Hutaraja: Di mana Ulos tak sekadar kain

Gitta Waloni
Penulis: Gitta Waloni
Editor: Neno Karlina Paputungan

ZONAUTARA.com – Di Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, berdiri sebuah kampung kecil yang menjaga denyut tradisi di tengah arus modernisasi. Namanya Kampung Wisata Ulos Hutaraja.

Setiap pagi, dari bawah rumah adat, suara alat tenun tradisional yang digunakan para perempuan Batak selalu terdengar. Suara kayu dan benang dari alat tenun gedokan, kebiasaan lama yang masih terjaga.

Waktu kemudian seolah berjalan lambat, mengikuti ritme para perempuan yang menenun ulos dengan tangan mereka sendiri.

“Kalau malam, dulu kami martono pakai pelita. Sumbunya dipanjangkan biar terang, supaya nampak motifnya,” kenang Ompung Adrien Simarmata (74), salah satu penenun senior di kampung itu.

Sekarang listrik sudah masuk, tetapi proses menenun tetap dilakukan dengan cara lama yang diajarkan nenek moyang.



Saat kami menemui Ompung Adrien pada awal Mei 2025, ia sedang menenun Ulos Harungguan bersama para perempuan lainnya, namun dengan berbagai jenis ulos yang berbeda tiap orangnya.

Dengan sabar, tangannya menyusun benang demi benang di alat tenun kayu miliknya.

“Ini namanya Harungguan, artinya perkumpulan,” jelasnya.

“Kalau Pangiring itu satu arah, kalau Sibolang juga satu arah. Tapi ini, Harungguan, gabungan. Di dalamnya ada Witang Maratur, Sitolutuho, Pangiring, Tupuk-Tupuk semua sudah digabung.”

Hutaraja: Di mana Ulos tak sekadar kain
(Ompung Adrien Simarmata (74) sedang menenun kain ulos Harungguan, Foto: Gita Waloni)

Ulos adalah kain tenun khas Batak yang sejak dulu punya tempat penting dalam kehidupan masyarakat Toba. Ia adalah simbol kasih sayang, perlindungan, dan status sosial.

Dalam keseharian, ulos dulunya dipakai sebagai pakaian utama oleh laki-laki dan perempuan Batak.

Sandra A. Niessen dalam bukunya Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition mencatat bahwa kain ini selalu dibuat oleh perempuan dengan alat tradisional dan dari benang kapas yang dipintal sendiri.

Warna-warna ulos berasal dari bahan alami, seperti daun nila dan akar mengkudu. Setiap motif mengandung makna.

Masyarakat di sini juga sangat menjaga nilai tradisional ini. Opung Valen (72), misalnya, menolak memakai alat tenun bukan mesin (ATBM) yang ditawarkan pemerintah.

“Kami menjunjung martabat leluhur kami. Mereka tidak bisa menulis, tapi bisa ciptakan ini. Itu harus kami hargai,” tegasnya. Setiap ulos memiliki makna tersendiri.

Misalnya, Ulos Sitolutuho yang sedang ditenun oleh Ompung Valen, melambangkan keteguhan hati, seperti kerbau yang sudah diikat dan tidak mudah digoyahkan. “Setiap motif ada maknanya, bukan asal buat,” katanya sambil tetap menenun.

Cerita turun-temurun yang ada, menyebutkan bahwa ulos pertama kali dibuat oleh seorang putri langit yang turun ke bumi membawa benang cahaya bulan dan warna pelangi.

Kain itu dipercaya mampu melindungi jiwa dari roh jahat. Nilai spiritual dan filosofis seperti inilah yang masih hidup hingga kini.

Sebelum 2019, kehidupan para penenun di Hutaraja penuh tantangan. Harga ulos kerap ditentukan oleh tengkulak. Bahkan, kain yang dibuat berminggu-minggu hanya dihargai Rp500 ribu—tak cukup untuk menutup biaya benang.

“Kadang kami capek kerja berminggu-minggu, tapi uangnya habis buat modal lagi,” kata Ompung Valen. “Tapi tetap kami tenun, karena ini warisan.”

Hutaraja: Di mana Ulos tak sekadar kain
(Ulos Sitolutuho yang sedang ditenun oleh Ompung Valen (72), Foto: Gita)

Perubahan mulai terasa sejak kunjungan Presiden Joko Widodo pada Juli 2019. Pemerintah lewat Kementerian PUPR melakukan penataan kawasan, jalan kampung diperbaiki, rumah adat direnovasi tanpa mengubah bentuk, dan galeri ulos dibangun.

