ZONAUTARA.com – Istilah pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang) telah menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, bahkan tercatat secara resmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Meski demikian, penggunaan istilah ini dalam tulisan jurnalistik atau berita kerap menuai kritik karena dinilai tidak netral dan cenderung menghakimi.
Dalam KBBI, pelakor didefinisikan sebagai “perempuan yang merebut suami orang lain,” sementara pebinor adalah “laki-laki yang merebut istri orang lain.” Namun, popularitas kedua istilah ini tidaklah seimbang.
Istilah pelakor jauh lebih sering digunakan dalam percakapan publik maupun media, sementara pebinor jarang terdengar. Ketimpangan ini mengindikasikan adanya bias gender yang mendalam, di mana perempuan sering kali dijadikan pihak yang paling disalahkan dalam konflik rumah tangga.
Sejumlah pakar bahasa dan aktivis gender menilai, penggunaan istilah seperti pelakor dan pebinor memperkuat stereotip negatif, terutama terhadap perempuan.Istilah ini membawa beban moral yang besar dan cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak utama yang bertanggung jawab atas rusaknya sebuah pernikahan, padahal situasinya sering kali jauh lebih kompleks.
Selain itu, istilah-istilah tersebut mengabaikan konteks relasi kuasa dalam hubungan. Dalam beberapa kasus, pihak ketiga yang disebut sebagai pelakor atau pebinor sebenarnya menjadi korban manipulasi atau tekanan dari pihak yang berstatus menikah.
Menggunakan istilah ini tidak hanya menyederhanakan permasalahan, tetapi juga berpotensi menyudutkan individu yang mungkin tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas situasi tersebut.
Dalam konteks jurnalistik, penggunaan istilah seperti pelakor dan pebinor juga dapat melanggar prinsip netralitas dan profesionalisme. Media diharapkan mampu menjaga keseimbangan dan tidak memihak, terutama dalam memberitakan isu-isu sensitif seperti perselingkuhan atau konflik rumah tangga.
Menggunakan istilah yang bersifat menghakimi dapat memengaruhi opini pembaca dan merusak kredibilitas media itu sendiri.
Alih-alih menggunakan istilah tersebut, ada baiknya media memilih frasa yang lebih netral seperti “pihak ketiga dalam hubungan rumah tangga” atau “hubungan di luar pernikahan.” Pilihan kata ini tidak hanya lebih profesional tetapi juga membantu menjaga perspektif yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Media memiliki tanggung jawab untuk menciptakan narasi yang tidak memperkeruh situasi. Alih-alih mencari sensasi dengan istilah yang provokatif, media seharusnya membantu pembaca memahami dinamika konflik dengan cara yang lebih konstruktif.
Meski sudah diakui oleh KBBI, istilah pelakor dan pebinor tidak selalu tepat digunakan dalam tulisan berita. Sebagai bagian dari etika jurnalistik, memilih kata-kata yang tidak memihak dan mengedepankan empati menjadi langkah penting untuk menjaga kualitas informasi yang disampaikan kepada publik.