Irama lembut yang mengalir dari flute memenuhi sebuah ruangan lantai dua sempit di Tokyo yang menyimpan tong-tong berisi sake yang difermentasi.
Bakteri dalam tangki berukuran 670 liter (atau setara dengan 147 galon) akan membutuhkan waktu lebih dari dua minggu untuk mengubah kandungan beras dan air di dalamnya menjadi minuman beralkohol tradisional Jepang.
Namun bakteri-bakteri tersebut tidak hanya hidup, mereka juga mendengarkan, kata sang pembuat sake Yoshimi Terasawa, dan jenis musik yang berasal dari pengeras suara yang ditempatkan di bawah tangki menentukan bagaimana rasa minuman itu nantinya.
“Mikroorganisme di dalamnya diaktifkan oleh getaran, dan rasanya berubah,” kata kepala pembuat sake di Tokyo Port Brewing yang kini berusia 63 tahun itu.
Musik adalah salah satu teknik unik yang digunakan Terasawa di satu-satunya pabrik sake di jantung ibu kota Jepang.
Bertempat di sebuah gedung sempit berlantai empat, operasi skala kecil itu menggunakan metode yang menjanjikan untuk membantu industri tersebut melawan dampak perubahan iklim.
Pabrik tersebut menggunakan mesin yang dimodifikasi, sehingga proses produksi menjadi ergonomis serta mengonsumsi lebih sedikit energi dan tenaga kerja dibandingkan tempat pembuatan bir tradisional di udara terbuka di wilayah pedesaan.
“Membuat sake dalam skala yang lebih kecil membuatnya lebih mudah untuk menjaga lingkungan produksi tetap konstan,” kata Terasawa, veteran industri sakeyang telah menggeluti bidang tersebut selama 45 tahun.
Perusahaan itu menghasilkan sekitar 30 kiloliter sake setiap tahunnya, atau cukup untuk mengisi hampir 42.000 botol berukuran 720 mililiter.
Namun perubahan selera konsumen dan populasi lansia di Jepang telah menurunkan permintaan sake, dan pemerintah mengatakan jumlah pabrik sake telah menyusut sebanyak dua pertiga dari puncaknya yang tercatat pada tahun 1970-an menjadi sekitar di atas 1.100 pabrik saat ini, dan lebih dari setengahnya beroperasi di zona merah.
Tantangan lainnya adalah kekurangan tenaga kerja seiring dengan pensiunnya para pembuat sake, melonjaknya harga bahan bakar, dan gangguan pasokan beras akibat pemanasan global.
Terasawa mengatakan pabrik sake berskala kecil miliknya menawarkan model untuk menjawab tantangan tersebut.
Prosesnya dimulai di balkon lantai empat, di mana ia dan seorang karyawan mengukus nasi selama 70 menit.
Kemudian mereka mengandalkan gravitasi untuk menyalurkan beras melalui lubang di lantai dan langit-langit ke ruang pencetakan di lantai tiga, lalu ke tahap sebelum fermentasi di lantai kedua, dengan menggunakan air keran, dan akhirnya membotolkan sake di lantai dasar.
“Di masa depan, pabrik sake kecil seperti ini akan mempunyai manfaat yang besar,” ucap Terasawa. [rz/rs]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia