Catatan perjalanan ke Bandung #1: Pamit

Dan begitulah semuanya berlangsung, hingga pukul 21.00 Wita aku tiba di kost di Malalayang, mengistirahatkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Seperti tidur ayam, aku tak benar-benar tidur. Pukul empat dini hari, aku ke Bandara Sam Ratulangi naik Gocar. Di balik kaca mobil, rintik hujan subuh seolah menggambarkan syahdunya perasaanku: ayah aku pamit!

Neno Karlina Paputungan
Editor: Redaktur
Menunggu suttle bus di Bandara Soekarno Hatta, (Foto: Zonautara.com/Neno Karlina).

ZONAUTARA.com – Ringkih terlihat lelah dengan tubuh kaku. Tak ada pancaran wajah yang cerah seperti biasanya namun tetap memaksa tersenyum. “Baya’ don, jia’ bik mongonuka akuoy na’a,” ucap ayah dalam Bahasa Mongondow. Aku yang berbaring di samping, lantas memantapkan hati setelah berkali-kali ucapan serupa terlontar darinya.

Sambil menyerahkan semua dokumen, baik itu kartu identitas, kartu jaminan kesehatan, buku kronis dan segala hal yang selama ini aku pegang, aku berpesan kepada ibu untuk segera memastikan ayah dapat tindakan medis jika saja ada hal buruk terjadi. Memang selama ini semua dokumen itu sengaja aku simpan, tak sekalipun waktu kontrol kesehatannya dilalui tanpa aku. Dan, jauh dari lubuk hatiku yang terdalam, aku sangat menikmati peranku sebagai anak untuk melakukannya—dengan tulus.

Catatan perjalanan ke Bandung #1: Pamit
Menunggu boarding di Bandara Sam Ratulangi Manado, (Foto: Zonautara.com/Neno Karlina)

Setelah menggenggam tangan ayah erat, aku mengajaknya bercanda lalu berbisik lirih di telinga, “Allah mencintai orang yang sabar, dengan restu, doamu dan semua kesabaran itu, aku pamit untuk melakukan perjalanan.”

Sekali lagi dia menjawab dengan jawaban yang sama, yang kalau aku terjemahkan adalah “pergilah, aku tidak akan apa-apa.” Akhirnya ucapan itu yang menguatkan dan jadi bekal yang aku bawa.

Sejak vonis dokter, barulah pada Sabtu, 31 Mei di 2025 ini aku pertama kali meninggalkan ayah, meninggalkan Kotamobagu. Melaju ke Manado menggunakan jasa taksi gelap milik teman. Dan begitulah semuanya berlangsung, hingga pukul 21.00 Wita aku tiba di kost di Malalayang, mengistirahatkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Seperti tidur ayam, aku tak benar-benar tidur. Pukul empat dini hari, aku ke Bandara Sam Ratulangi naik Gocar. Di balik kaca mobil, rintik hujan subuh seolah menggambarkan syahdunya perasaanku: ayah aku pamit!



Catatan perjalanan ke Bandung #1: Pamit
Pemandangan dari dalam pesawat, (Foto: Zonautara.com/Neno Karlina).

“Penumpang pesawat dengan nomor penerbangan QG301 Citilink tujuan Manado-Jakarta dipersilahkan boarding melalui Gate 6,” kalimat itu menyadarkan aku yang hampir terlelap di ruang tunggu. Ada kecemasan yang mendadak muncul, bukan soal penerbangan di saat hujan, tapi karena mengingat kondisi ayah.

Dalam hati aku melangitkan dzikir, Allahuma yasir wala’ tu asir “Ya Allah, mudahkanlah dan jangan Engkau persulit.” Doa yang biasa aku baca ketika hendak menghadapi sesuatu yang penting atau berat, seperti ujian, pekerjaan sulit, perjalanan, atau tantangan hidup lainnya. Aku meyakini ini sebagai permohonan kepada Allah agar diberi kemudahan dalam menjalani urusan tanpa kesulitan. Aku berserah, aku pasrah.

Tak butuh waktu lama, pesawat yang aku tumpangi membawah tubuhku menjauh dari Sulawesi. Menembus awan dan membentang di cakrawala selama kurang lebih 4 jam, semakin lama semakin tinggi, semakin jauh, hingga ke Pulau Jawa.

perjalanan
Gate 5-6 terminal keberangkatan Bandara Sam Ratulangi Manado, (Foto: Zonautara.com/Neno Karlina).

Aku mengabari orang rumah, pesawat yang aku tumpangi berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Aku telah berada sangat jauh dari rumah, dari ayah. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain harus fokus agar restu yang aku dapat tidak sia-sia.

Aku lalu duduk sejenak di terminal 1A kedatangan, memandangi lalu-lalang manusia yang entah dari mana. Perut keroncongan ditambah pikiran yang berat. Mataku lalu tertuju di gerai foodcourt tertulis AW, aku memesan makanan dan makan seorang diri.

Mungkin seperti inilah manusia melakukan perjalanan, lahir di dunia seorang diri dan meninggalkan dunia sendiri. Ayah, ibu, dan semua yang ada, pada akhirnya tiada. Dari tiada kembali ke tiada.


Bersambung…

Suka berkelana ke tempat baru, terutama di alam bebas. Mencintai sastra fiksi dan tradisi. Berminat pada isu-isu ekofeminisme, gender, hak perempuan dan anak. Beberapa kali menerima fellowship liputan mendalam. Tercatat sebagai anggota AJI.
Leave a Comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com