bar-merah

Darurat Kejahatan Seksual Terhadap Anak

zonautara.com
(Foto: pexels.com/Pixabay)

MANADO, ZONAUTARA.com – Sejak tahun 2013 silam, Komite Nasional (Komnas) Perlindungan Anak mengatakan, negara kita berada dalam status darurat kejahatan seksual terhadap anak.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, pada acara Diskusi Stakeholder Perlindungan Anak, akhir pekan lalu.

Aris membeber, kondisi kedaruratan ini dikuatkan dengan fakta dan data pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima komite yang diketuainya tersebut. Data itu menunjukan jumlah pengaduan pelanggaran hak anak yang terus meningkat dan meluas.

“Dari data yang dihimpun oleh Pusat Data Dan Informasi (Pusdatin) kami, sebanyak 216.897 kasus pelanggaran hak anak yang dimonitor oleh Komnas, dari berbagai lembaga peduli anak di 34 provinsi dan di 279 Kabupaten Kota. Sebanyak 58 persen dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan kejahatan seksual,” jelas Arist di Ruang Tumbelaka, Kantor Gubernur Sulut.

Dirinya mengungkapkan juga, sisanya 42 persen adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak (child trafficking) untuk tujuan eksploitasi seksual komersil serta kasus-kasus perebutan anak.

Di tahun 2013  dari 3339 kasus ada 2070 kasus atau 52 persen merupakan kejahatan seksual. Sementara di tahun 2014 ada sebanyak 3726 kasus, 47 persen juga merupakan kasus kejahatan seksual.

Pada tahun 2015, angkanya meningkat drastis dengan jumlah 4725 kasus, 51 persen diantaranya merupakan kejahatan seksual, dimana 237 kasus pelakunya merupakan anak dibawah usia 14 tahun.

“Jika kita tarik mundur kebelakang, tahun 2010 ada 2046 kasus, 859 kasus merupakan kejahatan seksual. Tahun berikutnya 2011, jumlah kasusnya ada 2426, 58 persen adalah kejahatan seksual. Tahun berikutnya juga mengalami peningkatan. Di tahun 2012 ada 2637 kasus, sebanyak 1634 kasus atau 62 persen masih dengan kejahatan yang sama, yaitu kejahatan seksual,” jelas Arist.

Arist juga mengungkapkan fakta, bahwa predator kekerasan terhadap anak ini bisa ada di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan sosial atau ruang publik, juga lingkungan panti atau boarding school.

“Di lingkungan rumah, mulai dari ayah tiri, ayah kandung, kakak, paman, tukang kebun, sopir jemputan mobil atau ojek, bahkan kerabat dekat keluarga. Di lingkungan sekolah pun demikian. Mulai dari guru reguler, guru spiritual, penjaga sekolah, keamanan sekolah, pengelola sekolah, bahkan sampai tukang kebun sekalipun. Lantas dimana lagi rasa aman anak itu, jika semua lingkungan ini demikian?,” jelas Arist yang membuat seisi ruang tercengang.

Beberapa fakta yang terjadi juga dibeberkan Arist, seperti pada Agustus 2013 silam yang terjadi di Cilincing, Jakarta Timur. Seorang anak perempuan berusia 11 tahun meninggal dunia, alat kelaminnya rusak dan mengeluarkan bau. Pelakunya sendiri adalah orang tua kandung.

Selain kasus tersebut, di sekitar bulan Oktober 2015, perempuan umur sembilan tahun, mengalami penganiayaan, diperkosa, dibunuh dan dimasukan ke dalam gardus lalu di buang ke tempat sampah dekat rumahnya.

“Pelakunya bukan orang jauh, melainkan tetangga dan sahabat dari orang tua korban sendiri. Dan fakta kejahatan beberapa tahun belakangan ini, adalah Geng Rape, kejahatan seksual yang dilakukan secara berkelompok. April 2012, di Bengkulu, korbannya berusia 14 tahun, dipukul hingga pingsan, diperkosa bergilir dan mayatnya dibuang ke jurang oleh 14 orang pemuda. Dan 3 diantara pelaku ini dibawah usia 17 tahun. Siapa pelakunya? tidak lain adalah teman-teman korban,” lanjut Arist.

Dampak kekerasan terhadap anak ini bisa berjangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek meliputi fisik seperti, luka, patah tulang, infeksi bahkan meninggal dunia. Sedangkan dari sisi psikis, anak menjadi takut, cemas, sulit makan dan gangguan tidur.

Dampak tidak langsung atau jangka panjangnya adalah pertumbuhan menjadi terhambat, kurang gizi, hamil, infeksi kronis, dan cacat.

Diakhir diskusi, pendiri Children in Need Special Protection (CNSP) Center Indonesia ini mengungkapkan beberapa langkah memutus mata rantai kekerasan terhadap anak, dimana tugas dan peran orang tua adalah menjadi guru yang pertama dan terutama bagi anak dalam segala hal, juga memahami pertumbuhan, perkembangan dan perilaku anak sesuai usianya.

“Yang tidak kalah penting juga, mengenalkan kepada anak tentang kesehatan reproduksi, termasuk mengenali bagian-bagian tubuhnya, serta fungsi bagian tubuh tersebut. Sudah jadi kebiasaan , orang tua sering mengganti nama organ tubuh tersebut dengan nama lain, misalnya burung, tongkat, gunung, dan lain sebagainya. Ini yang salah, harus dibetulkan dan diajarkan yang benar,” kata Arist.

Dirinya berharap, Pemerintah segera melakukan langkah-langkah strategis pencegahan pelanggaran hak anak melalui penguatan organisasi dan peran serta masyarakat dengan membangun Gerakan Perlindungan Se Kampung, dengan melibatkan ketua rukun tetangga, kepala desa, karang taruna, PKK, Posyandu, sistem lingkungan masyarakat, juga polisi masyarakat.

Editor: Ronny A. Buol



Jika anda merasa konten ini bermanfaat, anda dapat berkontribusi melalui DONASI. Klik banner di bawah ini untuk menyalurkan donasi, agar kami dapat terus memproduksi konten yang bermanfaat



Share This Article
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com