Catatan Perjalanan ke Pematang Siantar #2: “Mari mengalahkan dulu”

Ini untuk pertama kalinya aku mendarat di salah satu bandara terbesar di Asia Tenggara.

Gitta Waloni
Penulis: Gitta Waloni
Editor: Ronny Adolof Buol
Situasi Bandara Soekarno Hatta. (Foto: Zonautara.com/Gita waloni)

ZONAUTARA.com – Aku tiba di Jakarta, setelah lebih dari tiga jam perjalanan udara diselingi tidur-tidur ayam, hanya terbangun sebentar karena dibangunkan pramugara yang baik hati, sekadar untuk menikmati sepotong roti dan air mineral. Dia tampaknya tahu, tanpa bantuan, aku tak akan bangun, apalagi di tengah kelelahan dan kantuk.

Roda pesawat menyentuh landasan di Soekarno-Hatta, bandara tersibuk di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Pesawat melambat, mesin mengendur, dan aku masih saja setengah sadar. Pengumuman pramugari terdengar samar-samar: “Selamat datang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta”. Aku duduk sabar, menunggu giliran karena posisiku dekat toilet—bukan pilihan favorit, tapi kali ini aku tak terlalu peduli.

Waktunya turun tiba, barisan penumpang bergerak perlahan. Dalam antrian, aku diam saja, mengamati sekeliling. Ini perjalanan pertamaku ke Jakarta, pertama kali pula mendarat di bandara sebesar dan seluas ini. Iseng aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa itu takut? Apa itu salah? Apa itu gagal?” entah mengapa, muncul suara di dalam hati, “Mengalahkan dulu.”

Ketidaktahuan bercampur jadi ketakutan. Canggung, bingung, merasa kecil di tengah lautan manusia. Tapi aku paksa diriku untuk menaklukkan itu, setidaknya hari ini. “Coba, kalahkan dulu,” ucapku perlahan dalam hati.

Kakiku akhirnya menjejak landasan, mengikuti arus penumpang ke bus bandara—fasilitas bus pengantar penumpang dari pesawat ke terminal penumpang. Dari kursi dalam bus, aku mengamati pagi Jakarta dari balik kaca: pesawat landas dan mendarat silih berganti, petugas lalu lalang, penumpang berlomba-lomba hendak sampai ke tujuan. Di mana jeda di tempat seramai ini?



Di gedung kedatangan, aku tetap memilih mengikuti arus orang, tidak mau ambil risiko tersesat. Posisi nyaris paling belakang, aku menenangkan diri, “Tenang, mari mengalahkan dulu…”

Lalu ponsel dan koneksi internet jadi penyelamat. Aku buka YouTube, mencari video petunjuk, menambah kepercayaan diriku soal ke mana dan bagaimana melanjutkan perjalanan. Tidak lupa, bantuan petugas keamanan bandara yang begitu mudah dan sigap. Syukurlah, ternyata mengalahkan kebingungan bisa semudah bertanya.

Satu per satu aku mengabari orang rumah, memastikan semua baik-baik saja. Sampai akhirnya aku ingat pesan seorang Bang Ronny, “Kalau mau aman, makan di KFC saja. Jangan sampai salah masuk tempat makan, nanti tiba-tiba miskin mendadak.” Saran itu lucu tapi masuk akal—mengamini reputasi bandara yang kadang harga makanannya di luar nalar. Sambil lewat deretan restoran dan kafe ternama di Terminal 2, aku tetap pada prinsipku: ke KFC saja, biar aman, biar dompet selamat.

soekarno hatta
Situasi Bandara Soekarno Hatta. (Foto: Zonautara.com/Gita waloni)

Menebus rasa penasaran

Setelah mengisi perut, tujuanku berikutnya: Terminal 3. Terminal terbaru dan termodern di Bandara Soekarno-Hatta ini kerap disebut-sebut orang karena arsitekturnya yang megah dan fasilitasnya yang canggih. Rasa penasaran membawaku terus melangkah; jalan ke sana ternyata lebih mudah dari yang kukira, apalagi setelah bekal dari YouTube dan saran Bang Ronny.

Jantungku berdegup kencang, benar-benar pengalaman baru buatku—terbang sendirian, berpindah terminal di bandara sebesar ini. Naik lift, menyusuri lorong panjang, hingga akhirnya aku memutuskan mengikuti seseorang yang kelihatannya sudah tahu arah. Terima kasih Tuhan, selalu ada bentuk bantuan yang tak terduga.

Di lorong panjang menuju ruang tunggu Skytrain atau Kalayang, aku berhenti sebentar, mengambil beberapa foto. Tak ada yang memperhatikan, tapi buatku momen ini sangat personal—aku ingin ingat jelas hari pertamaku menaklukkan semua ini sendirian.

Ruang tunggu Skytrain Soekarno-Hatta cukup ramai. Aku memerhatikan monitor keberangkatan: 7 menit lagi kereta menuju Terminal 3 akan tiba. Perasaan campur aduk—tegang, antusias, sedikit kagok. Tapi aku coba redakan dengan mengamati manusia di sekitarku, diam-diam belajar dari mereka.

Skytrain akhirnya datang—kereta rel otomatis yang kadang-kadang tanpa masinis yang jadi salah satu fasilitas kebanggaan Soekarno-Hatta, menghubungkan antar terminal dalam hitungan menit. Aku sengaja mengambil posisi paling depan, mengabadikan perjalanan dengan kamera ponsel.

Tak lama kemudian, aku tiba di Terminal 3, penebusan rasa penasaran dan kemenangan kecil atas diriku sendiri hari itu. Semua perasaan canggung dan takut berganti jadi kepuasan. Hari ini, aku benar-benar yakin: mengalahkan dulu, baru menaklukkan yang lain.


Catatan Redaksi: Bandara Internasional Soekarno-Hatta, selain sebagai pintu gerbang utama Indonesia, memiliki tiga terminal utama. Terminal 1 dan 2 melayani rute domestik dan regional, sementara Terminal 3 menjadi kebanggaan karena desainnya yang modern, teknologi mutakhir, serta fasilitas lengkap: dari lounge bertaraf internasional, layanan Skytrain gratis, hotel bandara, berbagai restoran waralaba global hingga kafe kekinian. Bagi para pejalan pemula, seluruh area sudah ramah penumpang dengan papan petunjuk dan layanan informasi yang mudah diakses.

Perjalanan solo pertama kadang memang harus dimulai dengan keberanian ‘mengalahkan dulu’ rasa takut dan canggung. Namun, pada akhirnya, momen seperti inilah yang sering mendewasakan para pejalan.

Follow:
Memulai karis jurnalistik saat turun meliput bencana Gempa dan Tsunami di Palu, dan hadir di beberapa liputan bencana besar lainnya. Selama Pilkada 2024 aktif meliput Pilgub Sulut
1 Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com