Oleh: Yuanita Maya
Syahdan, kebahagiaan rakyat Indonesia dipandang perlu secara khusus dirumuskan. Dan sebagai kaum yang menempati posisi subordinat, maka para perumus kebahagiaan rakyat –bagaikan ironi- sudah pasti bukan rakyat itu sendiri. Awalnya, kebahagiaan rakyat dipercaya bisa dicapai secara ideologis dan konstitusional lewat Pancasila dan UUD ’45 sebagai fundamen terciptanya rakyat yang cerdas, sejahtera, dan bermartabat.
Hal ini dimaknai dengan sungguh-sungguh oleh Soekarno yang anti asing, sebab sikap mental berdikari penuh kehormatan tentunya merupakan benang emas dalam hal merajut kebahagiaan. Belum sempat membuahkan hasil, Soekarno digulingkan. Pendulum berbalik arah secara drastis menuju pola kapitalisme dengan beragam sistem ekonomi-sosial ramah asing lewat pemerintahan otoritarian. Kala itu kebutuhan sandang, pangan, dan papan terpenuhi, dan rakyat diyakini bahagia karena hidup dalam kondisi aman dengan perut kenyang.
Namun hidup kecukupan dengan kebebasan terbelenggu dianggap tak lebih dari kebahagiaan semu, sehingga pada kepemimpinan periode-periode berikutnya kebebasan pun diagung dan dimuliakan. Sayangnya, rezim demokratis-liberal pasca Soeharto kian tunduk pada tekanan kapitalisme dan pasar. Walhasil, bangsa ini terombang-ambing secara sosial-ekonomi sesuai mekanisme dan situasi pasar dunia, dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus melejit dan masyarakat menjadi tumbalnya. Kebebasan ternyata bukan jawaban mutlak dan kian jauhlah rakyat dari kebahagiaan, yang sejak awal kemerdekaan hingga kini susah-payah dirumuskan oleh para elit, mulai dari para pemimpin bangsa, birokrat, politisi, kalangan akademisi, dan kelompok pemikir lainnya di Indonesia.
Namun koin berbalik drastis jika kita ‘meminjam’ kacamata beberapa teman manca negara saya, dimulai dari Joao Paolo Barbosa, fotografer kelas Internasionalasal Brasil. Perjalanan advontur selama setahun lebih di segala bagian Indonesia membuat Joao melihat keterbukaan dan penerimaan tiada tara, dan sejauh ia berkeliling dunia, tak pernah ia menemukan sebuah bangsa yang demikian ramah tanpa syak-wasangka seperti Indonesia. Happy people, demikian kesimpulan Joao, sebab sikap penuh curiga bukan hal yang bisa ditemui pada sosok-sosok unhappy yang cenderung berpikir negatif.
Lain halnya dengan Gelia Cortes, perempuan belia asal Spanyol yang memutuskan keliling Asia terlebih dahulu sebelum memulai karya sebagai dokter. Back packing di berbagai wilayah Indonesia dan membaur dengan kaum akar rumput, membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa, ”Indonesian people have the most beautiful eyes throughout Asia.” Ia tidak bicara soal bentuk mata yang belok, sipit, dan lainnya, namun lebih kepada mata sebagai alat pantul jiwa. Jiwa keruh tak bahagia, mungkinkah terpantul indah lewat biji mata pemiliknya?
Sedangkan 4 tahun menempuh studi S2 dan S3 di Semarang memberi Ahmed Ibrahim, pemuda Libya, kesempatan untuk belusukan ke beragam pasar tradisional dan melihat segala bentuk manusia dari beragam kelas sosial. Ia pun berakhir dengan rasa kagum tiada terukur, sebab bagaimana seorang pedagang rempah-rempah dengan kuantitas dagangan tak seberapa, masih bisa bercandaria dengan sesama pedagang lain yang juga berpenghasilan sama terbatasnya? Bagaimana pula seorang tukang parkir, pengendara motor butut, pedagang bakso yang susah-payah mendorong gerobaknya, masih bisa bertegur ramah dengan wajah tenang dan sabar? Keikhlasan –sebagai pangkal kebahagiaan- yang berasal dari dalam dan bebas dari faktor-faktor eksternal ini, adalah sebuah kualitas yang sulit ditemukan pada bangsanya. Ahmed pun mengaku bahwa tinggal di Indonesia ia justru merasa lebih tenang dan bahagia, kendati jauh dari kemapanan yang ia miliki di negerinya, setidaknya sebelum Muammar Qadafi digulingkan.
