ZONAUTARA.com – Udara yang dihirup melalui hidung dan dikeluarkan lagi melalui paru-paru membuat kaca mataku kabur. Aku yang sudah 1 jam memandangi orang-orang di Terminal 1A Bandara Soetta sejak landing, akhirnya mendapat kekuatan dari sebungkus nasi dan sepotong ayam goreng. Aku merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan.
Bismilah aku memohon bantuan Sang Yang Maha untuk menghilangkan segala rasa cemas yang ada. Setelah menepuk-nepuk wajah sendiri, aku berjanji untuk tidak akan menyia-nyiakan restu dan kesempatan. Setiap detik berharga dan aku sudah terlanjur berada jauh dari rumah.

Aku menghampiri counter shuttle bus Cititrans, menukar tiket untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung. Perjalanan yang perlu aku lakukan untuk mendapatkan support system dan pandangan baru dari sesama media perempuan–bagaimana media perempuan berkembang.
Aku memang banyak mendapat insight untuk mengembangkan Tentangpuan.com dari komunitas, sejak tergabung dalam Women News Network yang diinisiasi dan didukung oleh International Media Support (IMS). Kali ini dalam kegiatan bertajuk Constructive Journalism Lab.
Setelah 30 menit menunggu, sebuah mini bus eksekutif berhenti. Dengan jelas namaku dipanggil. Aku diarahkan duduk di seat 3. Penyanggah kaki dinaikkan, sandaran kursi kuturunkan, mencari posisi nyaman sebelum bus benar-benar melaju.

Sebenarnya, meski sudah sering melancong ke beberapa daerah di pulau Jawa seperti Jogja, Magelang, Surabaya dan Bogor, ini adalah kali pertama aku mengunjungi Bandung. Kota yang dijuluki kota kembang dan juga Paris Van Java.
Aku tidak tahu persis kenapa ibu kota provinsi Jawa Barat ini dijuluki itu semua. Yang aku tahu lewat berselancar di pencarian google, kota Bandung adalah kota dengan volume kendaraan yang cukup tinggi. Banyak yang bilang jika kota ini memiliki kualitas udara yang tidak terlalu baik akibat polusi. Entahlah!

Shuttle bus terus melaju di jalan tol Cipularang. Jarak tempuhnya sekitar 2,5 hingga 3 jam perjalanan. Harus diakui, untukku yang sering menggunakan jasa taksi gelap dari Kotamobagu-Manado dengan medan berkelok-kelok, perjalanan menggunakan eksekutif bus ini cukup nyaman.


Tapi tetap saja, sebagai orang yang belum pernah naik Whooss tentu aku penasaran bagaimana kereta super cepat itu beroperasi. Sayang oleh panitia aku dipesankan tiket travel terlebih dahulu. Ya sudahlah. Bus melaju, dalam kenyamanan itu aku sempat terlelap.
Pintu bus dibuka, “silahkan kalau mau buang air atau makan,” kata sopir memberi arahan kepada kami. Dengan sedikit kelilipan aku coba menghitung, bus berkapasitas 10 orang penumpang tersebut ternyata hanya diisi 5 orang saja.
Suara mesin bersahutan di antara travel yang berjajar. Aku menghampiri sebuah warung makan dan memesan mie kuah plus telur ceplok. Sambil mengisi perut aku memulai percakapan dengan pemilik warung.

“Ini di kilo berapa mbak?”
“Kilo 88 Purwakarta, dari sini butuh 1 jam lagi untuk sampai ke Bandung,” jawabnya.
Di sini, langit terlihat mendung, tetapi panasnya cukup untuk membakar kulit. Di keterasingan ada perasaan damai. Seperti menjadi “fitrah” kembali, kondisi di mana tak ada orang yang mengenali. Tak ada noda, atau cerita jelek. Tak ada peristiwa yang menempatkan kita sebagai tersangka atas dugaan-dugaan sekeliling. Berjalan seperti landak, atau seperti kapas yang terbang terbawa angin tanpa beban. Sekali lagi lamunanku bertengger.
Perut kenyang, waktu istirahat selesai. Kami kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan. Namun sebelumnya aku menghampiri pemilik warung. “Totalnya Rp30 ribu, itu sudah dengan es jeruk,” ucapnya kepadaku.
Bus melaju begitu saja, kiri-kanan suasana hijau menenangkan mata. Pepohonan dan rerumputan adalah vegetasi serupa, hanya saja asing bagi aku yang pertama kali melintasinya. Tapi sekali lagi itulah yang kunikmati. Asing yang damai. Tak mencemaskan apapun seperti biasanya saat terlempar jauh dari luar pulau Sulawesi.

Bukankah tersesat di hutan tidak semengerikan tersesat di kota? Hutan mungkin menawarkan binatang buas, tapi di kota, manusia sering bisa melampaui kebuasan binatang. Pertanyaan-pertanyaan di perjalanan dan keterasingan mengajarkan aku untuk akhirnya melihat diriku sendiri, mencintainya dan menikmati setiap jengkal tanah pertiwi.

Waktu berjalan secepat lamunan, padahal aku berharap selambat bekicot. Sayang klakson mobil yang sorak-sorai menghilangkan keheningan. Langsung pusing, keributan suara khas kota. Seperti itulah ketika dari kaca jendela tulisan Bandung terlihat jelas di mana-mana. Laju bus mulai berkurang. Tak lama belok dan masuk pada titik pemberhentian di counter Cititrans di Dipati Ukur Bandung.
Tak jauh sekitar 100 meter, terlihat jelas hotel Neo. Tempat aku akan menginap beberapa hari ke depan. Perjalan selalu memiliki cerita, ransel dongker aku pikul. Dengan menghela napas aku berucap dalam hati: Welcome in Bandung.
Bersambung….