ZONAUTARA.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (21/3/2023). Tujuh fraksi yang setuju dengan pengesahan Perppu Cipta Kerja yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PPP, PKB, PAN dan Partai NasDem. Sedangkan dua fraksi lainnya menolak yaitu Demokrat dan PKS.
Pengesahan ini dilakukan di tengah gelombang protes dari masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Sebab, Perppu Cipta kerja tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada November 2021.
Dalam putusan, majelis hakim MK menyebut, UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dengan keputusan ini, pemerintah tidak bisa mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. MK juga memberikan kesempatan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU selambat-lambatnya dua tahun.
Ironinya sikap DPR dan pemerintah tidak berubah ketika mengesahkan omnibus law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. DPR dan pemerintah kembali mengulangi kesalahan yang sama dalam proses legislasi ini yaitu tidak memberikan ruang partisipasi publik secara bermakna. Padahal asas pembentukan peraturan perundang-undangan agar tidak serampangan dan tergesa-gesa, serta memperhatikan betul-betul partisipasi masyarakat juga disinggung dalam putusan MK.
Undang-Undang Cipta Kerja ini juga memiliki dampak yang besar bagi semua pekerja di Tanah Air, tidak terkecuali pekerja media. Sejumlah ketentuan di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja yang disahkan ini yang merugikan pekerja. Antara lain ketentuan soal pesangon, alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja dan cuti bersama.
AJI Indonesia juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Draf Perppu Cipta Kerja sebelum disahkan Undang-Undang membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
Peraturan ini juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
Atas dasar ini, AJI Indonesia menyampaikan sikap:
- Mengutuk DPR RI dan pemerintah yang telah mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pembuatan undang-undang ini telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi negara Republik Indonesia. DPR sebagai wakil masyarakat hanya menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi.
- Mendesak DPR dan pemerintah untuk kembali kepada konstitusi RI dengan membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang inkonstitusional dan merugikan pekerja di Indonesia, tidak terkecuali pekerja media.
- Menyerukan komunitas pers untuk membongkar berbagai pelanggaran yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 3 Undang-Undang Pers menjelaskan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi dan kontrol sosial. Karena itu, sudah sepatutnya fungsi kontrol sosial ini diterapkan dalam pemberitaan-pemberitaan tentang Undang-Undang Cipta Kerja.