Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi kritik tajam dari kelompok-kelompok aktivis media saat melawat ke Washington, DC pekan lalu untuk menyampaikan pidato di Kongres AS dan melangsungkan pertemuan di Gedung Putih. Sebagian anggota kelompok itu mengatakan Netanyahu harus dimintai pertanggungjawaban atas kematian puluhan wartawan yang meliput perang di Gaza.
Mayoritas anggota Kongres Amerika menyambut hangat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat ia datang ke Capitol Hill Rabu lalu (24/7). Namun di luar kompleks gedung Kongres itu, ribuan orang memprotes pidato yang disampaikanya.
Kelompok aktivis kebebasan pers “Reporters Without Borders” mendukung demonstrasi tersebut. Kepala kelompok itu untuk wilayah Timur Tengah, Jonathan Dagher mengatakan, “(Kami mendukung aksi demonstrasi ini karena) sikapnya sebagai perdana menteri yang menolak mengambil langkah-langkah bermakna apapun untuk menghentikan pembantaian wartawan di Gaza dan memastikan perlindungan bagi mereka untuk bekerja di Gaza.”
“Reporters Without Borders” telah mengajukan tiga gugatan hukum ke Mahkamah Kriminal Internasional ICC atas nama para wartawan, dan mendesak penyelidikan terhadap Netanyahu dan militer Israel. Kelompok itu mengatakan gugatan hukum itu mencakup bukti bahwa militer Israel memang menyasar wartawan.
Meghnad Bose, seorang mahasiswa Universitas Columbia yang juga menjadi wartawan dan baru-baru ini meraih pujian dari komite Anugrah Pulitzer karena liputannya tentang demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus terkemuka AS, mengatakan, “Saya kira media arus utama telah mengecewakan mitra-mitranya karena tidak meliput dengan semestinya kematian dan apa yang tampaknya seperti pembunuhan sistematis wartawan-wartawan ini sejak Oktober 2023 lalu.”
Awal tahun ini Pasukan Pertahanan Israel IDF mengatakan kepada NBC News bahwa “IDF telah mengambil semua langkah yang memungkinkan secara operasional untuk memitigasi atau mengurangi bahaya terhadap warga sipil, termasuk wartawan. IDF tidak pernah, dan tidak akan pernah secara sengaja menarget wartawan.”
CPJ: Sedikitnya 111 Wartawan Tewas di Gaza Sejak 7 Oktober 2023
Komite Perlindungan Wartawan CPJ mengatakan sedikitnya 111 wartawan dan pekerja media tewas saat meliput perang Israel-Hamas di Gaza. Hal ini menjadikan konflik di Gaza ini sebagai konflik yang paling banyak menewaskan wartawan sejak CPJ memulai pencatatan hal ini pada tahun 1992.
Fotografer AFP asal Lebanon, Christina Assi, selamat dalam serangan IDF ke Gaza bulan Oktober lalu. Tetapi ia kehilangan salah satu kakinya. Christina ikut membawa obor Olimpiade menuju ke Paris pada 21 Juli lalu.
“Sungguh luar biasa dan mengharukan melihat semua orang bersorak setelah kami selamat dari serangan yang ditargetkan pada wartawan. Saya berharap apa yang kami lakukan hari ini dapat menunjukkan rasa hormat kami pada semua wartawan, serta teman-teman kami yang telah terbunuh tahun ini,” ujarnya.
Banyak wartawan yang meliput protes Netanyahu di Gedung Kongres mengatakan kepada VOA bahwa mereka tidak melupakan para wartawan yang tewas di Gaza.
Wartawan independen Chris James mengatakan, “Saya kira merupakan hal yang sangat penting bagi kita ketika wartawan bersuara lantang dan menunjukkan bahwa melakukan kerja jurnalistik bukan suatu kejahatan. Kami mengatakan hal ini dalam konflik di Rusia, di Ukraina, dan seharusnya saat terjadi konflik di Palestina.”
Mahkamah Kriminal Internasional ICC pada bulan Mei lalu telah menuntut surat penangkapan bagi Netanyahu dan menteri pertahanan Israel, serta tiga pemimpin Hamas dengan tuduhan melakukan kejahatan perang. Pejabat-pejabat Israel mengatakan kampanye mereka di Gaza tidak ditujukan terhadap warga sipil, tetapi pada kelompok militan Hamas yang menyerang Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. [em/jm]
Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat
Artikel ini terbit atas kerjasama afiliasi Zonautara.com dengan Voice of America (VOA) Indonesia