ZONAUTARA.com – Sabtu pagi, 7 Juni 2025. Matahari belum tinggi ketika tiga sahabat—Kenny, Indah, dan Cia—berkumpul di Perumahan Unima Blok D. Meski mata masih setengah terpejam, semangat di dada mereka membara. Hari itu, mereka akhirnya melaksanakan rencana yang sempat tertunda: perjalanan satu hari satu malam ke Gunung Tampusu.
Semalam sebelumnya, segala perlengkapan telah dipersiapkan dengan cermat. Tenda, logistik, pakaian ganti—semua telah dipacking rapi. Ketiganya tahu, waktu adalah segalanya dalam sebuah perjalanan. Dan pagi itu, seolah semesta merestui langkah mereka. Langit cerah, tak ada awan kelabu menggantung. Setelah beberapa hari dihujani cuaca buruk, cuaca cerah hari itu seperti jawaban dari doa-doa yang terlantun dalam diam.
Perjalanan kali ini bukan sekadar pelesiran. Ini adalah bagian dari mewujudkan proyek Kursus Dasar Manajemen Perjalanan Batch 1 yang diselenggarakan oleh Katalun Jungle School, didanai penuh melalui fellowship dari Zonautara.com. Bagi ketiganya, pendakian ke Gunung Tampusu adalah ruang praktik, refleksi, sekaligus persembahan untuk alam.
Pukul 08.12, taksi online yang mereka pesan tiba. Dengan antusias, mereka memuat barang dan menempuh rute menuju Tangga Pangolombian, yang dipilih sebagai titik awal pendakian. Gunung Tampusu, yang menjulang setinggi 1.206 mdpl, menjadi favorit bagi pendaki pemula maupun berpengalaman. Jalur yang dipilih cukup menantang, namun tetap bersahabat bagi mereka yang ingin menjajal batas diri.
Di sepanjang jalur, keindahan hutan tropis Tampusu menyambut mereka. Sayangnya, keasrian itu tak sepenuhnya utuh. Dulu, banyak satwa endemik bisa dijumpai di sepanjang jalur, namun kini, keheningan hutan tak lagi diselingi suara alami. Meski begitu, pesona Tampusu tetap memikat, terutama danau kabutnya—sebuah danau cantik yang kerap diselimuti kabut tipis di pagi hari, menciptakan suasana seolah berada di negeri para dewa.

Di situlah mereka mendirikan tenda, memasak makan malam, dan berbagi cerita. Malam turun dengan suhu dingin, namun keheningan yang diharap justru terganggu. Bukannya mendengar suara alam, mereka harus bertahan dari polusi suara. Speaker aktif dan musik keras dari basecamp membuat malam terasa seperti berada di tengah kota, bukan di pegunungan. Suatu pengalaman yang mengusik harapan mereka tentang mendaki dalam kesunyian yang damai.
Esok harinya, 8 Juni, setelah sarapan dan berkemas, perjalanan dilanjutkan menuju puncak. Jalur menuju puncak relatif lebih mudah dibandingkan ke danau. Hanya saja, barisan pandan hutan yang daunnya tajam memaksa mereka untuk berjalan dengan hati-hati. Buah-buahan liar yang menggoda mata bertebaran di sepanjang jalan—warna-warni yang kontras dengan hijaunya semak.
Kurang lebih 45 menit kemudian, mereka tiba di Triangulasi Puncak Tampusu. Di sana, pemandangan terbentang luas—seolah dunia terbuka, menyambut mereka dengan keheningan yang akhirnya ditemukan. Setelah berfoto dan beristirahat sejenak, mereka bersiap turun. Turunan yang curam dan licin menantang keseimbangan, membuat lutut bergetar dan tenaga dikuras perlahan.
Sekitar 25 menit berjalan santai, mereka kembali ke titik awal. Taksi online menjemput, dan perjalanan pun usai. Namun jiwa mereka masih tertinggal di Tampusu. Pada kabut yang menyelimuti danau, pada dingin yang menyegarkan, dan pada harapan akan ketenangan yang belum sepenuhnya mereka temukan.

Perjalanan ini bukan hanya soal mendaki gunung. Ini adalah pelajaran tentang manajemen perjalanan, tentang pentingnya etika di alam, dan tentang bagaimana manusia seharusnya hadir tanpa merusak. Bagi Kenny, Indah, dan Cia, Tampusu bukan sekadar destinasi—ia adalah panggilan jiwa.
Dan ketika Tampusu kembali memanggil, mereka siap menjawabnya.
Puncak hanyalah bonus. Pulang dengan selamat—itulah tujuan utama.
Salam lestari!
Catatan perjalanan ini dibuat oleh Keni Esther Nicodemus, peserta kelompok 1 kursus manajemen perjalanan batch 1 Katalun Jungle School, yang ditulis kembali oleh Redaksi Zonautara.com. Zonautara memberikan fellowship kepada peserta terpilih dari kursus tersebut.