Bagian 1 dari liputan ini dapat dibaca disini: Beribu Kilometer, Setumpuk Ancaman
Siang itu di awal Agustus 2023, matahari sedang terik-teriknya saat Tim Zonautara.com menemui Arson Hulopi (57). Ia bersama tujuh orang lainnya larut menikmati alunan musik dangdut yang suaranya disetel keras di halaman rumah di ujung kampung Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Desa ini berbatasan langsung dengan Cagar Alam (CA) Panua.
CA Panua merupakan salah satu kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara (BKSDA Sulut). Kawasan ini meliputi enam kecamatan: Paguat, Marisa, Patilanggio, Taluditi, Dengilo, dan Buntulia.
Arson bercerita bahwa ia sering berpetualang ke dalam kawasan CA Panua, kadang diajak oleh peneliti yang membayar jasanya sebagai pemandu, atau bersama teman-temannya saat berburu kelelawar. Ketersediaan pakan di sekitar perbatasan dan di dalam area kawasan CA Panua menarik kelelawar untuk datang. Kondisi ini menjadi peluang bagi Arson. Beberapa tahun lalu, ia diberi tahu oleh temannya dari Paguyaman bahwa di Sulawesi Utara – yang berjarak sekitar 500 km dari kampungnya – kelelawar laku dijual.
Dulu, Arson bekerja sebagai buruh lepas pemanjat kelapa sebelum beralih menjadi pemburu. Ia belajar cara menangkap kelelawar secara otodidak dan mulai berburu sejak tahun 1993. Ia bahkan sempat memiliki anak buah hingga 20 orang untuk membantu menangkap kelelawar.
Aktivitas perburuan Arson semakin menjanjikan ketika seorang pengepul, Ko Rudi, datang ke Karya Baru untuk membeli hasil buruan mereka. Saat itu, harga kelelawar hanya sekitar Rp4 ribu per ekor, kini sudah mencapai Rp10 ribu. Dari Ko Rudi, yang berdomisili di Desa Tabulo, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo, Arson dan para pemburu di Karya Baru mendapatkan modal awal. Modal ini digunakan untuk membeli tali dan mata kail guna menjerat kelelawar. Ko Rudi juga memberikan pinjaman yang boleh dilunasi dengan hasil tangkapan kelelawar.
“Saya sempat berutang Rp10 juta, hutang itu dibayar dengan abuhu (kelelawar). Karena saya ada anak buah, Ko Rudi menambah lagi Rp5 juta. Maksudnya biar anak buah juga ada uang. Dalam semalam kami bisa dapat lebih dari seribu ekor kelelawar. Tapi tidak bisa langsung menutupi utang,” kata Arson pada Kamis, 3 Agustus 2023.
Selain dijemput pengepul seperti Ko Rudi, hasil tangkapan kelelawar juga dapat dibawa langsung oleh pengepul lainnya dari Karya Baru, seperti Eman (55). Ia akan menempuh perjalanan darat sekitar 450 km untuk mengantar kelelawar ke Tanawangko, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di sana, Eman berbisnis dengan Ko Wing. Agar tetap bertahan selama perjalanan panjang itu, Eman menyiram mamalia terbang ini dengan air dan memberi mereka buah pepaya serta air minum yang dicampur gula pasir.
“Saya pernah mengantar 8.000 ekor kelelawar ke Tanawangko, tempatnya di samping gereja, pas jalan pendakian pada Ko Wing. Kalau di sini, kelelawar hidup harganya Rp4 ribu per ekor. Di sana bisa jadi Rp7 ribu. Dulu kalau kelelawar sudah mati bisa turun harga. Tapi sekarang, mereka lebih suka kelelawar yang sudah mati, makanya kami beri es batu,” jelas Eman.

Selain Arson, pemburu lain seperti Umar (53) juga memiliki keterampilan menangani kelelawar. Ia tahu persis kapan koloni kelelawar datang dan pergi. Ia juga menguasai teknik bagaimana melumpuhkan kelelawar setelah tersangkut mata kail. Dengan keterampilan ini, dalam semalam Umar bisa menangkap 800 hingga 1.000 ekor kelelawar. Umar dan Arson selalu berburu bersama. Mereka kadang menghabiskan waktu seminggu di satu lokasi. Dua buah bambu akan didirikan, lalu dipasangi tali nilon yang penuh mata kail. Mereka mendirikannya di antara pohon-pohon.
“Saat keluar sore hari, kelelawar banyak sekali. Sekitar jam enam akan lewat gunung ke arah Marisa (ke arah CA Panua). Jam sebelas sampai dua belas malam pindah lagi,” jelas Umar sambil menunjuk lokasi gunung yang dimaksud.
Ketika koloni kelelawar melewati tali nilon, mereka akan tersangkut di mata kail. Jika dirasa sudah cukup, pemburu menurunkan bambu dan mulai mengumpulkan kelelawar. Tidak hanya kelelawar, beberapa jenis burung lainnya sering ikut tersangkut.
Pada waktu tertentu, seperti menjelang perayaan Paskah, Natal, Tahun Baru, serta Hari Pengucapan Syukur di Minahasa, permintaan kelelawar meningkat. Permintaan yang tinggi ini membuat kelompok Arson berani masuk ke dalam kawasan CA Panua, terlebih jika ada pengumpul yang datang langsung dari Manado.
“Dari Manado ada namanya Om Reiki, harga belinya lebih bagus. Per ekor dua belas ribu rupiah. Istrinya malah dua hari pernah menginap di rumah saya. Mereka sempat mengangkut dua truk kelelawar dari sini,” kata Arson.
Saat ditanya apakah Arson tidak takut dengan petugas dari CA Panua, ia berkilah asal tidak membawa senjata dan menebang pohon di kawasan, dirinya merasa tidak melanggar hukum. Menurutnya, kelelawar bukan satwa yang dilindungi. Arson mengaku ia tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. “Asal tidak memburu maleo, anoa, atau babirusa saja. Itu dilindungi,” kata Arson.
Meski sempat berhenti berburu pada 2009 karena diajak terlibat dalam Green Farming Centre, sebuah laboratorium pertanian terintegrasi ramah lingkungan yang digagas oleh Burung Indonesia, perburuan di sekitar Karya Baru tak berhenti. Pemburu lain, terutama dari Isimu, Kabupaten Gorontalo, kerap datang menangkap kelelawar di sekitar kawasan CA Panua itu.
Menurut Patmasanti, Gorontalo Program Coordinator Burung Indonesia, pihaknya telah merekrut Arson serta kelompoknya untuk mendorong keterlibatan masyarakat lokal pada Kelompok Masyarakat Pemantau Hutan (KMPH), yang hadir di enam desa di Pohuwato. Tujuannya membangun kesadaran masyarakat atas kelestarian lingkungan. Kelompok ini diberi pelatihan dasar sederhana, seperti cara menggunakan GPS, pengamatan beberapa jenis burung dan mamalia, serta mencatat temuan seperti pembukaan lahan, penebangan pohon, atau perburuan liar.
Burung Indonesia merupakan organisasi nirlaba yang salah satu kegiatannya adalah mendorong konservasi berbagai jenis burung dan habitat, seperti hutan alam. Burung Indonesia punya program di Kabupaten Pohuwato, termasuk di Karya Baru.

