Suatu sore pada Oktober kemarin, shelter Yayasan Kebaya di Yogyakarta kedatangan seorang transpuan asal Medan, Sumatra Utara, dalam kondisi sempoyongan. Hanya beberapa jam kemudian, transpuan yang bekerja sebagai pengamen itu meninggal dunia. Seolah-olah dia tahu, setelah petualangan mengamen di berbagai kota di Sumatra dan Jawa, transpuan ini ingin meninggal di tempat di mana jazadnya akan diurus dengan baik.
Mami Vinolia, yang juga seorang transpuan, adalah pimpinan Yayasan Kebaya. Tidak semua transpuan yang meninggal di Yayasan Kebaya adalah mereka yang dikenal oleh organisasi ini.
“Ada waria yang meninggal belum pernah ke Kebaya. Toh kemudian orang tahunya, itu anak buahnya temen-temen Kebaya. Mau tidak mau kita kukup ya, bahasa Jawanya kita kukup, kita rawat juga. Padahal kadang kenal juga tidak, enggak pernah ke Kebaya,” kata Vinolia kepada VOA.
Tidak setiap transpuan yang meninggal di Kebaya jelas asal-usulnya. Kartu identitas seperti KTP masih menjadi persoalan di berbagai daerah. Begitupun, karena transpuan umumnya terusir dari rumah sejak remaja, mereka putus hubungan dengan keluarga. Yayasan Kebaya menjadi salah satu pihak yang bisa mereka jadikan sandaran, termasuk ketika meninggal dunia.
“Ada beberapa yang masih punya keluarga, kita menemukan keluarganya, misalnya dari Medan, dari Aceh, dan sebagainya. Mereka bisa kita kontak, dan mereka bisa datang ke Yogya,” tambah Vinolia.
Bagi transpuan yang masih memiliki keluarga, Yayasan Kebaya memberi opsi pemakaman, apakah akan diurus sendiri atau diserahkan ke organisasi tersebut. Jika keluarga berserah, pihak Yayasan Kebaya akan bekerja sama dengan Dinas Sosial kota Yogyakarta, untuk mengurus hingga proses pemakaman selesai.
Yogyakarta sejak lama dikenal sebagai kota tujuan bagi komunitas transpuan untuk kehidupan, juga untuk kematian mereka. Menurut Vinolia, kota tersebut memberi ruang lebih leluasa bagi transpuan untuk mengekspresikan diri. Dalam pengurusan pemakaman, pemerintah Yogyakarta juga relatif jauh lebih memahami situasi, dengan memberikan layanan sosial yang dibutuhkan.
Ada lebih 50 transpuan yang meninggal di Yayasan Kebaya. Kadang, donasi dibutuhkan untuk membiayai proses pemakaman. Vinolia berkomitmen, tidak hanya merawat mereka yang menunggu ajal tiba hingga pemakaman, bahkan hingga merawat nisan mereka. “Kalau mau bulan puasa, kita teman-teman transpuan di Yogya ini selalu nyekar ke makam mereka,” ujarnya.
Bukan persoalan mudah untuk mengurus transpuan di hari-hari terakhirnya. Vinolia bercerita, situasi saat ini sudah jauh lebih baik, tetapi bukan berarti tidak ada masalah. Salah satu yang melegakan adalah karena di Yogyakarta, transpuan bisa menerima kartu identitas sejak sekitar 2015.
Pemerintah pusat, baru memberikan fasilitas layanan pembuatan KTP untuk transpuan pada 2021.
“Dulu bisa dititipkan sampai tiga hari di ruang jenazah, di rumah sakit,” kenang Vinolia tentang transpuan yang meninggal beberapa tahun lalu.
Bahkan, karena di masa lalu banyak transpuan tidak memiliki KTP, Vinolia mengaku kebingungan ketika harus memakamkan mereka. Masyarakat Indonesia menjalankan proses pemakaman jenazah sesuai dengan agamanya ketika hidup. Dulu, kata Vinolia, banyak transpuan meninggal tanpa kejelasan agamanya.
Dengan kepemilikan KTP, transpuan bisa memperoleh layanan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) ketika sakit. Yayasan Kebaya turut membantu transpuan dalam mengakses layanan ini. “Apalagi mereka kan orang miskin. Sehingga tidak ada kata tidak boleh, kita punya hak untuk mendapatkan semua itu,” tegas Vinolia.
Namun, bukan berarti transpuan bebas dari masalah. Tantangan besar yang belum terpecahkan adalah soal stigma.
“Dari awal mereka berada, itu kan sudah masalah sebetulnya. Tidak diterima oleh keluarga, tidak diterima oleh masyarakat, cari kerjaan susah, karena dia seorang transpuan. Sehingga mentoknya kalau tidak jadi pekerja seks, ya pengamen. Kan begitu. Persoalan ini yang kemudian selalu membebani teman-teman waria,” kata Vinolia.
Akhir dari Perjuangan Panjang
Kematian bagi transpuan, yang kadang masih menyisakan masalah dalam pemakamannya, bukan persoalan yang berdiri sendiri. Rully Mallay, yang mengelola Waria Crisis Centre di Yogyakarta sejak 2003 memahami betul kondisi ini.
