Oleh: Stepanus Bo’do
Informasi mengenai rencana Kominfo melakukan rapid test Covid19 termasuk terhadap kalangan wartawan mendapat penentangan, termasuk dari kalangan asosiasi kewartawanan. Walaupun rencana tersebut wajib dilakukan. Pokok yang dipersoalkan adalah bahwa upaya tersebut memberi kesan mengistimewakan profesi kewartawanan.
Dalam situasi krisis, selalu akan ada profesi yang akan menjadi terdepan. Kita semua mengetahui bahwa dalam upaya penanganan pandemi Covid19 para dokter dan tenaga medis adalah yang terdepan. Oleh karena itu menjadi pihak yang paling beresiko tertular. Badan dunia seperti WHO telah menghimbau agar sumber daya yang dimiliki, termasuk APD diprioritaskan untuk mereka.
Menghadapi ancaman pandemi Covid19, kita memang butuh upaya-upaya medis. Tetapi tidak kalah pentingnya peran media melalui penyampaian informasi yang akurat dan tepat oleh para jurnalis kita dari garis depan.
Jadi penanganan Covid19 tidak hanya melibatkan tenaga medis di garis depan, juga peran para jurnalis menggali dan memberikan konteks pada informasi. Peran ini kadang menuntut jurnalis terjun ke lapangan. Mereka juga berada di garis depan dalam sirkulasi informasi mengenai Covid19.
Meski demikian dalam pelayanan yang terkait Covid19 hendaknya tidak dilakukan berdasarkan privilege tertentu. Sekalipun hal itu wajib dilakukan, sebaiknya upaya rapid test untuk wartawan jangan terkesan mengistimewakan kalangan tertentu.
Jalan keluarnya ada. Pertama, sebaiknya kita mengacu saja pada Protokol Keamanan Liputan dan Pemberitaan Covid yang dikeluarkan oleh AJI, Jurnalis Krisis dan Bencana serta Komite Keselamatan Jurnalis. Bahwa media tempat mereka bekerja memang diwajibkan untuk melakukan tes bagi wartawan yang berusia di atas 50 tahun dan atau memiliki riwayat kesehatan sebagai salah satu protokol dalam peliputan 19. Media juga wajib menyediakan alat pelindung diri, APD sesuai standar WHO bagi jurnalis yang mendapat tugas peliputan.
Kedua, mengurangi interaksi wartawan dengan korban atau keluarganya. Misalnya dengan melakukan wawancara daring. Metode jurnalisme data dapat sangat membantu dalam situasi ini. Data driven journalism, (jurnalisme berdasarkan data) memperoleh momentumnya di tengah pandemi Covid19.
Protokol asosiasi jurnalis tersebut bahkan secara spesifik menyarankan agar hasil liputan hendaknya lebih banyak disajikan dalam bentuk grafik atau jurnalisme data. Dengan demikian peliputan akan lebih fokus untuk memberikan informasi data yang akan sangat berguna untuk publik mengambil keputusan. Sehingga keputusan yang diambil bukan didasarkan atas asumsi atau informasi sesat, hoax. Jurnalisme data dapat mengembalikan kepercayaan publik pada media.
Sudah terbukti bahwa data, khususnya algoritma big data menjadi sangat berharga dalam penanganan pandemi Covid19. Teknologi algoritma big data sangat membantu Pemerintah China memulihkan kota Wuhan, asal munculnya Covid19. Caranya mewajibkan semua warga memasang aplikasi di perangkat HP. Mereka wajib melaporkan kondisinya melalui aplikasi tersebut, data itu diolah oleh algoritma komputer yang kemudian menjadi panduan petugas menangani pandemik. Meski penggunaan big data seperti itu dikuatirkan disalahgunakan dan berpotensi melahirkan rejim pengawasan.
Para pengamat dan beberapa peneliti telah mengajukan kritik bahwa para pejabat kita banyak melakukan blunder dalam komunikasi krisis Covid19. Hal itu diperparah kecenderungan media kita mengejar clickbite, jumlah kunjungan untuk mendapatkan ratings dan iklan. Hal ini terjadi di semua tahapan dalam komunikasi kritis.
Jika kita mengacu kepada Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) oleh Reynolds and Seeger ( 2005), sejak tahap awal krisis, komunikasi publik yang efektif sangat diperlukan guna memperoleh pemahaman dan kepercayaan publik pada kemampuan pemerintah melakukan upaya penanganan.
Pada tahap krisis seperti sekarang, pemerintah dibantu media massa perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar publik meyakini bahwa krisis dapat dilalui. Karena itu paparan mengenai penanggulangan keadaan darurat harus disertai koreksi terhadap rumor dan misinformasi, serta menjelaskan rencana pemulihan.
Penelitian terbaru mengenai komunikasi krisis, telah merekomendasikan agar pemerintah menyadari bahwa komunikasi lebih dari sekadar menyampaikan keterangan atau pernyataan. Sirkulasi pengiriman pesan dan informasi menjadi lebih penting. Lebih jauh, komunikasi yang efektif adalah kombinasi dari apa yang disampaikan, bagaimana menyampaikan dan tindak lanjutnya.
Para jurnalis memiliki peran krusial menerjemahkan kepada publik, informasi dari sumber-sumber yang memiliki otoritas, seperti para ahli dan sumber resmi pemerintah. Mereka dapat menjadi perpanjangan tangan masyarakat memperoleh informasi yang akuntabel. Informasi yang akurat dan akuntabel akan sangat menentukan kualitas kebijakan dan keputusan yang akan diambil.
Pada akhirnya, seperti diungkapkan penulis populer Yuval Noah Harari, bahwa Covid19 memberi kita pilihan antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan sipil. Antara isolasi nasionalis dan solidaritas global. Saya percaya jurnalisme khususnya jurnalis data yang berorientasi kepentingan publik serta pemberdayaan publik, berpotensi mengembalikan kepercayaan kita pada para ahli, otoritas dan media. Dengan cara demikian demokrasi tidak dikorupsi rejim pengawasan yang menakutkan itu.
Stepanus W Bo’do, Pemerhati covid-19. Dosen Komunikasi Fisip Universitas Tadulako Sulawesi Tengah, dan mendalami ilmu sosial