Wilayah yang rentan
Kelelawar adalah makhluk nokturnal yang memiliki jalur transek utama setiap tahun. Umumnya wilayah transek kelelawar yang masuk di Provinsi Gorontalo berasal dari Sulawesi Tengah, lalu terbang ke wilayah Boalemo. Dari Boalemo, mereka masuk ke Olibu di Paguyaman Pantai, kemudian terbang bercabang dua: sebagian besar ke wilayah Ponelo di Kwandang, dan sebagian lagi kembali ke arah Sulawesi Tengah. Kelelawar yang menuju Sulawesi Tengah ini merupakan koloni yang transit di wilayah Pohuwato (sekitar CA Panua). Di Pohuwato, jalur transek kelelawar kembali terbagi menjadi dua titik, di Pulau Abuhu dan sebuah pulau di dekat Sumalata, Gorontalo Utara.
Peneliti kelelawar dari Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Safriyanto Dako, S.Pt, M.Si mengatakan bahwa dari jalur transek tersebut, jejak perburuan bisa dipetakan dan memperkuat kesimpulan bahwa kelelawar di sekitar CA Panua hanyalah kelelawar yang transit mencari makanan.
“Kelelawar memiliki kemampuan penciuman buah yang sangat bagus. Dia akan pindah karena mencari makan. Karya Baru atau sekitaran Marisa memang banyak makanan,” kata Safriyanto Dako.
Dari hasil pengamatan jalur transek selama ini, terjadi penurunan populasi kelelawar yang sangat besar. Kelelawar memiliki kemampuan berkembang biak yang lambat. Biasanya, butuh waktu enam bulan menyusui sebelum kelelawar siap kawin kembali.
“Tidak seperti kebanyakan jenis ikan yang bertelur dalam jumlah banyak, walau diburu tetap tersedia. Kelelawar sifatnya menyusui, nanti anaknya sudah bisa terbang, baru dia mau kawin lagi. Perkembangan yang lambat ini kontras dengan perburuannya yang masif. Jadi kalau diburu setiap hari, lama-lama juga habis, mau itu di Ponelo, Olibu, atau di CA Panua sekalipun,” jelas Safriyanto Dako.

Secara geografis, kawasan CA Panua terletak antara 0°27’00” – 0°42’00” LU dan 121°49’00” – 121°53’00” BT. Awalnya, sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 471/Kpts-II/1992, luas Cagar Alam Panua sekitar 45.575 hektar. Namun, luas wilayah ini terus mengalami penyusutan. Sebagaimana penetapan kawasan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor SK.3073/Menhut-IV/KUH/2014 tertanggal 23 April 2014, luas CA Panua kini hanya 36.575 hektar. Kawasan ini juga dilintasi jalan trans-Sulawesi, yang membelah kawasan menjadi dua bagian.
Luas wilayah kawasan CA Panua berbanding terbalik dengan kecilnya jumlah petugas di sana, yang hanya berjumlah empat orang. Petugas di Kantor Resort hanya terdiri dari satu kepala resort, satu penangkar burung maleo, satu penangkar penyu, serta satu Masyarakat Mitra Polhut (MMP).
Didampingi Kepala Resort CA Panua, Francisco Guru Sinaga, mantan Kepala Resort CA Panua, Tatang Abdullah, kepada Zonautara.com mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mendapat laporan langsung soal perburuan di kawasan, terutama perburuan kelelawar. Namun, dari informasi petugas saat patroli, Tatang tahu bahwa perburuan kerap terjadi secara umum.
Dari batas 210 km yang ada, Tatang menjelaskan bahwa 160 km kawasan penyangga CA Panua dikelilingi wilayah garapan warga. Wilayah Karya Baru dan Taluditi adalah wilayah yang banyak ditanami buah-buahan yang menjadi sumber pakan kelelawar. Kedua desa ini adalah kawasan penyangga CA Panua.
“Ada kemungkinan seperti itu interaksi kelelawar dengan CA Panua. Kami memang dapat info jika yang diambil (diburu) itu ada mamalia, reptil, primata, juga sebagian jenis kelelawar. Jadi mereka tidak secara khusus berburu kelelawar saja atau satu jenis saja. Kalau masuk hutan, apa ditemui itu yang diambil, ya karena dilihat ada nilai jual. Info ini hanya dari hasil diskusi dengan masyarakat atau pemerintah setempat,” jelas Tatang pada 2 Agustus 2023.