Persoalan muncul, sejak seorang transpuan mencoba mengekspresikan dirinya.
“Sulit sekali untul bisa survive, sebagai seorang transpuan. Katakanlah ketika dia coming out pertama kali, jika dia tidak punya dukungan dari kawan-kawannya sendiri atau minimal komunitasnya,” tandasnya.
Mallay menambahkan, “Sejak tahun 2003 bersama komunitas ini, saya betul-betul mengalami, menyelami bersama kehidupan kawan-kawan yang hidup di jalan, tidak punya akses apapun, bekerja sebagai pengamen, ataupun pekerja seks, kalau dia muda dan cantik.”
Sebagai pribadi, Mallay menyebut persoalan bagi transpuan muncul sejak di lingkup keluarga. Sedangkan sebagai komunitas, transpuan menghadapi berbagai persoalan seiring waktu. Di era reformasi 1998 misalnya, muncul gerakan di kelompok-kelompok arus utama yang menentang eksistensi mereka. Setelah itu, pelan-pelan perubahan terjadi, begitu juga perbaikan layanan administratif yang menjadi jalan masuk berbagai perubahan layanan sosial bagi kelompok ini.
Problemnya adalah transpuan tidak pernah masuk dalam kelompok rentan, menurut kriteria yang ditetapkan pemerintah. Karena itu banyak program-program bagi kelompok rentan, tidak menyentuh transpuan.
Transpuan harus berjuang sendiri untuk memperbaiki situasi. Namun, sekali lagi, kata Mallay, kondisi tidak ideal sudah muncul sejak awal. Begitu terpisah dari keluarga, seorang transpuan kehilangan kesempatan dalam pendidikan. Akibatnya, mereka memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk berebut pekerjaan formal. Bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan informal tertentu, tetap dibutuhkan sertifikat pelatihan. Transpuan kesulitan mengakses semua itu, yang membuat mereka semakin rentan, terutama terkait kondisi mental.
Tekanan semacam inilah, yang membuat Waria Crisis Centre sejak dua puluh tahun lalu konsisten memberikan konseling kesehatan mental.
“Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan terhadap kawan-kawan yang mengalami kerentanan, kekerasan di jalan, kami awali dengan sebuah konseling mental health. Karena saya melihat betapa mereka merasakan tekanan,” kata Mallay.
Mallay juga menambahkan bahwa lembaga tersebut kini juga fokus transpuan lanjut usia yang tidak memiliki dukungan apapun.
“Tidak punya tabungan hari tua, tidak punya keluarga yang menerima. Kami fasilitasi di masa tuanya, dengan sedikit upaya, seperti membangun intervensi perubahan perilaku untuk menguatkan mental, menyiapkan diri ketika masuk masa lanjut usia yang tanpa apa-apa,” beber Mallay.
Dalam sebuah unggahan di akun media sosialnya, Rully Mallay menyebut kematian teman-teman transpuan di shelter mereka adalah kematian yang sunyi. Tidak ada pengumuman di masjid, tidak ada orang datang melayat, membacakan tahlil di rumah duka, atau memasang bendera putih di depan rumah duka, kata dia.
Penguatan Ekonomi Transpuan
Banyak pihak berupaya mengatasi persoalan laten ini dengan menawarkan solusi. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta misalnya, beberapa waktu lalu menyelenggarakan lokakarya ekonomi digital khusus bagi komunitas transpuan. Kegiatan ini melibatkan perusahaan transportasi berbasis aplikasi daring dan marketplace.
Menurut PKBI DIY, upaya ini bertujuan memperkuat skema ekonomi komunitas transpuan dan mempererat kerja sama diantara mereka.
“Harapannya, teman-teman transpuan mengenal proses bisnis melalui digital dan memanfaatkannya untuk pengembangan usaha kecil yang mereka geluti,” kata Budhi Hermanto, Direktur Eksekutif PKBI DIY.
Dari sisi sosial, perubahan juga terjadi. Organisasi keagamaan Muhammadiyah misalnya, mengenalkan apa yang disebut sebagai tafsir lebih luas Fikih Al Ma’un. Langkah ini bertujuan memberikan pemahaman yang lebih sesuai dengan fungsi sosial dan moral suci umat Islam.
Dalam salah satu keterangan di laman resminya, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas mengatakan melalui perluasan penafsiran dan penerapan, diharap dakwah pemberdayaan yang dilakukan Muhammadiyah semakin luas, berangkat dari tafsir makna yatim dan miskin.
Perluasan tersebut menjadi relevan dengan konteks masalah yang dihadapi oleh manusia sekarang. Dia mencontohkan, kelompok yang selama ini belum disentuh akan menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah di masa depan, bukan malah dijauhi.
“Termasuk kelompok waria misalnya, semoga ke depan MPM bisa mendampingi dan memberdayakan mereka,” kata Hamim.
Muhammadiyah berprinsip, berkhidmat kepada yatim dan miskin, termasuk penyandang masalah kesejahteraan lainnya, dapat dilakukan dengan empat prinsip, yaitu kemuliaan manusia, keberpihakan, keadilan, dan kebaikan nyata. [ns/em]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia