Masih ingat kasus Crazy Rich Medan? Indra Kenz alias Indra Kesuma, orang Medan yang digosipkan luar biasa kaya itu, dengan pengikutnya yang jutaan di media sosial, akhirnya ditahan Bareskrim Polri pada tahun lalu terkait kasus dugaan investasi bodong melalui aplikasi Binomo.
Kasus Indra hanyalah satu dari beberapa kasus yang muncul ke permukaan mengenai bagaimana seorang kriminal melalui media sosial berhasil menjerat korban yang terpukau oleh gaya hidupnya yang terkesan mewah, kata Anthony Leong, seorang pakar pemasaran digital yang kini menjabat sebagai Ketua HIPMI Digital Academy – sebuah prakarsa yang dikembangkan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) untuk melatih para wirausahawan agar melek digital.
Anthony menuturkan dengan memamerkan pendapatan dan kekayaannya, Indra berhasil menjadi terkenal di media sosial dan menarik banyak orang untuk menjadi pengikutnya dan membujuk mereka untuk terjun dalam bisnis bodongnya.
“Binomo itu bukan aplikasi bodong. Aplikasi itu beneran ada. Aplikasi itu diciptakan untuk berjudi karena di sana tidak ada fundamentalnya. Tidak ada asetnya. Kalau beli saham kan jelas ada asetnya, ada yang diperdagangkan. Kalau Binomo hanya sebatas robot yang diciptakan untuk memanipulasi masyarakat. (Mereka) seakan-akan membeli saham atau membeli aset. Aplikasi itu diciptakan untuk mengelabui,” ujar Anthony.
Rhenald Kasali, pendiri Rumah Perubahan, organisasi pemerhati masalah sosial, juga meyakini, sesungguhnya ada banyak kasus lain serupa dengan Crazy Rich Medan, meskipun mungkin skalanya lebih kecil. Namun, katanya, karena para korbannya memilih tutup mulut, dan umumnya karena malu, kasus-kasus itu seolah terkubur.
“Biasanya ini tidak terungkap karena orang-orang ini umumnya merasa malu telah tertipu. Karena itu memukul harga diri mereka. Di Indonesia, kalau kita buka-buka Tik Tok, buka-buka Instagram, sebenarnya banyak cerita seperti itu,” tutur Rhenald.
Guru besar ilmu manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), ini mengatakan, bahaya yang dihadapi orang yang terekspos pada flexing sebetulnya cukup sering digambarkan dalam film-film yang didasarkan pada kisah nyata. Dua di antaranya dirilis di layanan streaming Netflix, drama seri Inventing Anna dan dokumenter The Tinder Swindler.
Yang pertama mengisahkan bagaimana seorang perempuan bernama Anna Sorokin berhasil memanfaatkan media sosial untuk melejitkan namanya seolah seorang sosialita sehingga bisa mencuri hati dan uang orang-orang kaya New York. Sementara yang kedua mengenai pengakuan sekelompok perempuan yang menjadi korban penipuan berbasis aplikasi kencan Tinder yang bergabung bersama dalam upaya memburu penipu mereka dan mendapatkan kembali jutaan dolar yang dicuri dari mereka.
Namun, katanya, masih saja ada banyak orang yang tertipu. Ia mengatakan, menjadi kaya adalah impian banyak orang. Namun, bukan berarti kekayaan itu bisa dengan mudah diraih tanpa perjuangan keras.
”Saya kira mimpi menjadi kaya tidak dilarang, tetapi kita perlu mengajarkan pada masyarakat bahwa tidak ada jalan pintas untuk mencapai kesejahteraan, dan menjadi kaya itu ada konsekuensinya. Tidak semua orang bisa menjadi kaya. Kalau kaya itu kita harus bayar pajak, kita harus menjaga diri, dan kaya itu didapat dari suatu kerja keras,” papar Rhenald.