Sementara itu, Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Gorontalo, Sjamsuddin Hadju, mengatakan bahwa selama ini memang tidak ada program yang fokus terhadap kelelawar di CA Panua. Selain belum dilindungi, alasannya karena BKSDA sudah mempunyai satwa-satwa prioritas.
“Bukan berarti yang lain tidak penting. Tapi karena keterbatasan banyak hal, jadi difokuskan pada satwa tertentu, seperti di CA Panua fokusnya maleo, kalau di Suaka Margasatwa Nantu fokusnya babirusa. Tapi ini tidak bermaksud mengesampingkan potensi lain. Sejatinya yang ada di dalam kawasan ini adalah bagian penting dari mata rantai yang ada di ekosistem,” ujar Sjamsuddin.
Sjamsuddin tidak menampik bahwa di sekitar kawasan-kawasan konservasi di Gorontalo, terutama CA Panua, masih ada perburuan. Khususnya di wilayah Taluditi yang merupakan wilayah paling ujung kawasan sehingga sulit terpantau. Menurutnya, tidak ada penampung atau pengepul kelelawar di sekitar CA Panua.
“Beda dengan yang di Limboto, itu ada penampungnya. Kalau di wilayah sini jarang, bahkan yang lewat melintas saja sedikit sekali yang bisa kami tindak,” aku Sjamsuddin.

Belum dilindungi
Meski belum masuk dalam daftar satwa dilindungi, tetapi beberapa spesies kelelawar telah masuk dalam Appendix II Convention on International Trade of Endangered Species (CITES). Apendiks II CITES adalah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Terdapat dua jenis kelelawar yang diperdagangkan di Pasar Tomohon ada dalam daftar Appendix II CITES, yakni Pteropus alecto (kelelawar hitam) dan Acerodon celebencis (kelawar pirang/paniki yaki).
Sebenarnya, beberapa jenis kelelawar sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Ada tiga jenis dalam lampiran peraturan itu, yakni Acerodon humilis (Codot talaud), Neopteryx frosti (codot gigi kecil ) dan Pteropus pumilus (kalong talaud). Ketiga jenis ini tidak ditemukan di perdagangkan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara.
Kepala Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Hayati, Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. John Tasirin mengatakan, terdapat 22 spesies kelelawar yang hidup di Sulawesi, dari 175 spesies kelelawar pemakan tumbuhan. John memandang banyak spesies kelelawar endemik Sulawesi yang perlu mendapat perhatian serius karena mengalami tekanan.
“Saat ini Pteropus alecto tidak masuk (daftar dilindungi). Ya begitulah, bisa lihat yang aves, jumlah yang dilindungi bisa berubah, banyak yang berkurang, berganti-ganti.”
“Meski tidak dilindungi, semestinya pengambilan satwa liar dari alam harus dibatasi dengan kuota tangkap,” ujar John, ketika ditemui pada November 2023.
Namun dari berbagai jenis satwa liar tidak dilindungi yang diperdagangkan di berbagai pasar tradisional di Sulawesi Utara, hanya ular piton yang sudah ditetapkan kuota tangkapnya.
Sementara untuk kelelawar hanya spesies Pteropus vampyrus yang pemanfaatannya dibatasi dengan kuota. Itupun hanya di Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Adapun jenis kelelawar endemik Sulawesi, seperti Acerodon celebensis dan Pteropus alecto belum masuk dalam daftar kuota.
Hasil riset yang dilakukan Sheherazade dan Susan M. Tsang, tentang kelelawar yang terbit di Jurnal Global Ecology and Conservation, 2015 (Quantifying the bat bushmeat trade in North Sulawesi, Indonesia, with suggestion for conservation action), mencatat bahwa, permintaan daging kelelawar terbesar di Indonesia datang dari Sulawesi Utara. Dampaknya dapat membuat kelelawar terancam punah secara lokal.
Secara bersamaan, permintaan pasar yang tinggi turut mengakibatkan meningkatnya perburuan di seluruh pulau Sulawesi. Apalagi hukum Indonesia masih mengizinkan perburuan dan perdagangan satwa yang tidak dilindungi, termasuk kelelawar. Perburuan juga didorong karena lemahnya penegakan hukum, terutama di tingkat lokal. (Broad et al., 2003; Shepherd, 2006).
Selama lebih dari tiga tahun terakhir, Tim Zonautara.com telah mendatangi sejumlah lokasi di Sulut yang disebut-sebut sebagai sarang koloni kelelawar. Namun fakta yang ditemui koloni kelelawar menghilang. Itulah sebabnya pengepul kini mengandalkan pasokan kelelawar dari luar Sulut, terutama dari Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan dari Sulawesi Barat.


