Sulut

Mengendus dugaan korupsi
di pulau Las Palmas

Sejak awal pengerjaan proyek ini sudah diduga akan bermasalah karena PT MRC lambat dalam penyelesaiannya. Mobilisasi peralatan untuk mempercepat pengerjaan proyek sudah disorot publik pada Agustus 2017 sebagai batas tenggat waktu proyek itu selesai.

 

Dari penelusuran Zona Utara pada April 2019, jalan lingkar itu tak selesai. Jalan yang teraspal hanya 3,8 km dari total 5,2 km yang harus diselesaikan oleh PT MRC. Padahal pada papan proyek tertulis pembangunan jalan lingkar ini dimulai pada 24 Februari 2017. Jika waktu penyelesaian selama 210 hari sebagaimana kontrak tanpa adendum, semestinya seluruh jalan sepanjang 5,2 km itu selesai pada Agustus 2017.

 

Namun dari pengamatan di lapangan pada April 2019 menunjukan, ujung jalan terakhir yang dikerjakan masih menyembul besi-besi yang tak rampung dikerjakan. Di beberapa tepi jalan juga terdapat sak-sak semen yang masih terisi namun sudah mengeras.

 

Kondisi fisik itu mengindikasikan bahwa pengerjaan jalan ini memang tidak diselesaikan. Fakta keberadaan alat berat yang dipakai selama mengerjakan proyek juga menguatkan dugaan bahwa proyek ini bermasalah.

 

Dari wawancara dengan Hendra Lua, warga Miangas, tertundanya penyelesaian jalan lingkar itu dikarenakan halangan bukit Wollo. Menurutnya, pihak PT MRC sengaja tidak menyelesaikan pembangunan jalan karena penggusuran bukit itu tidak masuk dalam anggaran mereka. Dua unit trimix milik PT MRC yang masih terparkir di halaman Koramil Miangas dan dua unit excavator yang terparkir di halaman Pos TNI AL.

 

Hendra yang sempat menjadi pekerja yang direkrut saat proyek ini berjalan mengaku, pekerja paling banyak bukan warga Miangas. Perusahaan membawa pekerja dari luar pulau.

 

“Hanya ada lima orang Miangas yang kerja di proyek itu, paling banyak dari Sangihe,” ujar Hendra.

 

Hendra juga memrotes upah harian yang mereka terima. Sesuai janji awal mereka akan diberi upah oleh perusahaan sebesar Rp 110 ribu perhari.

 

“Tapi kami hanya dibayar Rp 80 ribu per hari waktu itu,” jelas Hendra.

 

Pemerhati kawasan Nusa Utara, Vanny Loupatty mengatakan, semestinya posisi bukit Wollo sudah diantisipasi sewaktu perencanaan dengan pertimbangan dari tiga pihak Konsultan Pengawas dalam proyek ini, yaitu PT Puri Dimensi, PT Cakra Buana Total, dan PT Portal Eng Perkasa.

 

“Baik perusahaan pelaksana maupun perusahan pengawas tidak beralamatkan di Sulawesi Utara. PT MRC di jalan Cimandiri, Cikini, Jakarta Pusat. Sementara PT Cakra Buana Total beralamat di Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua. Begitu juga dengan PT Portal Eng Perkasa beralamat di Papua. Sementara PT Puri Dimensi beralamat di Bandung, Jawa Barat,” ujar Vanny.

 

PT MRC telah diberi teguran tiga kali oleh konsultan untuk segera menyelesaikan kewajibannya. Bahkan Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip waktu itu meminta perusahaan memenuhi kewajiban sesuai kontrak.

Beberapa minggu sebelum jatuh tempo proyek, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) XV Manado yang waktu itu dijabat Riel Mantik, memastikan bahwa proyek itu akan selesai tepat waktu. Ketiadaan bahan bakar minyak menjadi kendala.

 

Akses angkutan material ke Mianggas memang hanya dimungkinkan lewat transportasi laut. Dua kapal perintis dan beberapa kapal feri melayari rute ke Miangas, baik dari Bitung yang ada di daratan pulau Sulawesi, maupun dari Melonguane di pulau Karakelang.

 

Namun kadang jadwal pelayaran kapal-kapal tersebut tidak menentu, disebabkan berbagai faktor terutama cuaca di perairan Talaud yang berhadapan langsung dengan laut lepas Samudera Pasifik. Gelombang di perairan itu kadang bisa mencapai setinggi 6 meter.

 

Pada tahap rencana, beberapa pihak memang mempertanyakan pembangunan proyek itu. Pasalnya jumlah kendaraan di Mianggas sangat sedikit. Pada tahun 2016 jumlah kendaraan yang ada di Miangas hanya 20 unit saja, dan sebagian besar kendaraan roda dua.

 

Elisa Mangoli, tokoh masyarakat Miangas, mengatakan bahwa proyek itu sebenarnya mubazir. Menurut Elisa, seharusnya pemerintah menghadirkan proyek pemberdayaan ekonomi masyarakat.

 

Dari aspek teknis, beberapa warga juga memberi kesaksian bahwa konstruksi jalan tidak dibangun sesuai dengan material sebagaimana mestinya. Misalnya penggunaan pasir putih untuk menggantikan material pasir dan batu. Semestinya kontraktor mendatangkan pasir dan batu dari luar Miangas, sebab galian C dilarang di Miangas mengingat ancaman abrasi bagi pulau kecil itu.

 

Pada awal 2019, proyek yang mangkrak ini kembali disorot namun Kepala Satuan Kerja proyek itu di BPJN XV Manado Robert Sihotang menegaskan bahwa PT MRC akan menyelesaikan proyek itu tiga minggu ke depan.

 

Namun penegasan Robert yang dilontarkan sejak Januari 2019 itu, bertentangan dengan situasi di lapangan. Dari peninjauan langsung wartawan Zona Utara di Miangas, hingga awal Mei 2019, proyek itu tak kunjung juga selesai.

 

Robert menepis dugaan ada tindakan korupsi dalam proyek tersebut. Tapi dia mengakui ada keterlambatan dalam penyelesaian jalan lingkar itu. Menurutnya, pihak kontraktor telah diberi denda.