Pada rute perjalanan kereta api Solo-Surabaya kelas ekonomi yang pernah saya tumpangi karena kehabisan tiket eksekutif pada suatu puncak Lebaran, para penumpang mengobrol hangat, dan anak-anak bermain gembira seakan gerbong diisi oleh keluarga besar. Petugas restorasi hilir-mudik menawarkan dagangan dengan ragam teriakan, ”Susu hangat gratis! Adek tidak usah bayar, ibunya saja!” “Mie mangkuk gratis, belimie gratis mangkuk!” Penumpang tertawa, sebab memang dalam mangkuk itulah mie dikemas oleh pabriknya, lalu saling nyeletuk dan memancing kian banyak tawa. Dan keceriaan tersebut kiranya sama sekali bukan hal mewah yang hanya ada di gerbong tersebut, sebab di sudut manapun negeri ini suasana hangat memang mudah didapat.
Keriaan yang muncul tanpa komando ini seperti sedang menertawakan kekeraskepalaan kaum cerdik-cendekia yang sangat yakin bahwa kebahagiaan rakyat kecil ditentukan oleh keberhasilan pemerintah, infrastruktur memadai, stabilitas pasar dunia, harga-harga murah, kebebasan bersuara dengan lantang, dan seterusnya. Prasaja (hidup sederhana apa adanya) dan nampilaku (menerima dan mengalir dengan keadaan hidup, apa pun itu, secara ikhlas) yang diyakini akan membimbing seseorang pada sikap penuh syukur sebagai salah satu jembatan menuju kebahagiaan, memang sesuatu yang sulit dipahami oleh mereka yang sejak awal percaya bahwa kebahagiaan musti dibangun di atas faktor-faktor measurable seperti harga murah, pendidikan tinggi, nilai rupiah yang kuat terhadap dolar, dan semacamnya.
Ranggawarsita, pujangga besar Jawa, juga hanya mensyaratkan membaca Qur’an berikut maknanya, berdzikir, berpuasa, bersembahyang dalam hening malam, dan berkumpul dengan orang sholeh sebagai tambaati (obat hati; modal utama jiwa yang sehat dan bahagia).
Kaum elit dan cerdikpandai tentunya akan kian terperanjat sebab bukan hanya dibentuk oleh hal-hal intangible, namun kebahagiaan lebih kerap justru bersifat paradoksal. Khotbah yang disampaikan Yesus di atas bukit menegaskan hal itu. Siapa yang murah hati akan mendapat kemurahan, dan itulah jaminan kebahagiaannya. Mereka yang miskin di hadapan Tuhan (merasa lemah, tak mampu, dan hanya bergantung pada kekuatan Sang Khalik) adalah bahagia karena memiliki Kerajaan Surga. Dan tingkap rejeki Kerajaan Surga yang tercurah akan mengguyur si miskin di hadapan Tuhan itu dengan sukacita dan damai sejahtera. Demikian seterusnya, dan tak satu pun dari sekian jaminan kebahagiaan yang dicatat dalam Injil Matius itu yang dibentuk oleh hal-hal kasat mata. Semuanya memiliki nilai yang berbanding terbalik dan seakan tak berhubungan, melawan rumusan kebahagiaan rekaan kaum elit yang serba berbanding lurus dan selalu memiliki hubungan kasualitas.
Tanpa banyak koar, rakyat Indonesia telah membuktikan mana yang benar. Kaum akar rumput yang selalu dijadikan obyek dari jaman ke jaman ini telah menyatakan kemampuan absolut mereka untuk mencapai kebahagiaan yang terpancar lewat sorot mata, laku tenang dan sabar, kegembiraan atas kenalan baru di atas bis, joged dangdut dengan gerakan kompak yang begitu cepat menyebar dari Sabang sampai Merauke, dan tak terhitung hal-hal sederhana lainnya.
Rakyat Indonesia tak perlu rumusan kebahagiaan yang ‘diperjuangkan’ oleh kaum atas yang sejatinya masih bingung memaknai kebahagiaan. Jangan-jangan memang benar, bahwa sesungguhnya bangsa ini tak memerlukan kelompok elit dari jenis mana pun. Sebab dengan atau tanpa mereka, bangsa ini telah ada sejak jaman dulukala, dan lestari melawan beragam kesulitan dari waktu ke waktu dengan modal kebahagiaan nan sederhana tanpa rumusan.
*)Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga.
Tulisan lain Yuanita bisa dibaca di: Negeri Tanpa Ayah, Surga Ikut, Neraka (Tak Mau) Turut