Walau koloninya semakin menghilang, akan tetapi Kepala BKSDA Sulut, Askhari Daeng Masikki, menyebut, kelelawar masih ada di wilayah Sulawesi Utara. Hanya saja belum ada kajian soal penurunan populasi. Dan meski pengangkutan kelelawar terus berlangsung sepanjang tahun dari luar, untuk diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat Sulut, BKSDA Sulut hanya bisa melakukan pengawasan dalam bentuk patroli, dengan pola melakukan pembinaan dan pendataan.
“Karena sudah berasal dari provinsi lain dan dari luar pulau Sulawesi, bahkan dari Kalimantan, kita juga akan bekerja sama dengan teman-teman karantina kaitan dengan kesehatan satwa ini,” kata Askhari.
BKSDA Sulut sebagai lembaga yang mengelola 13 kawasan konservasi dengan luas kurang lebih 149 ribu hektar, tersebar di dua provinsi (8 di Sulut dan 5 di Gorontalo), kesulitan mendeteksi perburuan kelelawar di wilayah kerjanya. Luasnya wilayah kawasan selalu menjadi alasan utama. Selama ini pengawasan dilakukan melalui patroli jalan raya yang digelar saban akhir tahun. Saat disodorkan temuan Zonautara.com bahwa para penangkap kelelawar mengakui mengambil juga di kawasan konservasi, Askhari membantahnya.
“CA Panua terletak di Gorontalo, Pohuwato ya. Tidak ada sarang kelelawar di sana. Kelelawar itu kan biasanya di goa, jadi mana mungkin ada perburuan kelelawar (di sana),” ujar Askhari.
Askhari berjanji akan menginstruksikan petugas resort CA Panua untuk melakukan patroli rutin di spot-spot yang dilaporkan. Meski Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Gorontalo, Sjamsuddin Hadju yang membawahi CA Panua, mengakui mereka kekurangan petugas untuk mengawasi wilayah CA Panua yang luas.
“Memang agak sulit kami jangkau karena kawasan sangat luas dan jauh, ada remote area. Namun, kami didukung MMP (Masyarakat Mitra Polhut) yang direkrut di wilayah desa setempat. Saya selalu mengimbau teman-teman di lapangan untuk memantau, dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat sekitar agar membantu kita dalam mengatasi jumlah sumber daya yang kurang itu,” kata Askhari.
Oleh karena itu Askhari berharap ada dukungan penuh dari Pemerintah Daerah setempat. “Karena menjaga alam, tumbuhan serta satwa, bukan hanya tugas BKSDA tapi seluruh lapisan masyarakat,” keluh Askhari.
Askhari menyebut BKSDA terus berproses berburu dengan waktu, menyesuaikan dengan modus-modus pemburu yang cepat berubah, sehingga membutuhkan strategi yang baik. Meski begitu, Askhari enggan mengungkap apa langkah konkret yang akan dilakukan untuk mengatasi perburuan kelelawar di sekitar kawasan konservasi ini.

Terus diburu
Jauh dari Karya Baru, pengambilan kelelawar di alam juga terjadi di Pulau Mohupomba yang sekarang berganti nama menjadi Pulau Idaman. Letaknya di Tilamuta, Kabupaten Boalemo. Jaraknya lebih dari 50 kilometer dari rumah Arson dan Umar, dua orang pemburu di Karya Baru.
Karena kelelawar sering menghilang dan tidak menetap di sekitar CA Panua, Arson dan Umar kerap pula berburu ke Mohupomba. Mereka menggunakan perahu bermesin ketinting mendatangi pulau yang disesaki bakau itu. Namun kelelawar di Mopohumba tidak sebanyak di sekitar kawasan CA Panua. Hasil yang mereka peroleh pun tidak sebanding dengan ongkos perjalanan.
Jejak perburuan Arson dan Umar di Pulau Mohupomba masih ditemui Tim Zonautara.com saat menyambangi pulau ini pada Agustus 2023. Salah satu metode menangkap kelelawar yang digunakan oleh para pemburu adalah dengan memasang jerat di antara dua tiang bambu. Tujuannya menjerat kelelawar yang lewat.
Selain kelompok Arson, penangkapan kelelawar di Pulau Mohupomba juga dilakukan orang Bajo yang ada di Tilamuta. Ali Jongge (65) nelayan Tilamuta yang ditemui Tim Zonautara.com memberi kesaksian bahwa penangkapan kelelawar juga dilakukan dengan menggunakan layang-layang.
“Mereka bilang akan dijual ke orang Cina di kota (Gorontalo). Saya banyak bergaul dengan nelayan Bajo, jadi saya tahu karena saya bisa berbahasa Bajo, ” kata Ali.
Ali mengaku sering melihat pemburu datang ke Pulau Mohupomba. Waktu berburu pun tak tentu, kadang siang kadang juga malam. Para pemburu menggunakan banyak cara. Ada yang memasang layang-layang, ada yang menggunakan jaring seperti yang dilakukan Arson, serta ada pula yang menggunakan senjata angin.
Menurut warga setempat, perburuan kelelawar di pulau Mohupomba terjadi sejak kemunculan orang Manado. Ali tidak ingat persis kapan pertama kali orang Manado datang. Yang ia ingat, sewaktu berusia 25 tahun, kepalanya sering dibuat pusing oleh suara bising kelelawar dari pulau. Namun situasi kini berubah. Kelelawar mulai hilang.
Selain Ali, nelayan Tilamuta lainnya, Kona (42), mengaku pernah mengantar langsung rombongan pemburu dari Manado ke Pulau Mohupomba. Dari saudara istrinya yang pernah tinggal di Manado, Kona pertama kali dikenalkan dengan para pemburu. Kona lalu diminta mengantarkan mereka ke Pulau Mohupomba.

