Dalam sebuah langkah balasan, Iran menjatuhkan sanksi terhadap lima perusahaan AS dan tujuh individu pada minggu lalu, menuduh mereka memicu terorisme di Timur Tengah.
Pengumuman yang sebagian besar bersifat simbolis itu merupakan pembalasan terhadap sanksi AS yang dirilis pada bulan lalu yang menargetkan industri keamanan siber dan pesawat tak berawak Iran.
AS melontarkan tuduhan serupa terhadap Iran, mengklaim bahwa Teheran mendukung kelompok-kelompok teroris di wilayah tersebut.
Kedua negara memiliki pengaruh yang signifikan di Timur Tengah dan bersekutu dengan faksi-faksi yang berlawanan dalam perang Israel-Hamas.
“Sanksi dari Iran hanya sedikit atau bahkan tidak ada pengaruhnya,” ujar Pedro Labayen Herrera, asisten peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan, kepada VOA.
Ia mengatakan sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat memiliki kendali yang jauh lebih besar atas sistem keuangan global.
“Dolar AS, mata uang cadangan internasional yang penting untuk perdagangan dan investasi global, yang membuat sanksi itu memiliki banyak kekuatan,” kata Herrera. “Sebaliknya, rial Iran memiliki nilai yang kecil di luar Iran, sehingga sanksi-sanksi yang dikeluarkan oleh Iran memiliki dampak yang bisa diabaikan.”
Meskipun sanksi-sanksi telah merugikan ekonomi Iran, para ahli memperdebatkan efektivitasnya dalam mencapai tujuan strategis AS.
“Sanksi-sanksi itu tentu saja berdampak buruk pada ekonomi Iran, mendorong inflasi dan menambah tekanan pada pemerintah melalui tekanan ekonomi maksimum, yang sejalan dengan tujuan AS,” ujar Merissa Khurma, direktur program Timur Tengah di Wilson Center, kepada VOA.
Namun beberapa analis seperti Ali Vaez, direktur Proyek Iran di International Crisis Group, berpendapat bahwa sanksi-sanksi yang diberlakukan terhadap Iran sebagian besar telah gagal mencapai tujuannya untuk menghentikan program nuklir Iran, mengakhiri dukungannya terhadap terorisme, dan memperbaiki hak asasi manusia di negara itu.
“Iran lebih agresif di kawasan, lebih represif di dalam negeri, dan lebih dekat ke ambang senjata nuklir dibandingkan sebelumnya,” kata Vaez kepada VOA.
Perubahan rezim?
Sejak berdirinya Republik Islam pada 1979, AS telah menjatuhkan banyak sanksi di bawah pemerintahan yang berganti-ganti.
“Sebelum agresi Rusia terhadap Ukraina, Iran adalah negara yang paling banyak dijatuhi sanksi oleh AS,” kata Mahdi Ghodsi, seorang dosen di Vienna Institute for International Economic Studies.
Sanksi-sanksi tersebut menargetkan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei dan siapa saja yang ditunjuk oleh Khamenei, serta “berpotensi memblokir sektor publik dan semi-publik Iran, yang menyumbang 70-80% pada PDB Iran,” kata Ghodsi kepada VOA.
Para pejabat AS di bawah pemerintahan Biden mengatakan bahwa Teheran harus mematuhi sejumlah masalah yang diuraikan dalam rezim sanksi AS sebelum Amerika mempertimbangkan untuk mencabut sanksi.
Namun, para ahli mengatakan bahwa kecil kemungkinan AS akan mencabut sanksi-sanksi terhadap Iran dalam waktu dekat.
“Sanksi kini hanya berlaku satu arah dan hanya dapat dicabut jika rezim yang ditargetkan tidak lagi ada,” kata Vaez.
Ia mengatakan bahwa upaya-upaya untuk mencapai perubahan rezim melalui sanksi-sanksi secara historis terbukti tidak efektif di tempat lain di dunia.
China diuntungkan
Meskipun ada hasil yang beragam dari sanksi-sanksi tersebut, beberapa pejabat AS berpendapat bahwa pengetatan sanksi-sanksi itu akan memberikan hasil yang diinginkan.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen bulan lalu mengatakan bahwa Washington sedang berusaha untuk mengurangi ekspor minyak Iran.
“Mungkin masih banyak lagi yang bisa kita lakukan,” kata Yellen kepada para wartawan pada bulan lalu.
Namun, sanksi-sanksi tersebut memiliki konsekuensi di luar Iran.
Sanksi-sanksi AS yang menargetkan ekspor minyak Iran mempengaruhi pasar energi global.
Tanpa disadari, sanksi-sanksi tersebut tampaknya menguntungkan negara saingan AS, China, yang membeli minyak Iran dengan diskon besar.
Pendapatan minyak Iran tetap penting bagi perekonomiannya.
Setelah kemerosotan ekspor yang disebabkan oleh pengetatan sanksi AS di bawah pemerintahan Trump, Iran telah mengalami peningkatan ekspor minyak yang signifikan, melampaui $26 miliar dalam tiga kuartal pertama tahun 2023, menurut para pejabat Iran. [my/jm]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia