bar-merah

Mengapa ada perbedaan dalam penentuan awal puasa dan Lebaran?

mana yang benar
Ilustras menara masjid. (Foto: Zonautara.com/Ronny A. Buol)
Oleh: Hadza Min Fadhli Robby, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan setiap tahunnya hampir jadi perbincangan masyarakat Indonesia. Ramadan adalah bulan kesembilan dalam sistem penanggalan Hijriah (penanggalan Islam berdasarkan peredaran bulan terhadap Bumi).

Bagi umat Islam, penentuan awal bulan Ramadan dan bulan Syawal cukup krusial. Sebab, hukum Islam mewajibkan ibadah puasa sejak 1 Ramadan (hari pertama puasa). Islam pun mengharamkan Muslim berpuasa pada 1 Syawal.

Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Islam setelah bulan suci Ramadhan. Hari pertama di bulan Syawal inilah yang kita rayakan sebagai Hari Raya Idulfitri.

Penentuan tanggal hari raya yang tepat dan akurat menjadi penting untuk memastikan ibadah sesuai dengan waktunya.

Selama ini, sebagian besar umat Muslim merujuk pada penentuan awal dan akhir Ramadan dari dua sumber mainstream, yakni pemerintah – yang diikuti oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) – dan organisasi Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Keduanya hampir selalu menetapkan tanggal awal dan akhir Ramadan yang berbeda karena memiliki metode penentuan yang tidak sama.

Perbedaan metode: apa dan bagaimana

Secara umum, ada dua metode utama dalam menentukan hari raya Islam dan penanggalan Islam.

Metode pertama adalah metode Rukyatul Hilal atau singkatnya disebut Rukyat (penglihatan).

Dalam metode Rukyat, awal dan akhir bulan ditentukan pada penglihatan yang jelas terhadap bulan baru.

Metode Rukyat sudah diadopsi oleh pemuka Islam sejak awal mula peradaban Islam. Sebab, kemunculan bulan baru merupakan peristiwa alami dan dapat diamati secara langsung.

Beberapa hadis Nabi juga secara jelas mengarahkan umat untuk melakukan Rukyat. Misalnya: “berpuasalah ketika kamu melihat bulan baru (Ramadan), dan berbukalah/akhirilah bulan puasa ketika kamu melihat bulan baru (Syawal)”.

Landasan hadis ini diadopsi secara umum oleh banyak pemerintahan negara dengan penduduk mayoritas Muslim hingga hari ini.

Metode Rukyat dianggap lebih kuat bagi penganutnya karena bulan baru bisa dilihat dengan jelas dan sudah menjadi tradisi sejak era Nabi Muhammad. Ditambah adanya peralatan astronomi yang canggih saat ini, aktivitas Rukyat dapat berjalan dengan lebih baik.

Metode kedua adalah metode hisab atau metode penghitungan. Dalam metode hisab, awal dan akhir bulan ditentukan pada penghitungan hari kalender Hijriah berdasarkan pada kalkulasi matematis dan astronomis.

Metode hisab biasanya dilakukan oleh para ahli falak. Mereka adalah pakar yang mendalami peredaran benda-benda angkasa yang dapat digunakan untuk menghitung penanggalan dan siklus astronomis seperti gerhana.

Secara global, ada beberapa institusi Islam yang menganut metode Hisab, salah satunya adalah Ummul Qura, salah satu universitas Islam terkemuka di Arab Saudi.

Di Indonesia, metode Hisab diterapkan oleh Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengusung upaya tajdid (pembaruan) hukum Islam. Muhammadiyah menggunakan metode yang disebut Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang artinya penghitungan kalender berdasarkan posisi astronomis bulan tanpa harus dikonfirmasi melalui penampakan fisik secara langsung.

Bagi Muhammadiyah, ada dua alasan mengapa penggunaan metode Hisab ini penting.

Pertama, Muhammadiyah memandang metode hisab sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim saat ini, yaitu yang telah terdidik dengan baik dalam ilmu astronomi, matematika dan fisika.

