bar-merah

Corona? . . . Ada ubi di kebun kita!

Oleh: Neno Karlina

“Suatu saat, akan kita dapati orang yang terbaik di antara kita adalah pengembala yang hidup jauh dari hiruk pikuk kehidupan dunia—rasanya waktunya tak lama lagi.”

Tak ingat persis penggalan kalimat ini muasalnya aku sadur dari mana. Hanya, tiba-tiba sepuhan penggalannya berhasil memenggal-menggal ketakutan di titik terlemah pemikiranku, dan barangkali bisa jadi solusi untuk kekuatiran para akuntan, yang mulai kewalahan menghitung kekuatan harta kekayaan Indonesia sejak sepekan terakhir. Bagaimana mendapat trik bertahan hidup menghadapi dampak ulah monster super nyebelin Covid 19. Kepiawaiannya bermutasi dan menular serupa jurus tapak bumi, memukul selintas, cepat, tepat, dan tanpa disadari berhasil membuat takjub, dengan satu kedipan.

Ekonomi mulai anjlok, nilai tukar rupiah melemah, jumlah orang sakit bertambah, krisis dan segalanya terus terangkum bersama data di ruangan kamar, yang kini terpaksa bertambah fungsi menjadi kantor untuk masa-masa sosial distancing seperti ini. Lalu hasrat menumpuk bahan baku mulai melaju lalu-lalang liar di pikiran, enggan parkir. Beberapa orang bahkan mencuri start berbondong membeli berkarton-karton mie instant untuk persiapan kepastian krisis ramalan para ekonom.

Kenyataan tentang masker langka, hand sanitizer habis, adalah bayangan jangka panjang dari tumpukan ketakutan masyarakat soal beras, tepung, minyak goreng, telur dan ketersediaan bahan makanan, yang bukan tidak mungkin juga akan sulit didapatkan pada hari-hari kedepan.

Dan kemudian pertanyaan “bagaimana”, bertubi-tubi datang menyandera otak dan hati. Sungguh jika kau ingin berbantah-bantahan tentang “bagaimana-bagaimana” itu, tak habislah 14 hari untuk menumpahkan air ludah. Tapi apa faedahnya? Keyakinan tidak didapat di Google dan hidayah tidak dijual di supermarket. Dari sudut pandang manapun hanya membuatku tertawa: lucu!

Dibangunkan oleh suara realitas itu, hati tampaknya lebih sakit dari terkena penyakit. Faktanya, kita dan virus sama-sama ingin hidup. Laksana bilang kesalahan kita ada dua. Kita tidak mau pensiun dari bekerja keras, dan kita benci kelambanan. Tapi kita ada di situasi di mana kesadaran kita akan langit biru, hidup sehat, damai, dan baik-baik saja, bisa jadi sama  dengan kesadaran yang lahir di diri seorang Italian, atau penduduk Wuhan. Apa bedanya?

Selain dipercaya lebih cepat tanggap, Cina, Korea Selatan, dan Italia semisal, adalah negara dengan berlimpah kemajuan, teknologi, pun ekonomi. Meski bergerak di lintasan siput, optimitas soal kemampuan mereka hampir bisa memastikan, bahwa mereka tidak hanya mampu menyembuhkan pasien covid-19, akan tetapi juga bisa membangun kembali kekuatan negara yang nyaris ambruk dari kekacauan.

Lantas, bagaimana Indonesia? Mau tidak mau, kita harus terima posisi sebagai negara pesakitan. Tanpa bujuk rayu termaut kuman-kuman ini pun, Indonesia terlanjur krisis karena hutang. Tak banyak waktu untuk menghindar dari dosa pinjaman terdahulu. Corona sesungguhnya hanyalah pemeran pembantu dalam mengejawantahkan judul percepatan kesemrautan, sebelum pada akhirnya tamat.

Separah itukah? Tidak kawan. Demi yang akan hilang, warisan kutuk kata busuk dan jilidan buku reka utang, biarlah hanya terampil jadi liliput kecil tersaput indera. Indah berlumut, beludru hamparan kabut, atau jerebu katarak, cukup. Cukup di situ!

Kita tak boleh lagi dibuat keriput atau mati karena hunusan ketajaman pedang ketidakberdayaan. Jamrud katulistiwa yang kita punya dengan sedikit keberanian, akan membawa kita pada sebuah kemurnian kesadaran, bahkan kita hidup di tanah yang tongkat dan kayu bisa mengakar kuat, bertumbuh meninggi jadi tanaman yang bisa memberi buah-buah untuk kita kunyah-kunyah.

Di kebun ada ubi. Di ladang ada jagung. Kalau pun tidak, maka tanamlah. Mengumpati semua kesialan situasi ini, tidak bisa serta merta membuat kita lupa kelebihan kita sebagai manusia yang ditakdirkan jadi warga Indonesia. Teristimewa yang tinggal di bentangan daratan Sulawesi Utara. Keterlaluan rasanya, jika tak bisa mengambil contoh dari pelajaran-pelajaran yang diberi oleh buyut, yang kesemuanya adalah penabur bebiji di sawah, pemanah ulung di sungai, pelayar tangguh di lautan.

Tuhan tidak menciptakan segalanya dengan sia-sia. Tentu mengembala jauh ke dalam absurditas-Nya tidaklah mudah. Tapi bukan itu yang ingin aku katakan. Maksudku adalah, mungkin kita bisa kehilangan banyak kekuatan finansial, tapi tidak dengan daya upaya. Terlalu ketakutan mengacau otak, hingga kita lupa berpikir, banyak lahan yang terparkir untuk bisa menyediakan kita makan. Kembali menepi dari hiruk pikuk dan belajar menghargai pemberian bumi. Mencintai tanah air.

Menyadari bahwa tanah air bukan hanya segenggam tanah dan sebotol air. Tapi juga sepotong hati. Kita bisa menikmati buah-buahan dan masa panen tanpa batas, kita bisa menimbun biji-bijian untuk anak cucu kita, tapi tak pernah mau menanam hati kita untuk bumi ini.

Tanamlah dan tenanglah!.

Neno Karlina – Wartawan Totabuan.news, bermukim di Kota Kotamobagu, penulis lepas dan pemilik website: adeevacalista.com

Dia bisa dihubungi melalui Instagram @neno_karlina



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com