Namun pekerjaan itu tidak dilanjutkan Kona, karena ia tak tahan bau kelelawar. Ia juga merasa kasihan melihat koloni ini ditembaki.
“Ada enam orang, semuanya bersenjata. Mereka menembak dan saya disuruh memungut kelelawar yang jatuh. Saya diupah Rp400 ribu,” kenang Kona.
Selain pemburu dari Manado, dan tim Arson dari Karya Baru, di sekitar Tilamuta juga terdapat pemburu dari Pantai Barat Tilamuta. Di sana ada pengepul bernama Roy Gondrong yang memiliki akses langsung dengan orang-orang dari Sulut.
Dari pulau, kelelawar yang tertangkap diangkut menggunakan perahu. Kemudian dipindahkan ke dalam box berisi es. Tiba di daratan, sudah ada yang menunggu untuk dibawa ke tempat penampungan sebelum dijual kembali di pasar-pasar di Sulut.
Jauh dari jangkauan Arson dan kelompoknya, penangkapan kelelawar juga masif terjadi Ponelo, Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara dan di Desa Olibu, Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo. Kelelawar dari dua lokasi ini biasanya dijemput oleh pengepul yang berdomisili di Limboto. Namanya Ko Roni (61). Ia memasok kelelawar ke para pembeli dan transporter yang memiliki akses langsung ke pasar-pasar tradisional di Sulut.
Bersama istrinya Vince Andaria (59) Ko Roni telah melakoni bisnis sebagai pengepul kelelawar sejak tahun 1996. Saat pertama kali masuk Olibu, Ko Roni masih menggunakan perahu, belum ada jalur darat seperti sekarang. Sebelum kedatangannya, di Olibu sudah ada dua pengepul lain. Namun keduanya telah meninggal dunia. Satu seorang pendeta dan seorang lainnya keturunan China. Mereka dulu berdomisili di Kota Gorontalo.
Di Olibu, Ko Roni memiliki 4 orang pemburu dari sebelumnya 74 orang. Berkurangnya pemburu ini dikarenakan jumlah kelelawar yang semakin menurun. Kondisi yang relevan dengan hasil riset Sheherazade yang melaporkan bukti kuantitatif dan tingkat perdagangan kelelawar yang mengarah pada penurunan ukuran populasi kelelawar di alam.
Tak heran, akhir tahun 2022, koloni kelelawar di Olibu menghilang termasuk jenis Acerodon celebensis yang sebelumnya tidak pernah meninggalkan Olibu. Termasuk pula jenis Pteropus alecto. Dari pengalaman Ko Roni, kelelawar hitam (Pteropus alecto) jika keluar dari sarang di Olibu, akan kembali lagi sekitar 3 hingga 4 bulan kemudian. Ko Roni curiga, jika kini kelelawar di Olibu menghilang hingga setahun, itu karena ulah pemburu lain yang berburu dengan senjata.
“Selain warga Olibu, pemburu dari luar juga datang. Saya dengar bahkan ada dari Minahasa berburu di sana secara diam-diam. Kata warga di sana, salah satunya bernama Gigi Rope,” ucap Ko Roni saat ditemui Tim Zonuatar.com di kediamannya di Limboto.
Tim Zonautara.com yang ingin mengklarifikasi pengakuan Ko Roni, mendatangi Olibu. Jaraknya sekitar 100 km dari rumah Ko Roni di Limboto, atau berjarak sekitar 500 km dari Pasar Tomohon. Salah satu pemburu yang juga anak buah Ko Roni di Olibu, One Hadju (52), saat ditemui membenarkan ucapan Ko Roni.
Menurut One, suara tembakan senapan angin ditengarai menjadi penyebab perginya kelelawar di Olibu. One juga menuturkan keterkejutannya soal hilangnya jenis Acerodon celebensis atau yang lebih dikenal dengan sebutan kalong putih sulawesi. Dalam bahasa lokal Gorontalo jenis ini sebut abuhu lalahu (kelelawar kuning), dikarenakan meski sebagian warna tubuh didominasi putih, namun bagian dadanya berwarna kuning.


“Saya tidak biasa dan tidak berpikir akan berburu ke luar Olibu, jadi hanya berharap kelelawar bisa segera datang kembali, biar pendapatan saya bisa lebih baik dari sekarang,” keluh One, saat diwawancarai di kantor Desa. Ia didampingi Bunda (kepala desa) Olibu, Mastin A. Bouti.
Sejak menghilangnya kelelawar di Olibu, One mencoba beralih mata pencaharian. Ia mulai melaut. Sedangkan Ko Roni, hingga saat ini masih belum bisa memasok lagi kelelawar ke para transporter dari Sulut.
Ko Roni tidak bisa hanya mengandalkan pasokan kelelawar dari Ponelo, Kwandang, sebab pemburu di sana, Herman Buheli, telah mendapat akses langsung ke transporter dan juga sudah menjadi pengepul. Untuk mengganti perannya menangkap kelelawar, beberapa keluarga Herman kini menjadi pemburu. Jarak dari Ponelo ke Manado, Sulut berkisar 400 km, cenderung lebih dekat dari pada jarak tempuh dari kediaman Ko Roni di Limboto. Itulah sebabnya para transporter berbisnis langsung dengan Herman.
Ko Roni yang ditemui di kediamannya bercerita, di awal-awal bisnisnya, ia yang mengajarkan langsung cara berburu kepada warga di sekitar sarang. Ia memberikan modal, lalu membeli kelelawar hasil buruan. Harganya Rp22 ribu per kilo. Ko Roni menampung semua kelelawar di rumahnya, di Limboto.
Di Limboto, para transporter dan pembeli dari Sulut datang bertransaksi dengan Ko Roni. Setidaknya ada 6 orang yang pernah berbisnis dengan Ko Roni. Mereka adalah Mama Okter, Ina, Lilis, Ci Eny, Stien, dan seorang lagi dari Langowan. Dari mereka kelelawar dibawa dan dijual kembali, menyebar di pasar-pasar tradisional Sulut yang khusus menjual daging satwa liar.
Dikarenakan bisnis ini, Ko Roni sering didatangi petugas kehutanan yang memeriksa ada tidaknya hewan lindung yang ia kumpul. Selama puluhan tahun memasok kelelawar, Ko Roni mengaku tidak pernah sekalipun mengurus dokumen, termasuk izin angkut. Adapun modal yang ia putar untuk berbisnis kelelawar ini setidaknya Rp200 juta.
“Saya sudah ada pelanggan dari Manado dan Minahasa. Di Tolango ada Om Kaleb tepatnya di Garafia di depan gereja. Kalau di Limboto yang usaha begini hanya saya. Sementara di Tomohon saya tidak tahu siapa bosnya, hanya orang mereka saja yang datang ambil kelelawar di tempat saya. Tapi pasti penampung besar di sana (Tomohon),” kata Ko Roni.

