bar-merah

Belajar dari Jepang soal mitigasi berbasis kearifan lokal

PALU – Sebagai salah satu negara modern, Jepang tetap membangun mitigasi bencananya berbasis kearifan lokal. Edukasi tentang mitigasi bencana di Negeri Sakura itu dilakukan berkelanjutan kepada semua elemen masyarakat.

Itu adalah pelajaran yang dipetik oleh arkeolog Kota Palu, Iksam, setelah melawat ke Jepang pada pertengahan Januari 2019. Ia diundang oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco) terkait metode penyimpanan koleksi museum yang aman bencana dan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.

Iksam menjelaskan, selama sepekan di Jepang, ia mengunjungi museum, kantor, surat kabar dan universitas di Tokyo, Pantai Sendai serta Tohoku. Tempat-tempat tersebut, kata dia, memiliki sejarah panjang kebencanaan gempa dan tsunami.

“Mereka mampu bangkit kembali dengan cepat,” kata Iksam, membagi pengalamannya kepada Kabar Sulteng Bangkit, Selasa kemarin.

Masyarakat di Jepang, kata Iksam, memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang diimplementasikan sebagai aspek-aspek mitigasi bencana. Seperti adanya cerita rakyat (folktale) yang berumur sekitar 400 tahun tentang tsunami. Cerita rakyat inilah yang menjadi ingatan kolektif masyarakat di pesisir timur Jepang.

Iksam juga belajar pemulihan pascabencana yang sangat sistematis. Pasca gempa bumi dan tsunami Tohoku 2011 di pesisir timur Jepang, wilayah-wilayah terdampak seperti Sendai serta Tohoku, mampu kembali bangkit dan pulih seperti sebelum bencana.

“Semoga ini menjadi pelecut semangat bagi masyarakat yang terdampak bencana di Palu, Sigi, Donggala, serta Parigi Moutong, untuk bersama bangkit dan pulih,” dia berharap.

Jurnalis Kompas, Ahmad Arif, dalam tulisannya berjudul Globalisasi Tsunami menyebutkan, masyarakat di Jepang telah mengenal tsunami dari periode 1600an.

Istilah tsunami sendiri muncul setelah gempa bumi 2 Desember 1611, yang mengguncang Sanriku, pantai timur Jepang, dan memicu ombak tinggi yang menewaskan ribuan warga di pesisir Sendai. Bencana ini dikisahkan dalam ‘Sumpuki’, catatan resmi pemerintah, Januari 1612.

Kisahnya dimulai dari tiadanya upeti yang biasanya rutin dikirim Daimyo Sendai, Date Masamune (1566-1636), kepada Shogun Tokugawa Ieyasu (1542-1616). Dari kawasan utara Honshu, Masamune biasanya mengirim hatsu tara, ikan kod terbaik di awal musim.

Namun, pada Januari 1612 tak ada upeti yang dipersembahkan. Masamune hanya mengirim utusan yang mengabarkan bencana yang melanda Sendai di akhir tahun itu.

Sebanyak 5.000 orang tewas di wilayah kekuasaan Masamune. Sementara di Nambu- clan, wilayah Morioka dan Tsugaru, dilaporkan 3.000 orang tewas dan hilang. Sang utusan menyebut bencana itu sebagai tsunami (yo ni tsunami to yu’u). Tsu dimaknai sebagai ’pelabuhan’ dan nami bermakna ’gelombang’.

Kemudian ada pula cerita tentang heroisme Goryo Hamaguchi di Hirogawa pasca gempa Nankai 24 Desember 1854. Hamaguchi memutuskan membakar lumbung padinya, untuk memperingati warga desanya agar menjauhi pantai yang lautnya surut pasca gempa dan segera lari ke bukit.

Apa yang dilakukan Hamaguchi ini, menyelamatkan sekitar 400 nyawa saat itu. Kisah heroik ini ditulis oleh penulis asal Yunani, Lafcadio Hearn alias Koizumi Yakumo, dengan judul A Living God, yang terbit tahun 1896.

Masyarakat jepang di masa lalu juga percaya, adanya seekor lele raksasa, yang dijuluki Nazu. Mitos hewan raksasa ini konon tinggal di bawah perut Bumi, tepat di bawah Jepang dan gerakan liar ikan berwarna hitam dan berkepala gepeng itu diyakini memicu guncangan hebat.

Diyakini, hanya Dewa Kashima yang bisa mengendalikan polahnya. Selain itu, sebagian masyarakat Jepang percaya, kemunculan ikan oar (oarfish) ke daratan, adalah pertanda gempa dan tsunami akan terjadi. Ikan Oar ini merupakan jenis ikan yang hidup di laut dalam.

Metode Penyimpanan Arsip
Selain peningkatan kapasitas terkait mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, Iksam juga mempelajari metode penyimpanan koleksi museum yang aman dan anti bencana dengan mengunjungi museum di Tokyo, Iwate, dan Miyagi.

Metode itu penting bagi Sulteng yang memiliki kerentanan tinggi dengan bencana gempa bumi. Unesco pun, kata dia, menaruh perhatian terhadap upaya rehabilitasi dan restorasi Museum Negeri Sulteng.

“Sebab setelah bencana, kami banyak kehilangan koleksi bersejarah dan arsip yang rusak,” kata dia.[]

Penulis : Jefrianto
Editor: Ika Ningttyas
Foto : Dokumentasi Iksam saat di Jepang



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com