PALU – Kawasan penggaraman di Pantai Talise, menjadi salah satu sentra ekonomi pesisir yang terdampak bencana 28 September 2018 lalu. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulteng, mencatat, sekitar 157 petani garam yang terdampak bencana, empat di antaranya meninggal dunia.
Mereka terbagi dalam 16 kelompok Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) dengan total luas lahan 18,05 hektar.
Kehadiran petani garam di Teluk Palu, merentang jauh dalam sejarah. Kisahnya terlacak dalam nukilan cerita rakyat tentang kedatangan mubaligh asal Minangkabau, Abdulah Raqie bergelar Dato Karama di lembah Palu.
Kisah tersebut didokumentasikan oleh ahli linguistik, N Adriani dan Etnolog AC Kruijt, dalam buku De Bare’e-Sprekepe Toradja’s Van Midden-Celebes (1912).
Cerita rakyat tersebut menyebutkan, kedatangan Dato Karama di Teluk Palu, pertama kali dilihat oleh petani garam yang beraktvitas di tambak garam di pantai tersebut. Para petani garam ini kemudian pergi memberitahukan hal tersebut kepada pemimpin setempat, Pue Nggari —Magau (Raja) Palu pertama.
Antropolog berkebangsaan Finlandia, Eija-Maija Kotilainen, dalam bukunya When The Bones are Left; A Study of the Material Culture of Central Sulawesi (1992), menyebut, kedatangan Dato Karama ke lembah Palu itu pada 1606.
Jika didasarkan pada cerita rakyat tersebut, berarti aktivitas tambak garam di Teluk Palu sudah dimulai sekitar awal abad ke-17 (atau mungkin sebelumnya).
Salah seorang keturunan mubaligh asal Cikoang, Sulawesi Selatan, Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid yang bermukim di wilayah Besusu, Randi menjelaskan, aktivitas tambak garam ini dipelopori oleh orang-orang dari Gowa, Sulawesi Selatan.
Golongan Karaeng ini, kata dia, yang membuka lahan penggaraman di Teluk Palu, berdasarkan pengetahuan pengelolaan garam dari Gowa.
Pembukaan lahan penggaraman, kata dia, erat kaitannya dengan aktivitas pelabuhan rakyat di Pantai Besusu. Pelabuhan ini, kata dia, menjadi pintu gerbang para pendatang dari Sumatera, Bugis, Makassar, Arab. Sekaligus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang, yang menandai dimulainya perdagangan dengan pihak luar Palu. Termasuk ikatan dagang garam dari Sulawesi bagian selatan, yakni Kerajaan Laikang, cabang dari Kerajaan Gowa.
Sejarawan Maritim Universitas Tadulako (Untad), Wilman D Lumangino mengatakan, pelabuhan rakyat Besusu mulai beraktivitas di akhir abad ke 18 atau akhir tahun 1700–an. Namun kata dia, masyarakat di Lembah Palu belum lama memproduksi garam dalam jumlah besar dan mereka memproduksinya bukan lewat jalur korporat.
Namun ada versi lain, bahwa pembukaan aktivitas tambak garam di Teluk Palu belum lama dilakukan. Versi ini berdasarkan cerita golongan Karaeng di Besusu, bahwa komunitas Cikoang diperkirakan baru tiba pada pertengahan abad ke-19 atau sekitar tahun 1840.
Kedatangan ini dipelopori oleh beberapa orang, di antaranya Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid.
Versi ketiga, aktivitas tambak garam sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-17 di Teluk Palu. Hal itu pascamigrasi dari Sulawesi bagian selatan sebagai konsekuensi isi perjanjian Bongaya.(Bersambung)
Penulis: Jefrianto
Editor: Ika Ningtyas