Terus dipasok
Seingat Ko Roni, dulu di wilayah Tomohon ada penampung besar bernama Simon. Namun, sejak kematian Simon, usaha itu telah dilanjutkan oleh menantunya. Ko Roni tidak tahu nama menantunya.
Tomohon adalah sebuah kota di Provinsi Sulut yang berjarak sekitar 25 km dari kota Manado dan merupakan enklave dari Minahasa. Dahulu, Tomohon merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Minahasa. Di sini, terdapat Pasar Beriman yang menjual berbagai macam daging satwa liar yang tidak biasa, terutama bagi orang dari luar Minahasa. Di lapak-lapak terpajang kelelawar, ular, tikus hutan, kadal, babi hutan, anjing, kucing dan lainnya. Karena kegiatan jual beli daging satwa ini, Pasar Beriman Tomohon sering disebut sebagai destinasi extreme culinary.
Dijuluki sebagai pasar ekstrim, sebenarnya Pasar Beriman Tomohon bukanlah satu-satunya pasar tradisional di Sulut yang memiliki lapak khusus menjual daging satwa liar. Setidaknya ada delapan pasar tradisional kategori besar, termasuk Pasar Beriman.
Tersebar di Sulut, pasar-pasar ini mewakili pusat perdagangan daging satwa liar yakni; Pasar Karombasan dan Pasar Bersehati di Manado; Pasar Airmadidi di Minahasa Utara; Pasar Kawangkoan dan Pasar Langowan di Minahasa; serta Pasar Amurang dan Pasar Motoling di Minahasa Selatan. Daftar ini belum termasuk swalayan seperti Freshmart di Manado dan pasar-pasar dengan skala kecil seperti Pasar Tombatu di Minahasa Tenggara, dan Pasar Ibolian di Bolaang Mongondow.
Memang, dibanding dengan pasar-pasar tradisional lainnya, Pasar Beriman Tomohon lebih terkenal. Selain itu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan terlengkap yang menjual berbagai macam keperluan masyarakat Minahasa.

Tim Zonautara.com menelusuri tempat tinggal Ko Wing, yang disebut-sebut oleh Eman, pengumpul dari Desa Karya Baru, Gorontalo. Namun warga di Tanawangko tidak mengenal nama Ko Wing. Tim Zonautara.com justru menemukan alamat penampung sekaligus penjual, Jolie (56). Istrinya bernama Stien Buinsang (49).
Tahun 2019, Joli menjadi salah satu dari 65 kepala keluarga (260 warga) korban bencana longsor dan banjir bandang yang melanda Tanawangko, Minahasa. Bencana ini membuatnya dan beberapa warga yang terdampak di Desa Ranowangko, Desa Borgo dan Desa Sarani terpaksa harus direlokasi. Kini, Jolie dan keluarga bermukim di Langsut, sekitar 2 km dari kediaman sebelumnya.
Jolie bukanlah pendatang baru di bisnis kelelawar. Ia meneruskan bisnis keluarga yang sudah dilakoni sejak tahun 70-an. Saat ini usaha Joli dan Stien terhambat karena kekurangan modal sejak pertengahan 2023. Jolie juga terserang penyakit.
“Saya tidak mengenal Eman. Barangkali Om Jolie kenal. Semua pemasok, dari mana saja, Gorontalo atau Sulteng dari dulu itu memang Om Jolie yang tahu. Sayang sekarang kondisinya seperti sekarang ini (stroke) tidak bisa bicara,” ucap Stien, ketika ditemui Tim Zonautara.com di rumahnya.
Sempat punya lapak di Pasar Karombasan dan Pasar Beriman Tomohon, Stien mengakui bahwa kelelawar yang mereka perdagangkan, diperoleh dari Ko Roni di Amurang, Minahasa Selatan. Ini orang yang berbeda dengan Ko Roni di Limboto.
Jika pemasok berhalangan mengantar kelelawar, anak-anak mereka yang pergi menjemput langsung. Selain dari Ko Roni, mereka biasa membeli kelelawar dari Frandly. Dalam sekali pasok mereka bisa menerima hingga 5 ton kelelawar. Stok sebanyak itu dapat laku atau habis terjual dalam jangka waktu kurang lebih seminggu.
“Kelelawar dari Sulteng biasanya masih lengkap dengan isi perut, walau sudah mati dan diberi es. Nanti di pasar, kalau ada pembeli, baru dibakar dan dikeluarkan isi perutnya, jadi (terlihat) segar lagi,” kata Stien.
Tak hanya oleh mereka, praktik seperti ini banyak dilakukan pedagang-pedagang satwa liar di pasar tradisional. Sumber terpercaya Zonautara.com mengungkapkan bahwa, untuk membuat daging tampak segar, daging yang sudah lama akan dicelupkan ke darah babi agar terlihat sedikit berwarna merah. Setelah itu dibakar. Ini memberi kesan segar pada daging.