Sejak itu, harga ulos meningkat. Ulos Sadum kini bisa dihargai Rp2 juta, sementara Ragi Hotang mencapai Rp18 juta. Pendapatan pengrajin pun naik rata-rata menjadi Rp2,5–3,5 juta per bulan.

“Sekarang kami bisa sekolahkan anak, pelan-pelan perbaiki rumah. Dulu nggak kepikir bisa begitu,” ujar Ompung Valen.

Di Hutaraja, anak-anak belajar menenun tanpa sekolah resmi. Mereka menyerap keterampilan dengan melihat ibu dan nenek mereka bekerja.

“Anak-anak sekarang banyak yang bisa menenun karena tiap hari mereka lihat ibunya,” kata Haposan Simarmata, Ketua Wisata Kampung Ulos Hutaraja.

Kini, galeri ulos dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Semua hasil tenun ditampung di satu tempat, lalu dijual langsung ke pengunjung.

Sistem ini memutus ketergantungan dari tengkulak dan memberi keuntungan yang lebih adil bagi penenun.

Hutaraja: Di mana Ulos tak sekadar kain
(Haposan Simarmata, Ketua Wisata Kampung Ulos Hutaraja, Foto: Gita)

Menurut penelitian, Hutaraja terbentuk sebagai komunitas pengrajin ulos terbesar di Samosir.

Potensi alam, budaya, dan manusianya menjadikan kampung ini sebagai destinasi budaya yang berkembang. Namun, pembangunan harus dilakukan dengan hati-hati.

“Kalau pembangunan berlebihan, bisa hilang budaya aslinya,” kata Haposan.

Salah satu penanda sejarah adalah pohon tua di tengah kampung yang diyakini berumur lebih dari 350 tahun. “Kalau pohon itu subur, hidup kami juga ikut subur,” tambah Haposan.

Hutaraja: Di mana Ulos tak sekadar kain
(Kampung Ulos Hutaraja, Foto: Gita)

Dalam jurnal akademik, dijelaskan bahwa ulos digunakan dalam berbagai tahap kehidupan: dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.

Ragidup melambangkan kehidupan dan diberikan saat pernikahan. Sibolang digunakan dalam upacara kematian, sedangkan Bintang Maratur menggambarkan keteraturan dalam keluarga.

Warna ulos pun penuh makna: merah untuk keberanian, putih untuk kesucian, hitam untuk duka, dan kuning untuk kemakmuran. Karena itu, memilih ulos bukan soal selera semata, tapi juga menyangkut doa dan harapan yang ingin disampaikan.

Kini, Kampung Ulos Hutaraja bukan hanya dikenal sebagai sentra tenun, tapi juga destinasi budaya. Pengunjung bisa melihat langsung proses menenun, berbincang dengan para penenun, dan membeli ulos langsung dari pembuatnya.

Produk turunan seperti tas, pakaian, dan aksesoris mulai dikembangkan menggabungkan tenunan tangan dengan desain modern.

Hutaraja: Di mana Ulos tak sekadar kain
(Melihat langsung aktivitas Menenun, Foto: Amel)

“Ulos bukan cuma untuk dipakai waktu acara adat,” kata Haposan. “Sekarang juga bisa jadi tas, jaket, atau aksesoris. Tapi tetap pakai bahan asli dan tenunan tangan.”

Namun, menjaga budaya bukan perkara ringan, ini pun sempat dirasakan oleh Opung Valen. “Banyak yang bilang ulos saya mahal, tapi mereka tidak tahu capeknya,” ujar Ompung Valen. “Satu ulos bisa sampai 90 hari. Semua manual, alatnya pun peninggalan nenek moyang.”

Walaupun begitu mereka tetap menenun, meski usia sudah lanjut. Mereka tetap mengajarkan, walau tanpa kurikulum. Mereka tetap menjaga, tanpa berharap pamrih.

“Kalau salah, kita ganti. Jangan bebani yang mesan,” kata Ompung Valen sambil tertawa. “Tapi jangan tanya juga berapa modalnya. Yang penting, kita sungguh-sungguh. Supaya yang punya ulos senang, dan rezeki pun datang.”

Di setiap helai kain ulos dari Hutaraja, tersimpan sebuah ketekunan, kejujuran, dan rasa hormat terhadap warisan leluhur.

Ulos pun berubah, bukan hanya bermakna sebuah kata benda “kain”. Ia adalah sikap dan pernyataan, bahwa budaya bisa bertahan, selama ada yang dengan setia menenun nya diera penyakit zaman sekarang yaitu serba instan.

Follow:
Memulai karis jurnalistik saat turun meliput bencana Gempa dan Tsunami di Palu, dan hadir di beberapa liputan bencana besar lainnya. Selama Pilkada 2024 aktif meliput Pilgub Sulut
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com