SITARO, ZONAUTARA.com-Erupsi Gunungapi Ruang, di Sitaro pada Selasa, 16 April 2024 kemudian letusan susulan yang lebih dahsyat pada Selasa, 30 April 2024 tidak hanya menghancurkan dua desa di Pulau Ruang, tetapi juga membawa dampak besar bagi sejumlah desa di Tagulandang.
Salah satu yang paling parah terdampak adalah Kelurahan Balehumara, Kecamatan Tagulandang, Sitaro. Hanya berjarak sekitar satu kilometer dari Pulau Ruang, Balehumara menjadi saksi bisu kerusakan hebat yang terjadi.
Di tengah kehancuran itu, Agus Matani (51), warga Kelurahan Balehumara Pondol, mengisahkan pengalamannya saat bencana melanda. Pada erupsi kedua, Agus bersama istri, anak, mertua, dan ipar—total sepuluh orang—terpaksa mengungsi ke Kota Bitung pada 1 Mei 2024.
Mereka berdesakan di kapal milik Basarnas yang semestinya hanya berkapasitas sekitar 80 orang, namun pada hari itu mengangkut sekitar 120 orang.
“Setibanya di Bitung, kami tinggal di dua tempat berbeda, di posko Kelurahan Wangurer dan Manembo-nembo,” kenang Agus, saat ditemui tim Zonautara.com di Pasar Enam Enam Tagulandang, Sabtu, 25 Mei 2024.
Mereka tinggal di lokasi pengungsian lebih dari tiga minggu. Pemerintah setempat memastikan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan peralatan mandi cuci kakus (MCK) tercukupi.
“Setiap hari ada suplai makanan,” tambahnya.
Kembali dari pengungsian
Pada Rabu, 22 Mei 2024, Agus dan keluarganya memutuskan untuk kembali ke Tagulandang dengan menumpang KM Sabuk Nusantara dari pelabuhan Bitung. Mereka harus membayar sendiri tiket kapal yang harganya Rp38.500 per orang.
Setibanya di Balehumara, pemandangan yang menyambut mereka sungguh memilukan. Rumah Agus rusak parah, terutama di bagian atap, dapur hampir roboh, dan bentor yang menjadi sumber mata pencahariannya juga mengalami kerusakan.
“Saya harus segera membersihkan rumah dan menambal atap bentor yang bocor agar bisa segera digunakan untuk mencari nafkah. Kalau tidak, kita makan apa?” ujar Agus dengan wajah penuh kekhawatiran.
Namun, keadaan Balehumara masih sepi karena banyak warga yang belum kembali dari pengungsian.
Agus, yang baru menetap di Tagulandang sekitar delapan tahun dan berdarah Gorontalo, hanya bisa pasrah dan berharap pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap kondisi warga yang terdampak.
Rumah-rumah yang rusak memang sudah didata dan difoto oleh pemerintah, namun belum ada kejelasan mengenai bantuan selanjutnya.
“Kami berharap ada bantuan untuk perbaikan rumah,” harap Agus.
Kondisi di Balehumara pasca-kembali dari pengungsian juga menyulitkan. Bantuan makanan yang sebelumnya diterima di pengungsian, kini tidak lagi tersedia. Pemerintah menyediakan makanan di dapur umum yang berjarak sekitar lima kilometer di Apengsalah.
“Prosesnya berbelit-belit dan sulit dijangkau karena rata-rata orang di sini tidak ada kendaraan,” keluh Agus.
Di tengah kondisi yang belum stabil, Agus dan warga Balehumara lainnya berusaha untuk bertahan. Dengan harapan pada bantuan yang dijanjikan pemerintah, mereka terus berjuang untuk membangun kembali kehidupan yang porak-poranda akibat erupsi Gunungapi Ruang.