Tanpa disadari, praktik ini telah mengesampingkan kualitas juga keamanan konsumen. Pasal pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebut bahwa, konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang dijual. Namun Stien bilang mereka awam dengan regulasi perlindungan konsumen. Baginya, yang penting usaha terus berputar.
Karena belakangan pasokan kelelawar semakin sedikit, (terutama jelang Desember), harga beli kelelawar dari transporter atau pengepul melambung hingga Rp70 ribu per kilogram. Stien akan menjual kembali kelelawar dalam bentuk satuan, dengan harga kisaran Rp80 ribu hingga Rp85 ribu per ekornya. Setiap minggu ratusan juta rupiah uang yang mereka putar dari bisnis kelelawar ini. Mereka bahkan bisa membangun rumah dan membeli kendaran berkat berjualan kelelawar di pasar.
Berbagai jenis kelelawar mereka jual. Selain dari bentuk, Stien biasa membedakan kelelawar lewat warna.
“Kami menjual empat jenis, dari yang ukuran paling kecil, sedikit sedang, sedang, dan besar. Biasanya kalau kelelawar kuning (Acerodon celebensis) itu timbangannya paling berat. Namun karena bau, jenis ini tidak terlalu diminati. Pembeli lebih suka yang hitam (Pteropus alecto). Ya harganya tetap sama. Semua juga laku-laku saja,” kata Stien, Sabtu (7/10/2023).

Terus dijual
Di Pasar Beriman Tomohon, Tim Zonautara.com mencoba mencari tahu, siapa saja yang mengambil peran dalam bisnis kelelawar ini. Hari itu di awal November 2023, los penjualan daging nampak tidak terlalu ramai dari biasanya. Hanya sekitar 50-an lapak yang terisi. Selain kelelawar, dijual pula daging anjing, babi hutan, ular piton, biawak, tikus hutan dan babi ternak.
Setelah melakukan pendekatan, Zonautara.com berhasil bertemu dengan Roy (46), yang awalnya hanya duduk saja mengamati lapak. Ia tampak awas. Ia tak senang dan mengaku terganggu dengan banyaknya pemberitaan miring tentang Pasar Tomohon. Setelah meluapkan isi hatinya, Roy mulai terbuka.
Dari wawancara dengannya, daging satwa liar yang diperjual-belikannya, kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan. Roy juga membenarkan jika pasokan kelelawar datang dari Gorontalo, seturut pengakuan para pemburu, pengepul dan transporter. Roy menyebut nama Onal, sebagai salah satu penampung daging satwa liar di Tomohon. Ia juga menyebut nama Ci’ Eny, yang siang itu terlihat sedang memotong-motong daging babi di lapak lain. Ada pula nama Lilis yang juga disebut sebagai penampung.
“Kelelawar ada yang dari Pohuwato, tapi jarang. Ada dari Paguyaman Pantai, Boalemo dan di antara Marisa dan Popayato. Ada pulau di sana, susah sekali dapatnya, biasanya harus ditembak. Tapi orang di sana yang cari, bukan kami,” sebut Roy.
Lokasi yang disebut oleh Roy ini sesuai dengan lokasi tinggal Arson dan Umar di Karya Baru, Kabupaten Pohuwato dan One di Olibu, Paguyaman Pantai dan Pulau Mohupomba di Kabupaten Boalemo. Semuanya di Provinsi Gorontalo.
Roy yang mengaku mulai berjualan sejak tahun 2006, belakangan diketahui juga merupakan salah satu bos besar di balik rantai pasok dan perdagangan satwa liar yang masuk Sulut. Berdasarkan pengembangan penelusuran Tim Zonautara.com, dari pengakuan beberapa pedagang dan para pemerhati satwa di Tomohon, setidaknya ada 6 nama bos besar yang menjadi penampung.
“Kalau yang di sini (Tomohon) nomor satu paling besar bernama Sandra, kemudian ada Onal, Uce dan Cung. Kalau Cung ini istrinya di pemerintahan. Lalu ada Roy, dan Joli. Di Amurang, ada Roni dan Frandly,” ucap sumber Zonautara.com yang meminta namanya tidak disebut.
“Om Simon sudah tidak ada (meninggal). Daging ini kami dapat dari anaknya, Onal. Sekarang dia yang meneruskan bisnis. Onal itu bukan menantu om Simon, tapi anaknya,” jelas Roy mengklarifikasi penjelasan Ko Roni pengumpul di Limboto.
Dari penelusuran Zonautara.com daging kelelawar termasuk beberapa jenis daging satwa liar lainnya tak hanya dijual di pasar tradisional di Sulut. Pasokan bahkan mulai dikirim ke Maluku dan Papua.
Program Manager Animal Friends Manado Indonesia (AFMI), Frank Delano Manus mengatakan, banyak pihak yang terlibat dalam bisnis perdagangan ini. Ada pemburu atau penangkap, transporter, pengepul di luar Sulut, penampung di Sulut (para bos besar) dan penjual di pasar.
“Memang tren angkut satwa liar berubah dikarenakan pandemi Covid-19. Sebelumnya, satwa dijemput langsung menggunakan kendaraan milik para bos, sekarang tugas tersebut sudah dilakukan pihak ketiga, para transporter. Transporter akan keliling Sulawesi menjemput barang. Hanya sesekali saja kendaraan para bos itu yang turun langsung,” jelas Frank kepada Zonautara.com.
Salah satu penjual dengan lapak terbesar di Pasar Tomohon, Stanley alias Cipey yang telah berjualan kelelawar lebih dari 20 tahun mengakui bahwa suplai kelelawar saat ini telah didatangkan hingga dari Kalimantan. Ia yang ditemui sehari sebelum Perayaan Paskah, salah satu momentum teramai orang Minahasa mendatangi pasar, mengatakan bahwa, kelelawar yang dia jual disuplai oleh Onal. Pada akhir 2021, dalam sembilan hari dia menggelar lapak, sebanyak 1,5 ton kelelawar yang terjual.
“Kalau lagi ramai, sehari bisa 300 kilogram, ya sekitar 1000 ekor lebih. Harganya tergantung ukuran, Rp50 ribu hingga Rp60 ribu. Ada juga Rp100 ribu per 4 atau 5 ekor,” jelas Stanly di sela-sela melayani pembeli yang waktu itu sangat ramai.

