dengan penghasilan kurang, semangat Ahmad untuk menyekolahkan anak patut diacungi jempol. Ia sadar betul bahwa pendidikan anak nomor satu. Orang tua boleh saja bermandi keringat beratap terik matahari dan guyuran hujan saat bekerja, namun anak-anak harus hidup lebih baik di masa depan.
“Biar gaji sedikit dan kadang tak mencukupi, apapun yang terjadi anak-anak harus sekolah. Makan tak makan anak-anak harus sekolah biar hidup mereka tak susah seperti orang tuanya,” terangnya. Kali ini pernyataan Ahmad terlontar penuh semangat meski setelah itu meredup lagi.
“Setiap hari saya bangun pagi sekitar jam setengah enam. Setelah itu mengangkat barang dagangan keatas mobil. Beruntung karena rumah bos berada disebelah tempat kosnya, ia tak perlu mengeluarkan ongkos transport. usai menaikan dagangannya, Ahmad meluncur ke lokasi berdagang. Sekitar jam 9.00 pagi ia dan sang majikan tiba di lokasi dan langsung menunggui dagangan.
“Barang jualan laku itu tak menentu. Kadang sehari tak ada yang terjual, cuma hari ini sudah dua unit dibeli,” ucap dia. Tak banyak harapan dalam mengarungi kerasnya hidup. Satu saja keinginannya, diberi kesehatan dan kekuatan untuk dapat menyekolahkan anak hingga tamat SMA.