Ketika matahari terbit pada Jumat (20/10) dan panasnya musim gugur membakar puing-puing busuk di jalan-jalan Gaza, Mohammed Elian muncul dari dalam tenda barunya.
Dia – dan ratusan warga Palestina lainnya yang terlantar akibat perang Israel dan Hamas – menyesaki tenda-tenda kumuh di Gaza selatan, sebuah gambaran yang mengingatkan kembali kenangan akan trauma terbesar mereka.
Pekan lalu setelah militer Israel memerintahkan keluarga Elian, bersama dengan lebih dari 1 juta warga Palestina lainnya, untuk mengungsi ke utara. Namun, desainer grafis berusia 35 tahun yang berpakaian rapi dari Kota Gaza ini tiba-tiba menjadi tunawisma di Kota Khan Younis. Untungnya, dia masih memiliki sedikit kenyamanan meski hanya memiliki alas tidur kasur tipis, pengisi daya ponsel tenaga surya, serta pakaian dan peralatan masak yang dapat dia bawa di mobil temannya.
Karena tidak punya tempat lain untuk pergi, Elian, istrinya, dan empat anak mereka tiba di perkemahan tenda yang menjalar lebih luas dan muncul pekan ini karena tempat penampungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) penuh sesak di Gaza, di mana sebagian besar penduduknya adalah pengungsi dari perang 1948 yang berhubungan dengan pembentukan Israel.
“Kami telah meninggalkan segalanya, dan kami bahkan tidak aman,” kata Elian dari rumah sakit terdekat tempat dia mencari air untuk dibawa kembali kepada anak-anaknya, yang berusia 4-10 tahun. Deru serangan udara di kejauhan terdengar melalui telepon.
Puluhan warga Palestina telah kehilangan atau meninggalkan rumah mereka selama pengeboman intensif Israel yang dipicu oleh serangan berdarah lintas batas oleh militan Hamas hampir dua minggu lalu. Pembangunan kota tenda secara dadakan di Khan Younis untuk membantu melindungi mereka telah menimbulkan kemarahan, ketidakpercayaan dan kesedihan di seluruh dunia Arab.
Barisan tenda putih berdiri berjejer di atas lapangan parkir yang berdebu. Anak-anak tampak duduk di bawah naungan, memainkan batu dengan malas-masalan. Para pria terlihat saling potong rambut. Para tetangga yang baru saling mengenal juga tampak menunggu di luar untuk menerima hidangan berupa beberapa bongkah roti dan kaleng tuna atau kacang, bantuan dari PBB.
“Potret tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh dunia Arab,” kata Daoud Kuttab, seorang jurnalis Palestina di Yordania.
Pemandangan warga Palestina yang terburu-buru mendirikan tenda PBB mengingatkan kita pada insiden eksodus massal yang disebut sebagai Nakba, atau “bencana” oleh warga Palestina. Pada bulan-bulan sebelum dan selama perang 1948, diperkirakan 700.000 warga Palestina melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang menjadi wilayah Israel. Banyak yang berharap dapat kembali ketika perang berakhir.
Tujuh puluh lima tahun kemudian, tenda-tenda sementara yang tersebar di Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara Arab tetangga pada akhirnya menjadi rumah permanen yang dibuat dari batako.
“(Peristiawa) 1948 langsung terlintas dalam pikiran ketika warga Palestina di Gaza diminta untuk mengungsi. Hal itu otomatis terlintas dalam pikiran ketika Anda melihat gambar-gambar (tenda) tersebut,” kata Rashid Khalidi, seorang profesor studi Arab di Universitas Columbia. “Para penulis Palestina telah menanamkan hal ini ke dalam kesadaran Arab.”
Badan pengungsi Palestina PBB mengatakan kamp tersebut hanya untuk sementara. Badan tersebut mendistribusikan tenda dan selimut kepada puluhan keluarga pengungsi di Khan Younis yang tidak dapat menampung fasilitas PBB lainnya “untuk melindungi mereka dari hujan dan memberikan martabat serta privasi.” Gaza sudah menjadi rumah bagi delapan kamp permanen, yang selama bertahun-tahun berubah menjadi lingkungan perkotaan yang kumuh dan padat.
Namun kecemasan terhadap munculnya tenda-tenda hunian di Khan Younis dan peringatan evakuasi Israel semakin meningkat di kawasan itu sehingga makin memicu protes besar-besaran dan kemarahan yang melonjak di ibu kota Timur Tengah sehubungan dengan perang di Gaza yang dimulai pada 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangan yang menewaskan 1.400 warga Israel. Sejak itu, pengeboman balasan Israel merenggut lebih dari 4.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas. Banyak korban yang tewas adalah kaum perempuan dan anak-anak.
“Hal itu sangat mengkhawatirkan bagi pemerintah Yordania,” kata Kuttab, seorang jurnalis, tentang gelombang pengungsi Palestina. “Mereka bahkan tidak ingin melihat sedikit pun gagasan ini.”
Protes di Kerajaan Yordania yang biasanya damai, rumah bagi banyak warga keturunan pengungsi Palestina, mengguncang ibu kota, menarik ribuan demonstran untuk turun ke jalan dengan intensitas yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun.
Elian begitu stres memikirkan di mana harus tidur dan mendapatkan makanan sehingga dia mengatakan tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan simbolisme tersebut. Dia dan keluarganya mencoba berlindung di salah satu sekolah PBB yang ramai. Namun kondisinya “mengerikan,” katanya. Pasalnya tidak ada tempat untuk tidur, tidak ada tempat privasi. Dan di tempat ia tinggal sekarang, setidaknya bisa menutup pintu tendanya.
“Kami hidup dari satu momen ke momen berikutnya,” katanya. “Kami mencoba untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya – bagaimana atau kapan kami akan pulang.” [ah/ft]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia