Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan terbang ke China, Sabtu (4/11) untuk sebuah kunjungan penting, sebuah tanda bahwa hubungan dingin telah mencair dengan raksasa perdagangan dan saingan strategis tersebut.
Kunjungannya selama empat hari ke Beijing dan Shanghai itu adalah kunjungan pertama yang dilakukan pemimpin Australia dalam tujuh tahun terakhir dan secara luas dipandang sebagai pengakuan bahwa hubungan kedua negara berada pada kondisi yang lebih baik setelah krisis diplomatik yang mengakibatkan kerugian perdagangan bernilai miliaran dolar.
Sejak pemilihan umum pada bulan Mei tahun lalu, pemerintahan Albanese telah menerapkan strategi jalur ganda dengan China – mengupayakan hubungan yang lebih bersahabat dengan mitra dagang terbesar itu sambil melawan pengaruh Beijing yang semakin besar di Pasifik.
Tiga tahun lalu, China dan Australia berselisih.
China menerapkan tarif hukuman terhadap sejumlah komoditas Australia pada tahun 2020, karena marah oleh pemerintahan konservatif Australia sebelumnya yang melarang raksasa teknologi Huawei melakukan kontrak 5G dan seruannya untuk melakukan penyelidikan terhadap asal-usul COVID-19.
Namun dengan adanya perubahan kebijakan di bawah pemerintahan baru Australia, sebagian besar hambatan tersebut telah dihilangkan.
“Hubungan China-Australia kini berada pada titik kritis untuk kembali membaik,” tulis Duta Besar China untuk Australia Xiao Qian dalam sebuah opini menjelang perjalanan empat hari tersebut.
Duta Besar itu memuji kembalinya ekspor batu bara, kayu, dan jelai Australia ke pasar China melalui “usaha tanpa henti dari kedua belah pihak”.
China telah memberi isyarat bahwa mereka juga akan menghapuskan hambatan tarif yang dikenakan pada anggur, salah satu dari sedikit produk yang masih diblokir, setelah peninjauan selama lima bulan.
Meskipun hubungan diplomatik dan perdagangan kini lebih mudah, Albanese menegaskan bahwa kedua negara tidak selaras secara strategis.
“Kami memiliki pandangan yang jernih mengenai hal ini. Kami adalah dua negara dengan sejarah, nilai-nilai dan sistem politik yang sangat berbeda,” katanya saat berkunjung ke Washington bulan lalu.
Perdana Menteri itu memperingatkan bahwa China tidak memandang dirinya sendiri sebagai kekuatan yang mendukung “status quo”. “Mereka mencari kawasan-kawasan yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai dan kepentingan mereka,” katanya. (ab/uh)
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia