ZONAUTARA.com – Pemberlakuan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi langkah signifikan dalam melindungi hak warga negara atas keamanan data pribadi. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria, dalam diskusi publik bertema “Urgensi Penerapan UU Pelindungan Data Pribadi” yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Artotel Gelora Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Nezar menyampaikan bahwa serangkaian kasus kebocoran data yang terjadi belakangan ini menjadi pengingat pentingnya pelindungan data pribadi. “Pelindungan data pribadi bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan yang mendesak,” ujarnya.
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto Sipin, turut memperkuat pernyataan tersebut dengan menggarisbawahi bahwa hak atas pelindungan data pribadi telah diatur dalam konstitusi.
“Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 28G Ayat 1, menjamin hak setiap orang atas pelindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Hal ini dipertegas melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 32, yang menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan dari gangguan privasi,” paparnya.
Menurut Mugiyanto, UU PDP dirancang untuk memperkuat jaminan hukum terhadap pelindungan data pribadi sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat.

“Pemerintah harus terus mendorong pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajiban terkait data pribadi agar setiap individu memiliki kesadaran politik nasional yang baik,” tegasnya.
Diskusi ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk Antam, Bank Negara Indonesia (BNI), GoTo Indonesia, Harita Nickel, MIND ID, Astra International, dan LiuGong Indonesia. Penyelenggara berharap penerapan UU PDP dapat segera berjalan optimal untuk menjawab tantangan keamanan data di era digital.
Ketua Bidang Teknologi Informasi AMSI, Heru Tjatur Tjahja, menyoroti kemungkinan implementasi undang-undang yang justru dianggap berlawanan dengan kebebasan pers. Karenanya, kata Tjatur, implementasi tersebut harus dilandaskan pada tindakan prosedural.
“Dalam perusahaan media, 95 persen implementasinya ada pada prosedural, bagaimana teman-teman menggunakan landasan hukum yang pertama kali. Jadi, landasan itu butuh perangkat kontrol secara berbeda,” jelasnya.
Landasan berbeda ini, lanjut Tjatur, diarahkan pada kerelaan data untuk diproses dan dikelola lebih lanjut. Sebab, diperlukan persiapan standar operatif terkait.
“Landasan yang pertama, misalnya, consent choice dan kerelaan untuk data pribadi itu diproses. Kemudian, bagian berikutnya adalah menyiapkan standar operatif prosedur bagaimana data-data pribadi itu dikelola,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menyetujui bahwa langkah-langkah teknis dibutuhkan dalam implementasi UU PDP.
“Untuk memastikan perusahaan media dalam kapasitas mereka sebagai penjahit data, terutama jurnalis dan narasumbernya, perlu dibuat pemisahan dalam proses antara data yang terkait dengan editorial dan data yang tidak berkaitan dengan editorial,” ujarnya.
Pengurus Asosiasi Praktisi Perlindungan Data Pribadi Indonesia (APPDI), Ruben Sumigar, menyebutkan bahwa petugas yang berperan dalam pengurusan data pribadi sejatinya telah lama terbentuk.
“Kalau kita lihat secara normatif, sebenarnya diskusi ataupun peran tentang PDPO (Personal Data Protection Office) sudah ada jauh sebelum PDP itu sendiri,” ungkapnya.
Dirinya menambahkan bahwa segenap perangkat telah mengupayakan perlindungan data pribadi. Bahkan APPDI, katanya, telah menerbitkan keputusan yang ditetapkan dalam kerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan sejak 2023.
“Diterbitkan satu keputusan Menaker terkait dengan tugas dan fungsi pejabat pelindungan data pribadi yang menguraikan 19 kompetensi dasar,” ujarnya.