Pada zaman Nabi Muhammad (abad ke-7 Masehi), masyarakat Muslim belum memahami cara menghitung dengan baik, sehingga Nabi Muhammad memberikan arahan agar awal bulan ditentukan dengan penglihatan bulan sabit langsung dengan mata telanjang. Dalam konteks sejarah, ketidakmampuan masyarakat Muslim dalam ilmu matematika dan astronomi ini menjadi ‘illat (alasan hukum) dalam dianjurkannya metode Rukyat ketimbang Hisab.

Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, alasan tersebut menjadi semakin tidak relevan. Ini membuat Muhammadiyah mengadopsi metode hisab yang lebih saintifik.

Kedua, Muhammadiyah menganggap metode Hisab memiliki kepastian dan akurasi yang lebih besar.

Metode Rukyat, menurut Muhammadiyah, hanya akan memberikan konfirmasi penanggalan untuk satu hari. Sementara, Hisab mengonfirmasi penanggalan untuk rentang waktu yang lebih panjang, sehingga dapat digunakan terus-menerus.

Metode hisab juga dianggap memiliki basis hukum Islam yang jelas.

Sementara itu, pemerintah Indonesia saat ini mengadopsi metode yang mempertemukan perbedaan antara metode Hisab dan Rukyat. Metode ini disebut Hisab Imkanur Rukyat.

Metode tersebut menekankan pada penggunaan tarikh Hijriah, tapi awal bulan tetap harus dikonfirmasi dengan penglihatan bulan baru secara langsung dengan mata telanjang. Hisab Imkanur Rukyat juga dianggap lebih akurat karena mempertimbangkan faktor atmosfer dan sensitivitas mata dalam observasi bulan baru.

Metode ini sudah diadopsi oleh pemerintah Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di Indonesia, metode ini menjadi standar yang diterapkan oleh pemerintah, dan diikuti oleh sebagian besar organisasi Muslim di Indonesia, termasuk NU.

Untuk menentukan awal bulan, ada ketinggian tertentu yang harus dicapai bulan. Dalam kriteria MABIMS (pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia dan Malaysia), ketinggian tersebut ditentukan sebesar minimal 3 derajat. Hasil observasi imkanur rukyat kemudian didiskusikan dalam sidang penentuan yang dikenal dengan istilah Sidang Isbat oleh Kementerian Agama.

Penentuan derajat ini ditentukan oleh pendapat para ahli ilmu falak, sesuai dengan pemahaman fikih (ilmu tentang hukum Islam) dan astronomi yang mereka miliki. Ketika hilal tidak dapat dilihat karena berbagai faktor, maka sidang dapat menerapkan istikmal atau penggenapan bulan menjadi 30 hari.

Bisakah mencari jalan tengah?

Dalam salah satu tulisannya, ahli hukum Islam terkemuka di Indonesia, Afifuddin Muhajir, mengutip pendapat dari pakar hukum Islam klasik yakni Taqiyuddin as-Subki. Dia menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk mencari jalan tengah (al-manhaj al-wasathi) antara pengadopsi metode Hisab dan Rukyat.

Jalan tengah yang dapat ditempuh adalah pemerintah mengakomodasi ide Hisab dengan mempertimbangkan posisi ilmu astronomi yang bisa divalidasi secara saintifik dan matematis ketimbang metode Rukyat.

Ketika mencapai derajat kepastian yang lebih tinggi, Hisab bisa menggeser Rukyat sebagai metode yang valid.

Di beberapa negara mayoritas Muslim lain, seperti Turki, pemerintahnya melakukan penyatuan kalender Hijriah. Dalam beberapa tahun belakangan, Turki mengadakan Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Hijriah sebagai upaya mengembangkan metode Hisab yang universal dan bisa diterima oleh otoritas Muslim sedunia.

Terlepas dari segala macam ketidaksepakatan, ada satu kaidah hukum Islam yang perlu diingat umat Muslim sedunia dalam perbedaan kalender Hijriah, yakni “la yunkaru mukhtalaf fihi, wa innama yunkarul mujma’ ‘alaihi ” .

Dalam hal Hisab dan Rukyat, kaidah tersebut bermakna bahwa perbedaan itu niscaya sehingga tidak boleh diingkari sampai muncul kesepakatan yang bisa diterima oleh otoritas Muslim sedunia.


Zuliyan M. Rizky dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.The Conversation

Hadza Min Fadhli Robby, Assistant professor, Department of International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com