ZONAUTARA.com – Pagi itu, Senin, 26 Mei 2025, pukul 05.33 WITA, saya berangkat dari Kota Manado menuju Bitung.
Sebuah penugasan dari redaksi membawa saya menelusuri jarak sejauh 43 kilometer menuju kota yang dikenal sebagai Kota Cakalang.
Bersama motor kesayangan, saya membelah dinginnya udara pagi.
Tanpa terasa, pukul 06.41 WITA saya telah sampai di gerbang masuk Kota Bitung. Saya berhenti sejenak di bawah gapura untuk mengecek ponsel, memastikan lokasi tujuan saya sudah dekat.
“Rusunawa di Sagerat,” gumamku.
“Tinggal beberapa menit lagi,” ucapku kepada diri sendiri, lalu kembali memacu motor.
Enam menit berselang, pukul 06.47 WITA, saya tiba di depan dua bangunan lima lantai yang menjulang. Di sinilah tujuan saya hari itu.
Rusunawa (rumah susun sederhana sewa) di Kelurahan Sagerat Weru Satu, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
Saat bersiap masuk, saya berpapasan dengan seorang anak sekolah dasar yang mengenakan seragam merah-putih.
Dengan senyum ramah, ia menyapa, “Selamat pagi, Kak.”
Sapaan sederhana itu meluluhkan lelah saya.
Perjalanan lebih dari satu jam dari Manado terasa seketika sirna. Dengan hati yang menghangat, saya menjawab, “Pagi…”
Tak jauh dari tempat anak itu berdiri, saya memarkir motor. Mata saya terpaku pada gedung lima lantai yang tak memiliki lift.
Hanya tangga menyambut siapa pun yang hendak masuk. Saya melangkah masuk ke dalam bangunan itu.
Kehidupan pagi di Rusunawa begitu terasa. Suara ibu-ibu memasak menguar dari berbagai sudut.
Seorang ibu tiba-tiba berteriak, “Sarapan, sarapan, sarapan siap!”
Suasana hidup begitu nyata—bapak-bapak bersiap bekerja, ada yang mencuci, menjemur pakaian, dan anak-anak berlarian sambil bermain bola.
Saya kembali pada misi utama: mencari narasumber.
Setelah bertanya pada seorang pengungsi yang tengah mengantre, saya diajak oleh seorang perempuan menuju lantai empat, tempat tinggal orang yang saya cari.
Oh iya, seluruh penghuni Rusunawa ini bukan warga asli Bitung. Mereka adalah korban erupsi Gunung Ruang di Kabupaten Kepulauan Sitaro yang terjadi pada 16 April 2024 lalu.
Saya berbincang dengan narasumber, menggali cerita dan suasana hidup mereka di pengungsian.
Waktu berlalu cepat. Pukul 15.00 WITA, saya pamit, menyudahi wawancara dan bersiap kembali ke Manado.
Saat menuruni tangga dan menuju parkiran, sebuah suara dari lantai atas memanggil, “Pak, Pak!”
Saya menoleh ke atas. Rupanya narasumber saya yang barusan.
“Pak, ada kerepek yang anak-anak ada bawa, itu untuk dimakan,” katanya sambil menunjuk ke arah dua anak yang baru turun dari tangga.
Anak-anak itu (seorang laki-laki dan perempuan) berlari kecil mendekati saya sambil membawa kantong plastik berisi dua jenis keripik.
“Ibu bilang kasih ke Om,” kata anak laki-laki itu dengan wajah polos.
Saya tersenyum, lalu berkata lembut, “Adek makan saja, sekolah baik-baik, yah.”
Sambil menarik pelan gas motor, saya tinggalkan Rusunawa dengan hati yang penuh—bukan karena beban, tapi karena haru.
Perjalanan ini bukan hanya soal tugas jurnalistik.
Di sela-sela gedung beton dan pengungsian, saya menemukan kehangatan dari keramahan yang tak dibuat-buat.
Sungguh, manusia bisa kehilangan rumahnya, tapi tidak kehilangan kebaikan hatinya.