Di waktu-waktu tertentu, seperti hari pengucapan syukur (semacam perayaan thanks giving), perayaan Paskah, Natal dan Tahun Baru, Pasar Tomohon dan pasar tradisional lainnya di Minahasa akan disesaki ribuan orang. Mereka pulang kampung merayakan hari besar bersama keluarga. Saat itulah puncak permintaan daging kelelawar dan daging satwa liar lainnya mencapai puncak.
Polemik perburuan dan perdagangan satwa liar di Sulut yang turut disumbang oleh kebiasaan konsumsi masyarakatnya menjadi rumit diurai. Di tengah rasa pesimisnya, Frank yang ditemui di shelter anjing AFMI Tomohon, mengatakan, penting bagi para konsumen untuk melihat bahwa kesadaran mengurangi konsumsi sangat berkontribusi terhadap tekanan perburuan satwa di alam dan pasokan yang masuk Sulut. Konsumen perlu mengerti ancaman risiko dan kondisi kualitas daging yang mereka makan selama ini.
“Tidak mungkin para bos makan daging yang sudah rusak itu, mereka makan yang segar-segarlah, yang terjamin kebersihan dan kualitasnya,” ujar Frank.
Sebagai orang yang pernah mengkonsumsi kelelawar, Frank mengatakan dirinya masih bisa tetap hidup hingga kini tanpa mengkonsumsi daging satwa liar tersebut.
“Ketika saya dulu kerja di peternakan sapi di pedalaman Australia, saya sempat diajak bos memancing. Yang luar biasa adalah, beberapa ekor ikan hasil pancingan justru dilepas kembali. Karena mereka merasa untuk konsumsi pribadi sudah cukup. Dan memang di sana ada pembatasan kuota tangkap. Padahal waktu itu, kami berada di danau, tidak ada orang lain yang melihat karena jauh dari keramaian. Jadi kesadaran sangat penting,” cerita Frank.
Hal serupa juga dikemukakan Kepala Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Hayati, Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. John Tasirin. Menurutnya untuk mengembalikan populasi kelelawar di alam, tidak ada cara lain selain menghentikan perburuan dengan tujuan perdagangan. Kelelawar dan satwa liar lain memiliki fungsi masing-masing yang tidak terganti di alam.
“Nyaris tidak ada jalan tengah untuk masalah ini. Hanya tinggal kesadaran. Saya kira tidak ada cara lain, tentu itu juga mesti dengan upaya, semisal pengaturan kuota tangkap dari otoritas yang berwenang,” ucap John saat ditanya jika ada jalan tengah dari polemik ini.
Menurut John, generasi saat ini yang hidup di masa perburuan dengan tujuan perdagangan, tidak mudah menyadari kerugian ekologis, dikarenakan dampaknya tidak dirasakan langsung. Sehingga penting juga melakukan pendekatan lewat sektor lain.
“Ada orangtua saya bilang, baik-baik saja makan kelelawar sedari kecil. Tapi ketika masuk 70 tahun mereka mulai mengalami lupa, atau orang sini sering bilang panyaki tua. Padahal mengkonsumsi kelelawar bisa membuat degradasi otak. Salah satunya jadi seperti anak-anak. Saya baca artikel penelitian di Hawai yang bilang jika soft memori bisa hilang, salah satunya karena akumulasi biomagnifikasi dari zat-zat yang bisa terkumpul dari daging satwa liar. Tapi mungkin dokter yang bisa menjelaskan hal ini secara rinci,” kata John.
John curiga, selama ini para konsumen kelelawar atau satwa liar merasa sehat karena di Indonesia, terutama di Sulut, tidak pernah ada penelitian yang dilakukan seperti di Hawaii. Sehingga, semua penyakit yang diderita dianggap karena pengaruh usia.


Terpisah, dokter hewan di Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa, drh Louis Kumaunang, mengatakan, banyak konsumen yang tidak peduli dan tidak percaya terhadap ancaman kesehatan.
Jika melihat buruknya penanganan daging sejak dari perburuan, pengangkutan hingga ke pasar, ia sangat yakin jika ancaman dan potensi zoonosis di Sulut sangat tinggi. Katanya lagi, banyak konsumen sudah tahu bahwa sebagian besar daging satwa liar yang mereka konsumsi sudah rusak, tapi bilang justru yang rusak itulah yang enak.
“Ya tinggal menunggu waktu,” ujar Louis.
Frank, John, dan drh Louis sepakat jika kesadaran, dukungan pemda, penegakan aturan, penerapan kuota tangkap, dan menyadari ancaman penyakit, terutama penyakit zoonotik adalah hal yang perlu dan segera dilakukan untuk mengatasi polemik perburuan dan perdagangan satwa liar yang masuk ke wilayah Sulut.
Sebagaimana alasan Arson dan tim pemburu di Desa Karya Baru yang masih terus melakukan aktivitas mereka, alasan serupa juga dikatakan pedagang yang berjualan satwa liar di pasar-pasar di Minahasa saat drh Louis melakukan sosialisasi dan pendekatan.
“Ya semua bilang, lalu mau makan apa? Alasan ekonomi-lah, padahal, jika ini terus berlangsung, kerugian skala besar baik ekologi dan kesehatan bisa terjadi. Yang semuanya itu pada akhirnya akan membuat keterpurukan yang lebih buruk. Semua pihak tidak boleh masa bodoh,” kata Louis.
Liputan ini didukung oleh Garda Animalia melalui Program Bela Satwa Project 2023. Neno Karlina Paputungan dan tim Zonautara.com menjadi salah satu penerima fellowship program ini, yang berupaya mengungkap kejahatan terhadap satwa liar Wallacea.