Jokowi basuh wajah
dengan air laut Miangas

Orang-orang bertepuk tangan, berdecak kagum, dan bangga ketika Presiden Joko Widodo menginjakkan kaki di Miangas pada 19 Oktober 2016.

 

Miangas ini pulau terujung di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, dan tapal batas Indonesia dengan negara tetangga, Philipina.

 

Kala itu, Jokowi tak sekedar datang menyapa penduduk Miangas, tapi juga menoreh cerita yang layak dikenang. Dia membasuh wajahnya dengan air laut Samudera Pasifik. Jokowi seolah mau menegaskan, bahwa di kampung paling ujung sekalipun, pemerintah akan hadir.

 

Pada kesempatan itu Jokowi bilang, Miangas bukan lagi sebagai pulau kecil, tetapi menjadi pintu gerbang dalam dan luar negeri. Presiden memang tak sekadar membasuh wajah, dia meresmikan Bandar Udara Miangas.

 

“Bandara ini bukan hanya sekadar bandara penunjang, tetapi akan menjadi bandara terdepan NKRI di bagian utara sekaligus pintu gerbang distribusi pangan dan sandang,” tegas Jokowi.

 

Salah satu konsep nawacita Jokowi memang membangun dari pinggiran. Tujuannya agar pulau-pulau terdepan itu menjadi beranda Indonesia. Bukan halaman belakang!

 

Maka untuk mewujudkan amanat nawacita itu, gelombang proyek pembangunan digelontorkan untuk pulau-pulau terluar (sebutan dulu sebelum diganti menjadi pulau terdepan). Termasuk di Miangas.

 

Talaud, sebagai kabupaten kepulauan dan terluar mempunyai beberapa pulau terluar. Selain Miangas adapula Kakorotan, Intata, Marampit dan Kabaruan. Sejarah yang mengakar di Miangas membuat pulau ini dikenal dengan sebutan lain, Las Palmas, sebutan yang disematkan penjelajah Spanyol.

 

Nama Las Palmas disematkan karena pulau itu banyak ditumbuhi kelapa. Las Palmas pernah diperebutkan oleh Amerika dan Belanda. Amerika mengklaim Las Palmas sebagai pulau miliknya, karena diwariskan Spanyol yang diusir dari Miangas. Arbitase Internasional memenangkan Belanda, hanya karena penduduk Miangas banyak berbahasa Talaud, persis pulau-pulau di sekitarnya yang dikuasai Belanda.

 

Kepemilikan Indonesia atas Miangas dimulai sejak keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag pada tahun 1928. Namun perebutan wilayah antara Indonesia dengan Philipina atas perairan Miangas berlangsung cukup lama.

 

Sengketa itu menyoal perairan laut yang terletak antara Pulau Miangas dengan pantai Mindanao (Philipina) serta dasar laut antara pulau Balut (Philipina) dengan pantai laut Sulawesi yang berjarak sekitar 400 mil.

Miangas, sebagaimana pulau terluar yang menjadi tapal batas memang kerap disorot. Isu soal keamanan negara menjadi point utama. Miangas punya catatan soal ini. Pulau ini dan juga pulau-pulau terluar lain di Talaud, dulunya kerap dihampiri para perompak dari Mindanao.

 

Karena sering mendapat serangan itu, oleh tetua Porodisa, sebutan lain Talaud, menjuluki Miangas dengan nama Tinonda. Hingga sekarang, walau jarang menjadi pemberitaan, pulau-pulau ini menjadi titik loncat penyelundupan barang-barang dari Philipina.

 

Pemerintah Indonesia pada masa lalu tak begitu memberi perhatian bagi pulau-pulau terluar, termasuk Miangas. Potensi perikanan yang kaya di sini tak mendapat perhatian. Yang ada hanyalah penempatan pasukan penjaga perbatasan.

 

Tapi Jokowi mau berbuat lain. Nawacita ingin Miangas dan pulau-pulau terdepan terberdayakan. Walau sejujurnya, tak ada potensi investasi yang layak didorong kecuali investasi soal perbatasan dan keamanan.

 

Secara administratif, Miangas merupakan kecamatan khusus Miangas dengan hanya satu Desa Miangas yang terdiri dari 3 dusun. Luas wilayah Miangas 6,7 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 758 jiwa terdiri dari 206 rumah tangga (2016).

 

Walau dikelilingi laut, namun mata pencaharian terbesar penduduk Miangas adalah bertani (64 orang), kemudian nelayan (28) dan pedagang (24). Sisanya pegawai negeri sipil dan swasta.

 

Penduduk Miangas 96 persen memeluk kepercayaan Kristen dan hanya 29 orang yang beragama Islam. Karena hanya berpenduduk sedikit dengan luas wilayah yang kecil, semua orang di Miangas saling kenal. Adat istiadat di sini masih dipegang teguh.

 

Miangas kerap menjadi perhatian karena salah satu tradisi leluhur yang saban tahun digelar, yaitu, Manami. Tradisi itu adalah cara orang Miangas menjaga keberlangsungan suplai ikan di perairan mereka.

 

Dalam Manami itu ada Eha, aturan adat yang melarang penduduk setempat menangkap ikan di wilayah tertentu. Penangkapan ikan digelar setahun sekali dengan melibatkan semua penduduk. Ini menjadi atraksi wisata budaya bagi Talaud.