Rhenald mengatakan, banyak orang memanfaatkan flexing sebagai cara mudah untuk mewujudkan hidup mewah. Tidak sedikit perempuan atau laki-laki yang berusaha mencoba mencari sugar daddy atau sugar mom. Yang satu ini, tak jarang melibatkan keunggulan fisik. Mereka memamerkan kekayaan, dan kecantikan atau ketampanan, sehingga seakan-akan statusnya bisa dianggap setara dengan korban. Padahal di belakang hari, mereka akan berusaha memoroti kekayaan korban dengan berbagai cara
“Mereka ingin dipandang sebagai orang yang sukses yang akan menjadi pasangan masa depan. Dan itulah flexing dilakukan untuk menipu orang lain,” kata Rhenald.
Ia sendiri mengatakan ada banyak cara orang terlihat seolah kaya. Di sejumlah kota besar, katanya, ada kelompok-kelompok arisan yang patungan membeli barang-barang mewah. Barang-barang mewah itu seperti perhiasan, sepatu dan tas bermerek, digunakan secara bergilir dan dipamerkan di media sosial.
Rhenald mengatakan, orang kaya yang sesungguhnya tidak berperilaku seperti itu. “Pepatah mengatakan wealth whispers, poverty screams. Jadi orang yang berteriak-teriak atau pamer itu sebetulnya miskin, sementara orang yang kaya betulan tidak berani pamer,” ujarnya.
Rhenald juga mengingatkan tak sedikit orang-orang yang terlihat kaya di media sosial sebetulnya menyimpan kekayaan titipan, atau sebagai agen pencucian uang (money laundering). Mereka, misalnya, memamerkan mobil mewah, atau jet pribadi, yang sebetulnya milik pejabat yang tidak ingin kekayaannya dilacak PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
“Apakah aparat hukum tidak mengetahui itu? Bisa terjadi karena ada aparat hukum yang terlibat di dalamnya. Ada oknum aparat hukum yang menyimpan uang dengan cara demikian,” kata Rhenald.
Rhenald juga mengingatkan agar orang-orang bersikap waspada ketika tiba-tiba muncul orang kaya baru dengan tidak banyak latar belakang terungkap mengenai perjuangannya meraih kekayaan itu.
Menurut Anthony, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai sehingga seseorang tidak menjadi korban flexing.
Pertama, jangan pernah percaya pada orang hanya karena penampilannya. Apalagi bila orang itu gemar flexing di media sosial.
“Perlu konsep berpikir di mana masyarakat jangan terbuai oleh hedonisme atau apa yang dipertontonkan di media sosial. Jangan kita melihat luarnya saja, jangan terbuai oleh apa yang disajikan mereka,” kata Anthony.
Kedua, jangan pernah mengatakan “ya” untuk permintaan apa pun yang terkait dengan masalah keuangan, seperti mentransfer sejumlah uang, atau memberikan akses ke rekening bank, kartu kredit, dan data pribadi, kepada siapa pun.
Ketiga, jangan pernah tergiur dengan impian ingin cepat kaya lewat cara instan.
Keempat, jangan pernah mempercayai informasi atau bisnis tanpa memeriksa legalitasnya terlebih dahulu.
Kelima, dan ini paling penting, hanya berinvestasi di platform yang aman, sah, dan sudah terbukti menguntungkan meski tidak besar.
“Kalau ada bisnis yang memberikan keuntungan tidak wajar, sudah pasti itu scam (penipuan, red). Kalau kota beli saham, atau aset lain, dalam satu tahun keuntungannya paling maksimum 10%. Kalau lebih dari itu bisa dibilang kurang wajar lah. Kecuali kita bisnis sendiri, misalnya dagang, bisa untung hingga 20%, wajarlah,” kata Anthony.
Terlepas dari kontroversinya, flexing kekayaan tak jarang merugikan pelakunya. Kasus istri pegawai Freeport yang ramai dibicarakan pada tahun lalu bisa menjadi contohnya. Perempuan itu memamerkan rumah dan mobil-mobilnya di Tik Tok. Yang ia tidak tahu, kekayaan itu diperoleh suaminya dengan cara menggelapkan emas dari perusahaan tambang raksasa itu. Suaminya merupakan salah satu dari lima anggota sindikat pencurian emas di Mimika, Papua. Harta perempuan itu disita dan suaminya masuk penjara. [ab/uh]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia