Boltim, ZONAUTARA.com – Giat pendakian gunung Ambang yang diprakarsai Komunitas Lintas Cahaya didukung puluhan komunitas pecinta alam (KPA) dan pegiat lingkungan, sejak tanggal 9 hingga 12 Januari 2025 ini, diwarnai kritikan.
Sejumlah komunitas pecinta alam yang ikut serta dalam aksi penanaman 1000 pohon, dan bersih-bersih di gunung api aktif yang berada di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara ini, menyorot adanya tarif yang dikenakan pada mereka.
Seperti yang diutarakan Adit Ibrahim (25), salah satu pendaki dari KPA OCHETELLUS Kotamobagu ini, saat diwawancarai Zonautara.com pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Ia menuturkan, bahwa dirinya mendapatkan pemberitahuan mengenai adanya tarif sebagai syarat masuk kawasan Gunung Ambang, dua hari sebelum kegiatan.
Senada juga dikatakan Glend Lende (24), seorang pendaki dari KPA Manguni. Menurutnya, sejumlah komunitas pecinta alam dari Kotamobagu, Bolaang Mongondow serta Bolaang Mongondow Selatan.
“Seperti Manguni, Tarsius, Maleo, Biosfer serta beberapa KPA lainnya sempat diundang untuk mendapatkan pembakalan berupa materi, sekaligus diskusi batas cagar alam, hewan yang dilindungi serta informasi mengenai Gunung Ambang yang sudah masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA),” jelasnya.
Disebut Glend, dalam diskusi tersebut, BKSDA Sulut menyepakati bahwa tidak dikenakan tarif untuk KPA apalagi di dalamnya ada giat bersih-bersih kawasan Gunung Ambang.
Adanya kesepakatan yang terjadi itulah, Glend dan sejumlah komunitas dan pegiat lingkungan lainnya yang ikut dalam kegiatan tersebut mempertanyakan adanya tarif yang berlaku pada mereka.
Ia juga berpendapat bahwa, meski ada tarif yang masuk ke BKSDA Sulut sebagai sumber dana pengelolaan Gunung Ambang, tidak ada perubahan yang terjadi dalam pengelolaan TWA Gunung Ambang.
“Pembangunan pos yang tidak terawat,” tuturnya.
Ia mengaku sebelumnya sudah pernah mendaki Gunung Ambang pada 21 Desember 2024 lalu namun tidak ada penjagaan pos dan tarif untuk setiap pendaki yang naik.
Sementara itu, penjaga pos TWA Gunung Ambang, Muhammad Irgi Kastorejo (22) ketika dikonfirmasi menjelaskan, tarif pos pendakian mulai diberlakukan sejak tanggal 30 Oktober 2024.
Menurutnya, pemungutan tarif untuk karcis yang berlaku sudah sesuai dengan aturan yang ada. Adanya tarif juga karena Gunung Ambang yang terletak di Desa Bongkudai Baru, Kecamatan Mooat, Boltim, masuk pada kawasan TWA, berbeda dengan gunung lain yang masuk pada kasawan cagar alam.
Irgi mengaku bahwa dirinya sudah bertugas menjaga pos sejak awal November 2024 silam.
“Untuk tarif peserta kegiatan penghijauan dan bersih-bersih, dikumpul oleh panitia dan diberikan kepada pengelola pos, dan selanjutnya disetorkan kepada pihak BKSDA, setiap akhir bulan atau per tanggal 1 bulan berjalan,” tuturnya.
Di sisi lain, salah satu pegiat lingkungan yang enggan namanya disebutkan, kepada Zonautara.com menerangkan bahwa pengelolaan TWA Gunung Ambang yang dikelola oleh BKSDA Sulut, juga menjadi kawasan pelaku perburuan liar yang tidak banyak diketahui.
Diduga oknum pelaku tersebut merupakan warga setempat, karena sering dijumpai dan berpapasan langsung oleh beberapa pendaki termasuk dirinya.
Dengan jalur pendakian yang jarang dilintasi oleh pendaki, ada beberapa hewan seperti anoa, elang, babi rusa, serta beberapa spesies yang masuk dalam daftar hewan yang dilindungi, diburu untuk konsumsi atau diperjualbelikan di media sosial.
Selain itu, ia mengklaim bahwa kawasan tersebut tidak ada penjagaan bahkan pos juga tidak terawat, apalagi papan di pintu masuk bertuliskan ‘Gunung Ambang’ sendiri sebenarnya dibangun oleh KPA bukan BKSDA Sulut.
Ia membandingkan dengan lokasi pendakian Gunung Soputan yang dikelola oleh komunitas pecinta alam, yang tidak dikenakan tarif untuk setiap pendaki.
Pengakuan ini dibenarkan oleh Andika Kawulusan (28), anggota KPA Biosfer, yang mengaku sempat melihat beberapa perangkap babi hutan pada bulan November 2024 silam, berupa ‘dodeso’ yang ia temui di beberapa titik di kawasan TWA Gunung Ambang.
***